POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

Wartawan Porno itu Pengkhianat

Diposting oleh Masakan On 20.24
Ade Armando, Ketua Pelaksana Harian MARKA (Lembaga Media Ramah Keluarga)
Media berbau pornografis marak lagi, mendompleng atmosfir reformasi dan kemerdekaan pers. Sebut saja TOP, MaP, Harmonis, Desah, KISS, TRAgedi, Liberty, dan Pengakuan. Belum lagi media lama yang selama ini tampil malu-malu dan terbungkus jargon seni, seperti Popular, Matra, dan Pos Film.
Konon, masalah ini sudah dibawa ke sidang Kabinet dan ke Gedung MPR/DPR. Reaksi yang berdatangan, terutama dari tokoh dan LSM yang selama ini berteriak keras, terkesan lamban dan belum terlalu banyak.
Masyarakat mulai geram akan kelambanan pihak-pihak pemerintah maupun non-pemerintah itu. Salah seorang yang mewakilinya adalah Ade Armando. Ketua Pelaksana Harian MARKA (Lembaga Media Ramah Keluarga) yang juga dosen Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Indonesia.
Sebagai ahli ilmu Komunikasi, ia tahu persis tentang dampak negatif, selain yang positif dan daya rusak lembaga yang bernama media ini, baik media cetak (majalah, komik, surat kabar, buku, tabloid) atau elektronik (film layar lebar, televisi, kaset, Laser Disc, VCD, CD-ROM, computer game, Internet).
Ade merasa tak cukup hanya berbicara di kelas, tapi bersama tokoh LSM lain seperti Haidar Bagir, Zaim Saidi, Marwah Daud Ibrahim menggalang sebuah gerakan bernama MARKA. Lembaga yang didirikan 10 Juni 1998 ini memang mengkhususkan diri sebagai pemantau media.
"Tidak ada sejarahnya di dunia, permintaan terhadap pers porno akan menurun jika dibebaskan beredar di pasar," tegas Ade. Ia menunjuk kasus Play Boy. Ayah seorang anak ini yakin, hanya dengan desakan masyarakat pemerintah akan bersikap keras kepada media-media porno. "Kita harus belajar dari Singapura," katanya. Berikut perbincangan Ali@nsi dengan mantan wartawan Republika ini.

Maraknya media berbau pornografi ini sebenarnya petanda apa?
Kombinasi. Pertama-tama memang seks itu gampang dijual. Sebenarnya sudah cukup lama kita lihat itu diperiklanan, macam-macam media seperti film. Pada dasarnya itu memang sudah menarik perhatian dan menjadi barang dagangan.
Yang kedua, karena iklim demokrasi dikhianati. Sebelum ini, minimal pada Orde Baru, kan ada kontrol yang cukup ketat terhadap pers yang tidak hanya soal politik tapi juga seks ini. Ketika sekarang pemerintahannya lebih demokratis, ternyata sikap terbuka itu dimanfaatkan untuk mengekspos sesuatu yang sebelumnya tidak mudah diakses. Tidak hanya berita politik tapi juga pornografi.
Tentang masalah perdebatan antara seni dan pornografi, bagaimana?
Memang, pornografi punya konotasi bahwa sesuatu itu diciptakan untuk membangkitkan sexual arrousal, membangkitkan birahi. Jadi definisinya, memang sengaja membangkitkan birahi, dan mengeksploitasi seks. Tapi ini bukan persoalan seni atau bukan seni. Meskipun artistik, masyarakat harus tetap menolak. Karena dampaknya sama. Yang kita persoalkan adalah dampak, bukan cara penyajiannya. Dalam hal ini, saya rasa memang agak runyamkalau perdebatan seni atau bukan. Kalau seni lantas apa.
Bagaimana Anda menggambarkan kekuatan media yang memberi dampak buruk?
Kami sebenarnya enggan memakai istilah pornografi karena alasan tadi, karena bisa terjebak pada debat mana yang porno mana yang tidak. Yang kita persoalkan adalah apa yang disebut materi seks pada media.
Kami percaya bahwa kalau ada eksploitasi materi seks terhadap media maka akan berdampak buruk di masyarakat. Karena dampaknya, lepas apakah seni atau tidak, adalah membangkitkan gairah. Kalau terus-menerus dikonsumsi, maka perlu ada penyaluran, kan. Penyalurannya bermacam-macam, dan akibatnya tidak hanya satu.
Ada orang yang bisa menahan diri. Sebagian yang lain sekedar berfantasi. Ada juga yang melakukan (maaf) masturbasi. Tapi ada sebagian besar tidak cukup puas dengan itu, harus dilampiaskan dengan berhubungan. Kalau ini adalah orang yang tidak setia pada pasangannya, maksudnya pada pernikahan, maka dia akan melampiaskan dalam sejumlah bentuk. Kalau sudah menikah dia tidak cukup pada ikatan pernikahan, tapi juga di luar, selingkuh.
Yang belum menikah, akan berhubungan dengan yang bukan istrinya, bisa dengan pelacur. Kalau terus kita membiarkan ini beredar, kita akan tiba pada masyarakat yang kita sebut aktif secara seksual (sexually active society). Dalam keadaan itu, wajar timbul berbagai persoalan.
Sekarang ini yang jadi persoalan, AIDS, kan? Lalu ada penyakit kelamin lainnya. Lalu ada kehamilan remaja di luar nikah, yang berlanjut dengan aborsi, pengguguran kandungan. Pengguguran itu lebih banyak illegal, yang ilegal lebih banyak bahayanya, lagi. Lalu ada persoalan, bila selingkuh, perceraian yang berlanjut pada single parenthood. Ada anak-anak yang dibesarkan hanya dengan satu orang tua. Lalu mendorong pemerkosaan, pelacuran, dan sebagainya.
Jadi ada banyak sekali problem dalam masyarakat seksual aktif tadi. Itu sudah dialami dalam negara-negara maju. Dangan pengalaman itu, kita bisa belajar, jangan sampai pada tahap yang sama.
Maraknya media porno itu hanya alasan ekonomi semata atau ada alasan ideologis di baliknya?
Saya tidak berani menjawab yang kedua. Bagi saya yang pertama-tama adalah bisnis, walaupun kepentingan bisnisnya amat luas. Pornografi tidak hanya penting bagi produsennya. Karena gaya hidup yang bebas itu bisa memfasilitasi gaya hidup yang konsumtif, yang bebas dan liar. Yang tidak konservatif.
Masyarakat jadi cenderung longgar nilai-nilainya dan sangat rentan dan kondusif menjadi hedonistik. Maka ada akan mudahlah masuklah consumer's good (barang-barang konsumen). Gaya hidup hura-hura.
Jadi ada teori, kalau masyarakatnya konservatif, maka masyarakat itu akan hidup secara hemat. Kalau setia pada keluarga, maka dia akan berpikir pada pendidikan anak. Hal-hal yang tidak adventurous, petualangan.
Tapi isinya masyarakat adalah orang-orang yang tidak percaya pada lembaga pernikahan, maka hidupnya disibukkan dengan pesta, night life, ke disko. Jadi liar dan hedonistik. Masyarakat itulah yang sangat menerima barang konsumen. Jadi ada alasan bisnis jangka panjang, selain membuat laku produk itu sendiri.
Bagaimana sistem penegakan hukum bisa menjerat kasus-kasus media porno ini?
Sebetulnya kita punya aturan hukumnya. Misalnya dalam KUHP ada ayat yang menyatakan bahwa bagi pihak yang mendistribusikan, menawarkan barang yang membangkitkan birahi ada ancaman hukumannya. Begitu juga dengan yang melanggar kesusilaan. Ini memang sudah lama tidak dipakai. Bisa kita aktifkan.
Jadi sudah ada perangkat hukum yang bisa memenjarakan pelakunya, walaupun tidak lama. Hanya beberapa bulan. Tapi itu cukup bagus untuk membuat orang jera. Bukan produsennya saja, bahkan sampai si penjajanya, yang tidak ditangkap hanya pembelinya saja. Itu ada dan bisa dipakai.
Sebetulnya posisi pemerintah cukup kuat dalam lembaga penyiaran, televisi dan radio. Pemerintah yang paling berhak memberikan frekuensi penyiaran, dan itu ada jangka waktunya. Kalau nggak salah lima tahun. Sebelum lima tahun pun, bisa saja pemerintah menarik kembali izin penggunaan frekuensi itu karena alasan ketertiban umum, karena tidak memanfaatkan izin yang diberikan dengan sebaik-baiknya.
Belum lagi ada lembaga sensor, yang bisa dipakai untuk menyeleksi tayangan yang dianggap berbahaya. Jadi penegakan hukum sekarang hanya masalah mau atau tidak. Jadi publik harus terus-menerus mendesak pemerintah. Pemerintah sekarang kan ragu-ragu, kalau dianggap campur tangan dianggap anti kebebasan pers. Pemerintah seperti itu harus didesak, bahwa publik tidak menganggap campur tangan seperti itu mengekang kebebasan pers. Sebetulnya bisa.
Jadi menurut Anda pemerintah masih kurang tegas?
Masih sangat kurang. Itu bisa dipahami. Menpen kita kan sangat demokratis orangnya, terbuka. Dia sangat percaya bahwa kalau orang diberikan kesempatan untuk bebas merdeka maka mereka akan memanfaatkannya sebaik-baiknya. Tapi ternyata kepercayaan yang diberikan Menpen dikhianati oleh media porno itu. Jadi, sekarang sudah saatnya pemerintah media yang mengkhianati kebebasan pers itu.
Bahkan mereka ilegal. Banyak yang tidak punya SIUPP, bisa ditindak secara hukum. Bisa menindak atau melacak sumbernya. Misalnya majalah Harmonis, Kiss yang isinya sangat vulgar dan jorok dan tanpa SIUPP. Pemerintah punya kewenangan untuk menindak, dan kita mesti terus mendesaknya.
Kenapa Anda sebut mereka mengkhianati kemerdekaan pers?
Mengapa kemerdekaan pers diperjuangkan mati-matian. Ada yang sampai mati dan masuk penjara. Mereka memperjuangkan itu karena percaya bahwa kemerdekaan pers bisa mengontrol perilaku pemerintah. Tidak ada ada lagi kekuasan absolut, karena mereka tahu mereka selalu dikontrol. Dan itu untuk kepentingan masyarakat luas. Itulah tujuan luhurnya. Tapi kemerdekaan pers tidak ada urusan sama sekali dengan kemerdekaan untuk mengeksploitasi seks. Itu pengkhianatan. Mereka menghina sendiri profesi wartawan. Menurut saya, libas saja wartawan bodoh seperti itu.
Para tokoh masyarakat sudah cukup keras suaranya?
Sejauh ini lumayan. Beberapa pekan ini sudah mulai keluar statement walau kayaknya masih spasial. Yang paling bagus, kalau ada lembaga besar, seperti MUI yang menyuarakannya. Anda juga harus ingat ada baiknya isu ini tidak hanya beredar di kalangan Islam saja.
Saya percaya bahwa golongan Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu sebetulnya standpointnya tentang pornografi sama. Ini kan sangat bagus seandainya isu ini mempersatukan kelompok agama-agama besar ini untuk bersama-sama mengecam sesuatu yang sama sama tolak.
Kalau media seperti VCD, LD, CD ROM (yang sudah mengeluarkan game tentang virtual make love) yang gampang ditemukan, bagaimana cara penertibannya?
Sebetulnya aparat keamanan mempunyai otoritas yang amat besar untuk menghabisinya. Jadi kalau media cetak, seperti Popular, yang punya SIUPP tapi banyak gambar yang seperti itu, memang perlu proses yang panjang.
Tapi LD, VCD, atau komik porno, yang diperlukan sekarang adalah komitmen pemerintah dan aparat untuk mengadakan pembersihan secara tegas. Sebetulnya dari dulu pun itu dilakukan. Tapi kelihatannya, tidak pernah konsisten terus menerus. Misalnya ada kasus 100 VCD disita, dibakar.
Tapi begitu aja. Ada lagi orang yang mengedarkan, yang tidak memperoleh hukuman yang pantas. Sekarang sudah agak terbuka sekali mereka menjajakannya. VCD sekarang malah dipajang, dan dijual bebas, tidak pakai bisik-bisik, di pinggir-pinggir jalan. Kalau yang itu sudah jelas, harus dihabisi.
Pemerintah kita desak untuk menegakkan hukum, karena tidak hanya jorok tapi juga ilegal. Mungkin masalahnya adalah mereka berhadapan dengan mafia yang sudah demikian panjang tangan guritanya, seperti juga perjudian selama ini.
Ada yang bilang menjamurnya media porno ini hanya sementara sifatnya?
Tidak ada buktinya itu bisa terjadi. Kecuali ada hukum yang keras, bukan menyurut permintaan media itu tapi malah akan meningkat. Itu dimana-mana. Karena alasannya, dulu sempat marak media porno tapi menghilang. Tanya dong mengapa surut. Tahun tujuhpuluhan itu kan sempat marak terus dihadapi dengan hukum, kan. Produsen itu entah di cabut SIUPPnya, ditegur keras, diajukan ke pengadilan. Hanya dengan bahasa hukum mereka bisa mengerti.
Di Amerika, misalnya Play Boy dibiarkan bebas, apa menyurut permintaannya. Tidak. Tentu saja Play Boy, tahun 1950-an, waktu pertama kali muncul langsung melejit tinggi sekali. Dia adalah salah satu majalah yang pertumbuhan awalnya melesat dalam sejarah Amerika.
Tapi pada titik tertentu dia mencapai titik jenuh. Pada tahun 1960-an dia malah menurun. Tapi tidak berarti permintaan terhadap majalah sejenis berkurang. Yang terjadi adalah muncul alternatif lain, seperti Penthouse, Hustler dan macam-macam.
Tadinya satu, karena sukses, langsung diikuti oleh yang lain. Sebetulnya Play Boy menjadi tonggak sejarah bagi industri seks di Indonesia. Setelah lahirnya majalah itu, muncul beragam media seks lainnya termasuk film. Kalau anda lihat, film tahun 1950-an di sana termasuk sopan.
Tapi semenjak ada Play Boy dan dilihat tidak ada hukuman terhadapnya, muncullah dan berkembanglah film seperti itu. Jadi tidak ada bukti sejarah bahwa jika media itu dibiarkan bebas, maka permintaan akan menurun, tidak.
Masalah penertiban pornografi di Internet, bagaimana?
Kalau produsennya dari luar negeri, kita tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi kalau pemerintah menyatakan dengan tegas bahwa itu melanggar hukum, yang membuat site itu di Indonesia bisa ditangkap. Itu dilakukan oleh negara seperti Singapura. Mereka bisa mengajak provider untuk memantau isi internet.
Di negeri itu, orang yang mengaksesnya yang menangkap. Jadi, perlu ada polisi rahasia. Yang ditangkap memang satu-dua orang. Tapi ada bukti ke publik bahwa ada orang ditangkap karena sedang membuka situs porno, dan itu melanggar hukum. Memang ada yang tidak tertangkap, ya tidak apa-apa.
Saya pernah ngomong sama Menteri Penerangan Singapura, dia bilang: yang penting adalah ada sikap dari pemerintah. Publik perlu tahu bahwa sebenarnya kami seperti ini. Bahwa kemudian karena ada teknologi yang susah dibendung, itu soal lain. Tapi yang jelas, publik perlu tahu bahwa tindakan itu melanggar hukum. Anda bisa mencuri-curi melanggar hukum, tapi anda harus tahu bahwa itu melanggar hukum.
Kiat kongkrit orang tua untuk melindungi keluarganya dari serangan media porno bagaimana?
Orang tua harus menyatakan secara tegas bahwa hal itu memang anti dan tidak mengizinkan hal itu dikonsumsi. Baik oleh mereka atau anak mereka. Yang jadi persoalan adalah ketika anak sudah bisa menilai apa yang dikonsumsi oleh orangtuanya. Kalau ternyata materi porno mereka akan meniru mengkonsumsikannya dengan sembunyi-sembunyi. Makanya harus ada ketegasan dalam menolaknya, dan itu dalam beragam bentuk. Bahkan dalam level, misalnya, kita melarang beredarnya joke-joke yang miring dalam keluarga. Terkadang kita membiarkannya. Memang, yang paling ideal adalah pendidikan yang ditanamnkan dalam keluarga, dengan orang tua sebagai contohnya. Hanya dengan cara itu, anak akan tumbuh dengan kesadaran bahwa hal itu memang tidak layak untuk dikomsumsi.
Efektifkah bila media porno dilawan dengan media juga, seperti kampanye anti AIDS?
Pokoknya, selama masih ada di pasaran, kta tidak bisa berharap bahwa masyarakat dengan kritis menilai baik-buruknya hal itu. Kaum liberal pernah percaya dengan hal itu, tapi akhirnya tidak lagi, karena banyak kasus di banyak negara. Kecuali kalau tingkat kesadaran masyarakatnya sudah sedemikian tinggi.
Kampanye dalam artian membangun kesadaran saja tidak cukup. Kecuali kalau ada kampanye tentang adanya regulasi yang ketat tentang masalah ini, yang mendesak perlemen menghapus hal pornografis.

0 Response to "Wartawan Porno itu Pengkhianat"

Posting Komentar

    Blog Archive

    About Me