POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

Kisah si Penginjil yang mendapat Hidayah

Diposting oleh Masakan On 07.08

Misionaris Bermimpi Bertemu Rasulullah saw

Nama saya Iselyus Uda, istri saya Maria Juana. Lima belas tahun saya
menjadi penginjil di Kalimantan Tengah sampai akhirnya saya bertemu
dengan seorang laki-laki dalam suatu mimpi.

Tidak pernah terbayang kalau kelak saya akan menginjakkan kaki di tanah
haram yang dirindukan umat Islam. Bahkan tak pernah terpikir saya akan
memeluk agama Islam yang tadinya saya benci. Sebab, sejak kecil saya dan
istri biasa hidup di lingkungan adat yang sama sekali bertentangan
dengan ajaran Islam.

Dulu, suku Dayak dikenal sebagai pengayau tengkorak manusia. Memburu
kepala musuh, baik sesama suku maupun suku lain, merupa-kan pilar utama
budaya dan kepercayaan kami lantaran kepala yang baru dipenggal sangat
penting bagi terciptanya kesejahteraan seisi kampung. Sementara
tengkorak lama makin luntur kekuatan magisnya. Untuk itu, dibutuhkan
perburuan terus menerus yang menyebabkan sering terjadinya peperangan,
baik antar suku ataupun dengan masyarakat luar.

Jasa Penginjil

Sebetulnya agama Islam sudah tersiar di tanah Jawa sejak abad 15,
terutama di Kutai dalam wilayah kerajaan Hindu Mulawarman yang kini
termasuk Provinsi Kalimantan Timur. Namun masyarakat Dayak tidak
tertarik untuk menganut agama Islam karena kami dilarang beternak babi
atau berburu celeng dan memakan dagingnya. Islam juga melarang umat-nya
memelihara anjing. Padahal, babi dan anjing sudah menyatu dengan
kehidupan kami dan tidak mungkin terpisahkan dari upacara adat dan
ritus-ritus nenek moyang.

Tak seorangpun penganjur Islam yang pernah memberitahu adanya
keringanan-keringan

an tentang najis anjing dan babi, serta tidak terlalu memaksa seseorang
yang baru bersyahadat agar segera dikhitan. Seakan keringanan itu
sengaja di- sembunyikan. Yang kami ketahui, kalau memeluk agama Islam
kami harus meninggalkan adat-istia-dat neneng moyang. Sedikit saja
menyimpang dan tetap melaksanakan tradisi nenek moyang, kabar-nya kami
akan dituduh musyrik dan masuk neraka. Bukankah itu menyakitkan dan
mengerikan?

Berbeda dengan sikap penginjil, baik dari kalangan Katolik maupun
Protestan. Mereka datang berduyun-duyun membawa hadiah, ilmu dan
pengetahuan baru yang dapat mengubah cara hidup kami tanpa mengharubiru
adat istiadat dan ritual nenek moyang. Mereka merambah ke
kawasan-kawasan terpencil, perang antar suku tidak pernah terjadi lagi
berkat jerih payah mereka. Kebiasaan mengayau kepala manusia sudah lama
kami ting-galkan, juga agama asli. Dan hal itu terjadi tanpa memusnahkan
upacara adat dan tradisi.

Misionaris Yang Sukses

Sungguh mereka banyak berbuat untuk suku Dayak, termasuk saya dan
keluarga, yang sebagai pengikut Yesus dan Bunda Maria, segala kebutuh-an
hidup kami selalu dipenuhi, oleh karena itu, untuk menanggung delapan
orang anak dan seorang istri , saya tidak pernah mengeluh walaupun saya
hanya sebagai penginjil Katolik.

Sudah tak terhitung banyaknya penduduk yang dapat saya ajak masuk
gereja. Apalagi sejak saya dianugerahi amanat memimpin umat Katolik di
desa Bangkal oleh gereja Sampit. Makin menggebu-gebu semangat saya untuk
mengibarkan panji-panji sang juru selamat dan menegakkan palang salib di
berbagai penjuru. Saya tanamkan iman Kristiani kepada masyarakat
kecamatan Danau Sembuluh tanpa pandang bulu. Malah cita-cita saya tidak
saja menasranikan rakyat Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur,
melainkan juga seluruh pelosok Provinsi Kalimantan Tengah.

Tiga tahun saya menebarkan ayat-ayat Injil di mimbar gereja dan di
berbagai persekutuan doa di desa Bangkal dan desa-desa lainnya. Kemudian
saya dipercaya pula untuk mengumandangkan misi gereja di kecamatan
Cempaga sejak tahun 1978.

Berkat kegigihan saya, hingga hampir segenap waktu saya tersita oleh
kegiatan pelayanan rohani, bahkan saya berhasil mengajak umat dan se-mua
pihak untuk bersama-sama membangun gereja yang cukup besar lengkap
dengan asramanya.

Keyakinan Fatamorgana

Dua tahun saya bekerja, memeras tenaga dan pikiran demi kejayaan agama
Katolik melalui gereja yang saya dirikan. Sungguh bangga hati saya,
sungguh mantap kaki saya. Namun dibalik kepuasan batin itu ada sesuatu
yang terngiang-ngiang jauh di dasar sanubari saya. Entah mengapa dan
darimana datangnya tuntutan itu, tidak pernah terungkap sama sekali.
Yakni tanda tanya yang tak mampu saya jawab meskipun telah saya gali
lewat firman-firman suci. Apakah betul jalan saya berasal dari Tuhan?
Tidak kelirukah keyakinan saya itu?.

Kebimbangan tersebut betul-betul sangat menyiksa hidup saya dan mengusik
ketentraman batin. Seolah ada sebuah lubang pada diri saya yang tidak
mampu saya tutupi, malah saya rasa makin lama makin dalam dan lebar.
??Ya Tuhan, kalau Engkau Maha Kuasa dan Maha Penyayang, tunjukkanlah
kebenaran yang sempurna?? demikian ratap saya tiap malam tatkala suasana
sedang lengang dan kesunyian sedang mencekam sambil saya genggam rosario
--kalung salib-- erat-erat.

Saya menggapai-gapai bagaikan hampir tenggelam di tengah-tengah samudera
kehampaan. Saya berteriak nyaring di tengah gurun kesunyian. Saya merasa
ditinggalkan sendirian dalam sebuah lorong gelap dan pengap setelah
seberkas cahaya yang tadinya saya jadikan pedoman kian buram dan hampir
padam. Saya merindukan sinar terang yang tidak menipu saya dengan
bercak-bercak fatamorgana. Saya mendambakan jalan lurus menu-ju haribaan
Tuhan yang sejati dan hakiki.

Mimpi yang menakjubkan

Tiba-tiba, pada suatu malam menjelang akhir Oktober 1980, ketika
kesibukan untuk mengabarkan Injil mencapai puncaknya, saya didatangi
mimpi yang sangat aneh. Seorang lelaki berjenggot rapi mengunjungi saya
antara tidur dan jaga. Pundak saya ditepuk dan tangan kanan saya
ditariknya. Saya menoleh, betapa takjub saya melihat sosok manusia yang
begitu tampan dalam usia bayanya. Berpakaian serba putih dengan rambut
berombak tertutup selembar kain halus yang juga berwarna putih, ia
tampak sangat agung dan anggun. Saya merasa damai oleh pandangan dan
senyumnya.

Dituntunnya saya menjelajahi hamparan tanah yang tandus menuju sebuah
gurun pasir yang luas dan gersang. Anehnya, meskipun matahari terik
membakar, saya justru merasakan kesejukan yang indah dan menawan, seolah
gumpalan awan besar menaungi kami berdua.

Ketika tiba di suatu tempat yang asing dan sakral, ia mempersilakan saya
masuk, saya melihat ribuan manusia bergerak mengelilingi sebuah bangunan
berbentuk kubus sambil berlari-lari kecil, di antara mereka ada yang
sedang bersujud dengan khusyu??, banyak pula yang berebutan mencium batu
hitam kebiruan yang menempel di dinding kubus itu, begitu saya datang,
kerumunan manusia tadi menyibakkan diri memberikan kesempatan kepada
saya untuk memeluk dan mencium batu berkilat itu sepuas hati. Amboi,
alangkah harum-nya, alangkah tenteramnya jiwa saya.

Setelah itu ia mengarak saya bersama berbagai awan ke tempat lain yang
pemandangannya amat berbeda, tetapi suasananya sama, penuh keagungan,
saya bertanya, ??Bangunan apa yang teduh ini??? Ia menjawab,??Ini yang
dinamakan Masjid Nabawi.??

Sebagai penginjil saya pernah mengenal istilah itu, sebab mempelajari
agama-agama lain adalah modal untuk membeberkan kebenaran kami dan
membongkar kelemahan mereka. Oleh karena itu saya terkejut, mengapa saya
dibawa kemari?
??Gundukan tanah yang ditengah itu untuk apa???
kembali saya bertanya,
??Itu makam Nabi Muhammad.?? sahutnya.

Mendengar penjelasan itu sayapun makin kaget. Nabi Muhammad adalah
pembawa ajaran Islam, ada hubungan apa dengan saya sampai saya diajaknya
berziarah ke situ? meski beribu kebingungan menyemak di hati,
sekonyong-konyong, tanpa dimintanya saya bersimpuh di depan kuburan yang
sederhana itu, Air mata saya menetes. Saya terharu walaupun tidak tahu
kenapa.

Betapa mulianya pemimpin kaum Muslimin itu yang pengikutnya ratusan juta
orang, tetapi makam-nya begitu bersahaja, yang ajarannya ditaati
umatnya, namun kematiannya tidak boleh diratapi. Saya terpana sangat
lama sehingga tatkala saya sadar kembali, lelaki yang mengantar saya
tadi telah menghilang kedalam kuburan itu.

Panggilan hati

Saya ceritakan mimpi ini kepada istri dan anak-anak, mereka terkesima,
istri saya berkaca-kaca, saya tidak mengerti apa sebabnya. Barulah pada
malam harinya, ketika kami cuma berdua, ia berkata, ??saya yakin itu
bukan sekedar mimpi. Itu panggilan. Dan kita berdosa kepada Tuhan bila
tidak mau mendatangi panggilan-Nya. ??, ??Maksudmu?? ? saya tidak paham
akan maksud istri saya. ??Kita tanya kepada orang yang ahli agama Islam.
Siapakah lelaki baya yang mengajak abang itu, dan apa makna mimpi itu.
Kalau memang benar merupakan panggilan Tuhan, berarti kita harus masuk
Islam,??jawab istri saya tanpa ragu-ragu.

Sayalah yang justru dilanda kebimbangan, terombang-ambing dalam iman
Kristiani yang makin goyah. Apalagi tiap kali teringat akan salah satu
surah al-Qur??an yang pernah saya pelajari,

??Tuhanmu adalah Allah yang Maha Tunggal, Yang Tidak Beranak dan Tidak
Diperanakkan? ?

Saya ingin lari menghindari dengungan batin itu, namun keyakinan saya
tak cukup kuat untuk menahan deburan ayat-ayat suci al-Qur??an.
Untungnya pada tahun 1983 gereja Sampit memindahkan saya ke Medan di
desa Resettlement untuk mengobarkan semangat Injil pada masyarakat
setempat, saya terima dengan setengah hati sebab semangat Injil saya
sedang meluntur ke titik paling rawan. Anehnya, saya merasa bahagia
menerima keadaan itu, lebih-lebih ucapan istri saya yang tak pernah
lenyap dari pendengaran saya. ??Kalau mimpi itu merupakan panggilan
Tuhan, kita berdosa jika tidak mendatangi-Nya. Kita harus masuk Islam.??

Masuk Islam

Akhirnya, awal Maret 1990 saya sekeluarga mengunjungi KUA Mentawa Baru
Ketapang, sesudah lebih dulu mendapat penjelasan dari seseorang yang
saya percayai memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam. Ia
mengatakan bahwa lelaki dalam mimpi saya adalah Nabi Muhammad saw.
Diterangkannya lebih lanjut bahwa tidak semua orang, termasuk kaum
Muslimin, bisa memperoleh kehormatan bertemu dengan Nabi saw dalam
mimpi. Dia meyakinkan saya bahwa mimpi itu bukan dusta, bukan kembang
tidur. Sebab, Iblis tak sanggup menyerupai Nabi saw walaupun ia bisa
menyamar sebagai Malaikat.

Itulah yang kian memantapkan tekad saya sekeluarga untuk memeluk ajaran
Islam, maka dengan bimbingan Mahali, BA, kami mengucapkan dua kalimah
syahadat disaksikan oleh para pendahulu kami, Arkenus Rembang dan
Budiman Rahim, dari Kantor Departemen Agama Sampit. Nama saya Iselyus
Uda diganti dengan Muhammad Taufik; istri saya menjadi Siti Khadijah.
Begitu pula kedelapan anak saya yang memperoleh nama baru yang
diambilkan dari al-Qur??an. Sepulang dari upacara persaksian itu dada
saya terasa sangat lapang dan dunia makin benderang. Tengah malam saya
mengangkat kedua tangan dan menggumam,?? Ya Tuhan, terpujilah nama-Mu,
telah datang Kerajaan-Mu, kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, untuk
anugerah kebenaran ini.??

Menebus mimpi

Sejak hari paling bahagia itu saya mulai berangan-angan, kapankah
pemandangan dalam mimpi saya dulu itu bisa terwujud. Saya merindukan
tanah suci tempat kelahiran Nabi ?? dan tempat makamnya, yaitu Makkah
dan Madinah. Tanpa kuasa Allah SWT, rasanya mustahil terlaksana
mengingat ekonomi saya tidak secerah semasa menjadi penginjil, akan
tetapi saya tidak mengeluh. Memang pada segi materi terjadi penurunan,
tetapi dari segi yang lain kehidupan kami bertambah makmur, sejahtera
dan penuh berkah.

Kekurangan kami sedikit, kami anggap biasa, itulah ujian iman. Materi
bukanlah segala-galanya yang penting anak-anak dapat melanjutkan sekolah
mereka dan kebutuhan sehari-hari kami tercukupi. Adapun hidup lebih
bukanlah tujuan utama. Buat kami sudah puas dengan kaya di hati dan
rezeki yang halal.

Saya tidak tahu apakah keikhlasan itu diterima Tuhan, ataukah lantaran
sudah tertulis dalam takdir-Nya bahwa saya sekeluarga harus menjadi
muslim dan muslimat yang kuat. Peristiwa yang terjadi dua pekan setelah
kami masuk Islam membuat saya makin bersyukur kepada Allah SWT, yaitu
ketika Kakandepag Kotawaringin Timur, Drs. H. Wahyudi A. Ghani, bertamu
ke rumah saya di Desa Resettlement. Ia tidak hanya bertandang, tetapi
mengantarkan tebusan mimpi.

Ia mengabarkan bahwa Menteri Agama, H. Munawir Syadzali, MA, menaruh
simpati kepada saya dan berkenan memberangkatkan kami suami istri untuk
menjalani ibadah umrah. Subhanallah, alangkah Akbarnya Engkau, alangkah
luas kasih sayang Engkau. Sungguh saya tidak mampu menggoreskan pena
atau menggerakkan lidah guna menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan
saya.

Tidak bisa lain yang menggugah hati Menteri Agama, pasti Allah Yang Maha
Kuasa. Tanpa kehendak-Nya mana mungkin seorang menteri memperhatikan
seorang warga desa terpencil di Kalimantan Tengah ini, padahal
kegiatannya selaku menteri tidak kepalang sibuknya. Saya dan istri
langsung sujud syukur di hadapan Allah SWT. Kamipun berangkat ketanah
suci tahun 1991.

Akhirnya, kami kesampaian mewujudkan pemandangan dalam mimpi dengan
melaksanakan thawaf mengelilingi Ka??bah, menunaikan sa??i antara bukit
Shafa dan Marwah, serta berziarah ke makam Nabi Muhammad saw.

Agaknya doa kami di tempat-tempat mustajab di Makkah dan Madinah mulai
dikabulkan-Nya. Sekembalinya dari tanah suci ada seorang hartawan yang
tidak ingin disebut namanya, mewakafkan sebidang tanah kepada saya.

Saya berniat menghabiskan sisa umur saya untuk menebus dosa-dosa pada
masa silam tatkala lima belas tahun lamanya saya bekerja keras
memurtadkan umat Islam dan merayu banyak orang agar mengikuti keyakinan
saya kala itu. Ihdinashshirathal mustaqim.

Kebanyakan sumber permasalahan adalah cara berkomunikasi! !!

0 Response to "Kisah si Penginjil yang mendapat Hidayah"

Posting Komentar

    Blog Archive

    About Me