Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi
"Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'uun." Said bin Amir Al Jumahi
mengucapkan lafazh ini saat menerima bantuan 1000 dinar, karena
namanya tercantum dalam daftar para fuqara saat musibah kelaparan
melanda daerah Hims, Syiria.
Pada abad ke 18 H, bencana kelaparan hebat melanda wilayah Arab Utara.
Khalifah Umar Radhiyallahu 'anhu melewati hari-harinya tanpa istirahat
dan tidak bisa tidur memikirkan cara menanggulangi bencana tersebut.
Ia bersumpah tidak akan menyentuh susu dan mentega sampai kelaparan
berakhir. Bencana itu disusul dengan wabah sampar mematikan yang
menyebar ke Syria.
Musibah dan bencana itu hanya menyisakan kesedihan dan kepedihan.
Betapa tidak, sekian orang yang dicinta telah tiada. Harta benda
terjual habis untuk mengatasi rawan pangan itu. Bahkan segenap pikiran
tercurah untuk meratapi diri. Kondisi yang menyayat ini sangat
mengagetkan Khalifah Umar ra. daerah Hims Syiria secara merata dilanda
bencana kelaparan yang luar biasa. Segera, berita ini mendorong
khalifah mengirimkan para petugas untuk melihat keadaan di sana
sekaligus melakukan pendataan korban yang layak memerlukan bantuan.
Namun alangkah terkejutnya Khalifah saat mengetahui di antara ribuan
orang yang termasuk dalam daftar orang-orang miskin dan kelaparan,
terdapat nama Sa'id ibn Amir Al Jumahi. Beliau sendiri adalah Gubernur
Hims, daerah yang dilanda bencana kelaparan tersebut.
Kemudian khalifah memanggil utusannya untuk klarifikasi prihal
validitas data dalam daftar tersebut. Apakah daftar itu dibuat-buat
atau memang sahih, ternyata hasil temuan itu adalah fakta di lapangan.
Utusan itu mengukuhkan temuannya bahwa faktanya selama berhari-hari
mereka tidak melihat dapur Sang Gubernur mengepul walau sekali. Atas
dasar itulah Al Jumahi dimasukkan dalam daftar orang-orang yang
memerlukan bantuan.
Lalu, khalifah menanyakan bagaimana roda pemerintahan di sana
dijalankan. Subhanallah. Meski, gubernurnya miskin dan kelaparan,
provinsi Hims tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kenyataan tersebut
tidak dapat menutupi rasa haru yang mendalam di dada Khalifah. Dengan
meneteskan tangis kesedihan, khalifah menyatakan dirinyalah yang
bersalah membiarkan rakyatnya kelaparan. Bahkan gubernurnya sendiri
termasuk dalam musibah itu.
Segera khalifah mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Hims. Dititipkanlah
sekantung khusus untuk Sang Gubernur dari Khalifah Umar ra., berisi
uang sebesar 1000 dinar (kira-kira setara dengan 6 juta rupiah). Semua
bantuan telah disampaikan dan diterima, baik oleh masyarakat demikian
pula titipan khusus untuk Sang Gubernur.
Menerima titipan khusus sebesar 1000 dinar, bukannya merasa gembira,
Sa'id ibn Amir malah merasa menerima musibah. Dipanggil segera
istrinya menghadapnya, untuk menyampaikan musibah tersebut. Inna
lillahi Wa Inna illaihi Raji'un. Kenapa gerangan? Bagi Sa'id bin Amir,
menerima uang sebanyak itu, di tengah krisis yang mendera rakyatnya
adalah musibah yang berat. Oleh karena itu, setelah disisihkan
seperlunya, ia sumbangkan kembali sisanya kepada rakyatnya.
Begitulah tinta emas sejarah dituliskan bukan dengan kata-kata apalagi
jargon-jargon kosong tanpa makna. Al Jumahi ra melakoni semuanya
karena karakter pemimpin di dalam dirinya sudah demikian meresap.
Tidak dalam rekayasa tebar pesona maupun membangun citra positif di
hadapan rakyatnya. Keteladanannya mengemuka lebih dikarenakan faktor
ketakwaannya kepada Allah swt.
Lihatlah tatkala inspeksi dilakukan Umar ra ke di Hims, banyak
komplain, keluhan dan ketidakpuasan penduduknya, baik dari kalangan
jelata maupun birokrasinya terhadap kinerja Gubernur Sa'id bin Amir.
Aduan para penduduk mengindikasikan 4 hal yang menjadi keluhan mereka
atas diri Gubernur Sa'id bin Amir.
Satu adegan langka yang mungkin hanya terjadi di zaman Umar.
Klarifikasi dilakukan Umar dengan mempertemukan gubernur dan warganya
dalam satu majelis terbuka. Sebuah pemandangan yang tidak mungkin
terjadi di zaman sekarang ini. Kalaupun terjadi tentunya terikat
kebiasaan protokoler, dan cenderung seremonial, mungkin
kunjungan-kunjungan para elite pejabat ke daerah, justru akan lebih
membebani anggaran.
Mungkin dana untuk membiayai perjalanan dan kunjungan, ikut
membengkak. Nilainya tak mustahil berlipat ganda. Lebih dari cukup
untuk membeli beras dan bahan makanan bergizi dan bernutrisi baik yang
dibutuhkan para penderita rawan pangan. Tanpa membesar-besarkan "buruk
sangka", sejak dulu di negeri ini beredar pemeo "pejabat datang
melayat, rakyat makin melarat". Ya, karena dana untuk mengatasi
kemiskinan khalayak, tersita oleh kegiatan protokoler dan seremoni di
tempat yang dikunjungi.
Namun tidak demikian dengan Khalifah yang bijak ini. Tatap muka tetap
berjalan dalam suasana bersahaja, egaliter dan saling menghormati.
Sehingga temu rakyat dan pemimpinnya ini berjalan lancar tanpa basa
basi.
Tatkala semuanya telah berkumpul, Umar bertanya, "Apa yang kalian
keluhkan terhadap pemimpin kalian?"
"Ia tidak pernah menemui kami kecuali telah siang hari." Keluh warga.
"Apakah benar yang mereka katakan, ya Said?" tanya Umar kepada Sa'id.
"Demi Allah, sebenarnya aku tak ingin mengatakannya. Tetapi karena
itu harus dikatakan, baiklah. Keluargaku tidak mempunyai seorang
pembantu, sehingga setiap pagi aku harus membuat adonan roti untuk
mereka, menungguinya hingga matang dan membagikannya kepada mereka,
kemudian aku berwudhu dan baru aku keluar menemui rakyatku." Ja'wab
Sa'id.
"Ia tidak pernah mau ditemui pada malam hari?" keluh warga lagi.
"Apakah benar yang mereka katakan, ya Said?" tanya Umar
"Demi Allah, sebenarnya aku juga tak ingin mengatakannya. Aku telah
memberikan waktu siangku untuk mereka dan waktu malamku untuk Allah."
"Apa lagi yang kalian keluhkan atasnya?" tanya Umar kepada warga Hims.
"Setiap bulan, ia tidak menemui kami satu hari?" Jawab warga
"Apa lagi ini, ya Said?" tanya Umar heran.
"Aku tidak mempunyai pembantu, ya Amirul Mu'minin. Dan aku tidak
mempunyai sehelai kain pun kecuali yang aku kenakan ini, sehingga aku
harus mencucinya setiap bulan dan aku menungguinya hingga kering untuk
dipakai kembali. Dan setelah itu, aku keluar menemui mereka di sore
hari."
"Apa lagi yang kalian keluhkan atasnya?" Umar melanjutkan pertanyaannya.
"Wajahnya selalu murung dan sedih, sehingga membuat orang-orang keluar
dari majelisnya." Keluh warga selanjutnya.
"Apa yang terjadi pada dirimu, ya Said?" Umar kembali heran.
"Dahulu, aku melihat kematian Khubaib bin Adi dan waktu itu aku masih
musyrik. Dan aku melihat kaum Quraisy memotong-motong tubuhnya dan
mereka berkata kepadanya, 'Relakah engkau jika Muhammad menempati
posisimu ini?' Khubaib menjawab, 'Demi Allah, aku tidak akan rela jika
aku selamat untuk keluarga dan anak-anakku sedang Muhammad ditusuk
duri.' Demi Allah, aku selalu terbayang akan hari itu, bagaimana aku
tidak menolongnya, aku amat khawatir Allah tidak akan mengampuniku.
Itulah yang sedang menimpaku sampai saat ini."
"Mahasuci Allah yang tidak membuatku su'uzhan kepadanya." Kagum Umar
atas semua jawaban Sa'id. Kemudian Umar memberikannya seribu dinar
untuk memenuhi kebutuhannya. Ketika istri Said melihat hal itu, ia
berkata, "Mahasuci Allah yang telah mencukupi kami dengan melayanimu.
Belikanlah kami kebutuhan rumah tangga dan carikanlah kami pembantu."
"Bukankah kita memiliki yang lebih baik daripada itu?" Sergah Sa'id
kepada istrinya. "Sesuatu yang dapat membantu kita memperolehnya
sehingga kita dapat menikmatinya yaitu kita meminjamkannya kepada
Allah dengan pinjaman yang baik." Nasihat Sa'id kepada isterinya.
"Ya, semoga Allah membalas dengan yang lebih baik." Jawab sang istri mantap.
Said pun tidak meninggalkan majelisnya, sehingga ia meletakkan
dinar-dinar tadi ke dalam beberapa pundi dan berkata kepada salah
seorang keluarganya, "Pergi dan bawalah ini kepada janda si fulan,
anak yatim si fulan, orang miskin dari keluarga si fulan, dan orang
fakir dari keluarga si fulan."
Satu lagi hal penting perlu kita teladani dari pribadi mulia ini
adalah qana'ah dan kesederhanaan. Di sebuah negara yang sudah mapan,
justru orang yang bersahaja lebih disegani, berwibawa dan dihormati
daripada orang yang bergelimangan kemewahan, hidupnya hedonis. Apalagi
hidup dengan kekayaan yang tidak jelas asal-usulnya.
Dalam situasi paceklik seperti sekarang ini, musibah di mana-mana,
harga-harga melambung tinggi, pengangguran terus meningkat, kelangkaan
BBM. Kalau ada keteladanan terutama dari para pemimpin tentang
kesederhanaan, niscaya masyarakat akan sadar bahwa dirinya bisa
seperti yang lain, sehingga akan malu untuk pamer kemewahan dan hidup
bermewah-mewah, hedonis.
Namun faktanya gaya hidup hedonistik ini tampak semakin banyak saja
pengikutnya. Hedonisme yang mengajarkan 'nikmatilah segala sesuatu
dalam hidup selagi memungkinkan dan ada kesempatan' seperti diajarkan
oleh Epicurus pada 2000 tahun yang lampau kayaknya membuka peluang
terciptanya pasar untuk kemewahan.
Apalagi setting opini diarahkan agar kemewahan terasa menjadi semakin
wajar dan manusiawi, meskipun tentu saja banyak pihak yang tidak
sependapat dengan paham tersebut.
Pola dan gaya hidup yang menginginkan tampak serba mewah, boros dan
tidak produktif ini telah sejak lama dibahas oleh Von Veblen (1929)
menjelang resesi dunia pada tahun 1930 dalam teorinya 'The Leisure
Class'. Perubahan gaya hidup yang diakibatkan oleh perubahan budaya
sebagai dampak negatif perkembangan teknologi yang mampu menghasilkan
sikap dan perilaku yang tidak bermanfaat atau sia-sia.
Pola konsumsi yang disebut 'conspicious consumption' ini tampaknya
menjawab fenomena mengapa banyak orang tidak memliki sense of crisis
saat ini. Semakin banyak saja mobil mewah berlalu-lalang di
jalan-jalan raya, lalu lintas serba macet di hari-hari libur panjang
dan tentunya semakin maraknya pembangunan mal dan wisata belanja di
kota-kota. Dalam pola dan gaya hidup seperti itu maka tujuan dan
maksud adalah bersantai (leisure) dan untuk pamer agar supaya dikagumi
orang lain (demonstration effect).
Di sini manfaat barang dan jasa yang dikonsumsi adalah diukur oleh
sejauhmana 'kenikmatan' dan 'manfaat' yang didapat dari tingkat
kekaguman pihak lain yang melihatnya. Manfaat dan semangat pamer ini
akan semakin besar dan efektif dalam lingkungan masyarakat yang
miskin.
Dengan demikian maka semangat pamer ini menjadi meningkat dan
mendorong masyarakat menengah ke bawah tertarik untuk mengikutinya.
Menurut Veblen, secara alamiah melalui proses historis dan
antropologis, kecenderugan seperti ini akan terjadi.
Perilaku ini melembaga secara seremonial dan memiliki karakteristik
cinta berlebihan terhadap uang. Oleh karenanya bagi mereka akan lebih
menghargai pekerjaan yang mampu 'making money' dibandingkan dengan
'making goods'.
Penghargaan atau nilai tinggi diberikan bila sesuatu dapat dinilai
secara materi (tangible) dan dapat diukur dengan nilai uang (p-cuniary
emulation) dibandingkan memaksimalkan manfaat (utility maximization) .
Pada gilirannya maka semangat dan sikap hidup sederhana dan etos kerja
keras dianggap dan dinilai sebagai 'ketidak-berhasilan ', sedangkan
sikap santai 'biar tekor asal kesohor' dan kemewahan akan dinilai atau
dianggap sebagai indikasi 'keberhasilan' hidup.
Masyarakat golongan menengah sebenarnya banyak yang memiliki kemampuan
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan layak.
Namun tidak habis-habisnya mereka menjadi target pasar berbagai produk
'kemewahan' yang sebenarnya bukan yang mereka butuhkan.
Sementara itu para pengusaha semakin jeli menciptakan pasar dan
membaca nafsu terpendam (desire) dalam diri para calon konsumen ini
yang siap dan rela menggadaikan 'masa depan' mereka demi kesempatan
menikmati kemewahan dalam bentuk produk dan layanan yang berselera dan
berkualitas tinggi, meskipun hanya sesaat.
Pola hidup sederhana tak lain merupakan buah keindahan dari kekuatan
mengendalikan diri dari hawa nafsu dan keserakahan. Meski untuk
menjadi kaya-raya tidak dilarang agama. Termasuk siapa pun, tidak
dilarang punya mobil mewah, rumah mewah, kapal pesiar mewah dan
perhiasan mahal, namun asal kekayaannya itu diperoleh secara halal.
Apalagi kaya tidaknya seseorang bukan dinilai dari seberapa banyak
harta yang dipamerkan akan tetapi kekayaan itu dinilai dari seberapa
banyak harta yang diinfakkan di jalan Allah, seperti yang
diperlihatkan oleh Abu Bakar ra.
Para pemimpin seharusnya bisa memberi contoh terhadap rakyat yang
sebagian besar miskin, untuk tidak hidup mewah. Seringkali, justru
petinggi negara itu terlena, mabuk kepayang dan lupa daratan, hingga
tanpa mereka sadari, hidup bergelimang kemewahan. Mentang-mentang
menjabat, dibiayai negara, mereka menggunakan aji mumpung. Potret
hidup kita seakan dalam suasana yang paradoks. Kita diimbau hidup
sederhana, memiliki sense of crisis namun kenyataannya kaum elite
mempertontonkan kemewahan. Padahal, kesederhanaan dan keprihatinan
perlu keteladanan.
Allah telah ridha kepada Said bin Amir al-Jumahi. Dia berusaha keras
menundukkan ambisi pribadinya, mengendalikan kepentingan diri dan
keluarganya, demi mengutamakan kepentingan rakyat yang lebih
membutuhkan. Singgasana yang galibnya penuh gemerlap, bagi seorang Al
Jumahi hanyalah seonggok limbah yang patut dibersihkan. Puncak
kariernya adalah puncak pengabdiannya kepada Allah swt. Dia bertahta
tanpa istana. Kesederhaannya laksana silau bintang yang dinikmati para
penghuni langit. Al Jumahi menjadi satu di antara para 'bintang'
pemimpin shaleh yang rasa takutnya kepada Allah amatlah besar
dibanding sesuatu yang lainnya. Wallahu a'lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Singgasana Sang "Bintang""
Posting Komentar