Oleh : Kusmarwanti
"Vie, kamar mandi sudah bersih"
Ibu muncul dari balik pintu mengagetkanku. Aku tersenyum tipis, mengangguk, menyembunyikan gurat kesedihan yang selalu meneteskan air mata ibu.
"Iya, Bu!" jawabku.
Usapan lembut ku terima dari tangannya. Dan aku tidak beranjak. Kutatap langit-langit kamar tua yang lama tak berpenghuni ini. pertama kalinya aku menginjakkan kaki sejak tujuh tahun lalu sepeninggal eyang. Tak ada satu pun anak-anak eyang -termasuk ibuku- berminat menempati rumah tua ini. Aku maklum. Rumah ini jauh terpencil di pedesaan. Untuk mencapainyapun harus naik dokar dan melewati daerah perbukitan dengan hamparan ladang-ladang tembakau yang menghijau.
Suasana rumah ini sangat tenang. Begitu alasanku memilihnya sebagai tempat menunggu ajal. Aku berharap orang-orang di sini akan lebih bisa menerimaku. Tidak seperti aku saat di jakarta. Aku sudah tak tahan lagi dengan cercaan, cibiran, juga sikap jijik orang-orang padaku sejak virus aids itu bersarang di tubuhku. Apalagi tuduhan pelaku seks bebas itu. Pakaian taqwa yang selalu rapat menutup auratku ternyata tidak cukup membuat orang-orang sekitarku berfikiran positif. Batinku menjerit meski sebenarnya tak seratus persen aku menyalahkan mereka. Sebulan yang lalu seorang muslimah berjilbab yang kost di sebelah rumah di gerebek karena melakukan seks bebas di kamarnya.
Dan aku ingat benar dengan tetangga rumah yang langsung pindah rumah sejak mengetahui aku mengidap aids. Beberapa orang juga menghindariku, bahkan untuk tersenyum pun serasa aku tak punya tempat lagi. Dan ku kira tak ada yang bisa kusalahkan dengan takdir ini. Transfusi darah saat Hb-ku anjlok (turun) jadi 5 pun hanya kuanggap sebagai jalan dari Allah, aku menerima cobaan ini. Makanya, aku tak ingin keluargaku ngotot dan mengangkat kasus ini ke pengadilan. Biarlah, aku ikhlas .
"Bismillahirahmanirrahiim "
Aku kembali menguatkan tekad untuk tinggal di sini. Ibu dan ayah ikut untuk menemaniku. Mereka meninggalkan usahanya di Jakarta. Demi aku. Dua orang kakakku tetap tinggal di sana karena harus menyelesaikan kuliah S-2 nya. Namun, mereka pun berjanji akan sering pulang ke desa. Juga demi aku.beruntung aku masih memiliki orang-orang tercinta, yang mendampingi kala aku butuh dukungan.
17 Juli1999
Mbak Vie !!! Mbak Vie !!! Suara teriakan anak-anak dari luar menyentakkanku. Baru saja juga aku sampai dari rumah Bu RT, mengajari para remaja putri Karang Taruna membuat bunga dari bahan-bahan daur ulang. Mereka para remaja pengangguran jebolan SMP yang saat ini menggantungkan penghidupan dari daun-daun temabakau. Kebetulan masa panen belum tiba sehingga waktu luang masih mereka miliki.
Aku membuka pintu yang sengaja ku tutup karena hawa dingin. Anak-anak kecil itu memenuhi pintu depan rumah. "Hari sudah gelap." Ingatku pada mereka yang datang pada saat menjelang maghrib itu.
"Mbak Vie, kita mau belajar Matematika."
Aku mengulum senyum. Ini baru berita baru. Anak-anak di sini jarang punya keinginan belajar. Mau sekolah saja sudah syukur. Kesadaran menuntut ilmu harus di bangun. Sekolah bukan hanya formalitas untuk mendapatkan selembar ijazah.
"Kalian sekarang pulang, ambil mukena, shalat maghrib ke langgar, dan kita belajar di sana ya!!" Tanpa banyak komentar mereka langsung berlarian pulang. Aku pun segera mengambil wudlu, dan berangkat.
"Vie, jaga kesehatan. Jangan pulang malam!" pesan ibu dari dapur.
Tapi, baru sampai di depan pintu perutku tak mampu kutahan. Diare lagi. Kuingat juga, semua terjadi sejak penyakit datang. Dan kebiasaan itu menyusahkanku apalagi jika datang saat-saat aku di langgar, pertemuan Karang Taruna, atau mengisi pengajian. Apalagi kalau demam itu datang tiba-tiba. Rasanya badan seperti tertusuk-tusuk jarum.
#####
Dan begitulah hari-hari selanjutnya. Setiap sore anak-anak belajar di langgar usai maghrib sampai Isya'. Aku bahagia bisa berbagi dengan mereka meskipun ibu selalu mengkhwatirknku yang penuh kegiatan sejak pertemuanku dengan mereka. Aku ingin mengajari mereka keoptimisan. Aku ingin menunjukkan bahwa dunia itu luas, tidak hanya desa dan ladang-ladang tembakau saja. Aku ingin sekali mengajari mereka bermimpi dan bercita-cita. Bahwa menjadi orang hebat menjadi hak setiap orang, termasul mereka. Bahkan bercita-cita untuk jadi presiden sekalipun.
5 Januari 2000
"Astagfirullahal'adzim," rintihku saat pisau itu menyayat kulit jariku.
"Hati-hati, Mbak Vie."
Warsi sahabatku segera meraih tanganku bermaksud menolongku. Ia tak tega melihat darh mengalir. Tapi segera kuelakkan dengan sedikit kasar. Warsi terkesima. Segera kututup luka itu dengan kerudungku. Dan aku berlari ke belakang meninggalkan mereka. Mungkin warsi tersinggung. Aku khawatir.
Di petak kamar mandi dari ghedeg (bambu) itu, aku tak bisa menyembunyikan semburan air mataku. Semakin perih. Bukan lukaku, tapi hatiku. Inikan hukuman buatku sehingga darah pun menjadi maut bagi orang lain, rintihku emosi. Darah pengidap aids bukan sembarang darah yang bisa sekenanya terpegang orang lain. dan aku terus menangis hingga habis suadah air mata itu mengalir.
23 September 2000
Masih lekat ku tatap langit-langit kamar tua itu. Dulu aku pertama kali mengenangnya dengan hati yang meradang. Saat ini pun aku terakhir kali mengenangnya dengan hati yang terluka. Perpisahan menjadi saat-saat yang menakutkanku. Ladang-ladang tembakau, perbukitan dengan kabutnya, hawa dingin, jalan-jalan yang meliuk menaik yang sering kutapaki untuk menemui orang-orang yang selalu mencintaiku, anak-anak yang selalu mendoakanku, Warsi sahabatku juga ibu dan ayahku.
Aku menunjukkan jemariku ke arah tape memberi tanda untuk membalikkan murrottal yang telah habis. Ibu menerima isyaratku.
"Tidurlah, Nak!" bisik ibu di telingaku.
Aku diam hanya menatapnya. Tulang-tulang yang tinggal menyusun ragaku terasa pilu. Dan pandanganku berputar pada foto wisuda SMA-ku yang terpasang di dinding. Kembang senyum dengan bibir memerah tanpa lipstik dan pipi yang masih segar tak lagi kumiliki.
"Beginikah hidup manusia?" tanyaku pada diri sendiri. dan sebentar lagi tulang-tulang yang tergolek di kasur itu akan di gerogoti binatang-binatang tanah. Lalu, kenapa manusia harus berbangga dengan kelebihan fisiknya?
Ku dengar suara ramai dari luar. Aku tidak heran. Seperti itulah, kamar dan rumah tua ini menjadi ramai dengan kunjungan orang semenjak aku sakit dan tergolek menanti maut begini. Tapi aku bahagia. Mereka adalah semangatku. Anak-anak yang setiap sore membacakan Al Baqarah, ibu-ibu yang yang selalu mengusap lembut kepala dan pipiku yang tak berdaging, juga kembang-kembang dari bahan daur ulang yang terpasang dari meja dari pemuda-pemuda Karang Taruna, kesetiaan Warsi sahabatku yang selalu menungguiku, serta air mata ayah ibuku. Aku bahagia bertemu mereka dan mendapat cinta mereka. Aku bahagia
(Sumber : Tabloid MQ EDISI 11/TH.II/MARET 2002)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "AKU HARUS PULANG"
Posting Komentar