Suasana itu agaknya sudah diantisipasi sebelumnya. Dua
pihak yang dalam beberapa hal tidak sejalan mengenai
soal-soal keagamaan turut serta dalam kongres. Sedikitnya
Muhammadiyah dan AI-Irsyad di satu pihak dan peserta
sayap pesantren yang diwakili Kyai Abdul Wahab dan
Kyai Asnawi yang datang atas nama Taswirul-Afkar.38 Se-
bagai jalan tengah untuk mengatasi perbedaan faham maka
dipilih SI sebagai pimpinan kongres. Kalangan SI memang
berusaha agar kongres tidak memperdebatkan soal-soal ke-
cil yang bukan pokok agama, tetapi apa yang diharapkan
justru sebaliknya yang terjadi. Agus Salim selanjutnya me-
ngemukakan sebagai berikut:
Malah sebagian saudara kita lebih bersaudara dengan Ma-
jusi.. Yahudi dan Nasrani dari pada dengan golongan Islam
yang masuk perikatan Al-Irsyad dan Muhammadiyah.39
Ada pula yang datang mementingkan Agama Islam. Ke-
datangan mereka semata-mata untuk mengalahkan, akan meng-
hancurkan haluan Islam yang lain-lain dari pada yang sudah
menjadi pusaka turun-temurun di dalam bangsa dan tanah air
kita, malah umumnya seluruh dunia. Pendek kata kedatangan
mereka jauh dari mencari persatuan dan persaudaraan ummat
Islam. Malah mereka tidak menghendaki perdamaian.40
Tak lain tak bukan hanyalah kepentingan beberapa fihak
yang sekedar berebut kemenangan faham atas beberapa cabang
yang sekali-kali tidak menjadi pokok agama.41
Sampai kongres Al-Islam Bandung 1926 pertentangan te-
rus terjadi antara sayap pesantren dengan nonpesantren,42
selanjutnya setelah yang pertama mengundurkan diri dari
kegiatan kongres Al-Islam pertentangan terus terjadi antara
sayap nonpesantren sendiri.
Selain Muhammadiyah di Surabaya juga sudah berdiri
cabang AI-Irsyad, berdiri tahun 1913 mendapat pengakuan
badan hukum tahun 1915. Perhimpunan ini bermula dari
perselisihan faham kalangan keturunan Arab yang terga-
bung dalam Jami'at Khair, berdiri tahun 1905.43 Perselisihan
terjadi dalam soal kafa'ah antara golongan 'Alawi yang ber-
darah ningrat keturunan Nabi Muhammad dan golongan
lain. Kebanyakan keluarga keturunan 'Alawi tidak mene-
rima calon mempelai lelaki bukan 'Alawi. Pandangan ini
menurut mereka memiliki dasar hukum yang sah.44 Tentu
saja golongan Arab lain menolak anggapan tersebut dan
akhirnya menjadi pangkal perselisihan yang berkepanjang-
an, karena itu keturunan Arab bukan 'Alawi bergabung
dengan Al-Irsyad yang menentangnya.
Salah seorang tokoh yang berpengaruh dalam Al-Irsyad
ialah Syikh Ahmad Ibn Muhammad Surkati berasal dari
Sudan, datang ke Indonesia atas permintaan Jami'at Khair,
tetapi kemudian keluar dari organisasi itu bergabung de-
ngan AI-lrsyad.45 Sebagai tokoh yang berpengaruh banyak
pemikiran Surkati yang diterima sebagai pemikiran Al-
Irsyad. Surkati menulis buku Al-Masa'il al-Salas (tiga masa-
lah) yang mengupas tiga persoalan: (1) ijtihad dan taqlid, (2)
sunnah dan bid'ah, dan (3) ziarah kubur dan wasilah (per-
mohonan dengan perantara) melalui Nabi Muhammad atau
para wali.46
Ahmad Sukarti diundang debat untuk membicarakan tiga
persoalan tersebut oleh kalangan ulama pesantren di Masjid
Ampel, Surabaya, namun oleh karena dianggap akan me-
nimbulkan dampak negatif maka debat itu dilarang. Wa-
laupun begitu Sukarti perlu memberi keterangan lewat tu-
lisan maka terwujudlah buku tersebut.47 Di samping me-
nulis buku Sukarti juga menerbitkan majalah Al-Zakhirah
al-Islmiyyah, majalah bulanan yang terbit kira-kira satu ta-
hun lamanya. Kurang lebih isinya meniru majalah AI-Manar
yang terbit di Kairo dan sangat populer ketika itu di In-
donesia.
Selain Al-Irsyad. muncul pula perhimpunan Persatuan Is-
lam (Persis) yang berpusat di Bandung. Mulanya dari ke-
giatan grup diskusi pengajian agama yang diselenggarakan
pada awal tahun dua puluhan oleh sejumlah saudagar
berasal dari Palembang yang tinggal di Bandung kemudian
lahir Persis.48 A. Hassan, saudagar kelahiran Singapura ber-
asal dari India tinggal di Surabaya kemudian bergabung
dengan Persis dan akhirnya menjadi tulang punggung uta-
ma yang sangat berpengaruh. Melalui kegiatan pengajian
dan perdebatan yang diselenggarakan, juga tulisan-tulisan
yang tersebar melalui percetakan yang dipimpin sendiri,
Hassan mengemukakan berbagai pandangan keagamaannya
yang "menantang" pendapat umum yang telah melembaga
dalam tradisi kehidupan keagamaan masyarakat Islam. Ti-
dak mengherankan kalau kemudian timbul reaksi, baik da-
lam bentuk perdebatan agama yang berlangsung di bebe-
rapa daerah maupun reaksi sepihak yang diselenggarakan
dalam banyak kesempatan pengajian maupun ceramah ke-
agamaan.49
Munculnya orang-orang atau perhimpunan yang berfa-
ham baru di Surabaya dan beberapa daerah Jawa lainnya
tentu saja menimbulkan reaksi yang bermacam-macam. Ini
tidak berarti bahwa faham baru yang dibawa itu tidak
sesuai dengan kaitan penataan hubungan sosial keagamaan
masyarakat Islam di Indonesia, tetapi merupakan gejala
umum dan normal setiap transformasi ide baru ke dalam
kehidupan sosial akan menimbulkan disharmoni dan ke-
tidakstabilan bila penerapannya tidak didasari pemahaman
yang baik tentang pranata dan kelembagaan sosial yang
hidup di tengah masyarakat. Reaksi terhadap gagasan baru
itu tentu ada yang menerima dan ada pula yang menen-
tang. Mereka yang menentangnya ada yang bersifat pribadi
dan ada pula yang melembagakan dalam perhimpunan
atau jemaah pengajian dan lain-lain.
G.F.-Pijper dalam laporannya mengatakan bahwa di Ku-
dus sekitar tahun 1926 terjadi seorang ayah yang menikah-
kan anak perempuannya mengajukan syarat ta'liq (syarat
yang dinyatakan dalam akad perkawinan, jika syarat itu
tidak dipenuhi maka jatuh talak), jika mempelai lelaki nanti
menjadi anggota Muhammadiyah, maka perkawinan itu ba-
tal.50 Peristiwa semacam ini barangkali tidak hanya terjadi
di Kudus saja, sebab pada umumnya reaksi masyarakat
terhadap gagasan-gagasan pembaruan Muhammadiyah dan
perhimpunan lain yang sejenis, ada yang keras dan ada
pula yang lunak, bahkan menerimanya.51 Anekdot di atas
hanyalah sebagian dari reaksi pribadi seorang yang menen-
tangnya.
Sebenarnya persoalan yang muncul dari issue yang di-
bawa aliran baru adalah di seputar soal pokok ijtihad dan
taqlid lalu dari soal pokok tersebut berkembang menjadi
soal-soal yang bersifat furu' (ditil yang tidak disepakati),
talqin, wasilah dan lain-lain.52 Soal kebangsaan atau nasio-
nalisme diperdebatkan pada bagian kedua tahun tiga pu-
luhan oleh Persis dengan Muhammadiyah atau orang-orang
Muhammadiyah.53 Gagasan pembaruan Islam yang muncul
di awal abad ini memang sebagian diilhami oleh gerakan
serupa di Timur Tengah khususnya Mesir. Sejumlah re-
ferensi bacaan dari Mesir khususnya majalah yang diterbit-
kan Muhammad 'Abduh dan Rasyid Rida beredar di In-
donesia dan dibaca secara terbatas oleh elite Islam ter-
pelajar.54 Namun dampak dari pembaruan itu bagi ma-
syarakat umum berbeda antara yang terjadi di Indonesia
dengan yang terjadi di Mesir. Memang pembaruan yang
dipelopori 'Abduh dan kawan-kawan serta pengikutnya
menekankan pentingnya ijtihad dikembangkan kembali. Me-
nurut 'Abduh salah satu penyebab kemunduran ummat
Islam sehingga tertinggal dari Barat karena ijtihad tidak di-
kembangkan lagi.55 Ummat Islam dihinggapi rasa kebang-
gaan masa silam mereka dan menganggapnya sebagai pun-
cak kemajuan Islam. Mereka merasa puas diri dengan masa
silam itu dan mengikutinya sebagai kebenaran yang tidak
terbantah.
Akan tetapi pembaruan di Mesir yang menegaskan per-
lunya ijtihad dikembangkan kembali itu lebih menekankan
bidang mu'amalah (kemasyarakatan, termasuk ekonomi, po-
litik dan pendidikan) dan ilmu pengetahuan, bukan dalam
bidang ibadah yang seperti terjadi di Indonesia.56 Jika benar
pembaruan Islam atau masyarakat Islam yang dikembang-
kan aliran baru di Indonesia awal abad ini dipengaruhi
pembaruan 'Abduh dan kawan-kawan di Mesir, maka yang
terjadi di Indonesia baru semangat dan lapisan luar belaka.
Dampak pembaruan yang muncul ketika itu (barangkali
sebagian sampai sekarang) justru lebih banyak di seputar
soal-soal khilafiyah (masalah yang tidak disepakati) dalam
bidang ibadah. Di Mesir sendiri, setidaknya sampai dekade
keempat abad ini, sekalipun soal-soal khilafiyah bidang iba-
dah itu ada, namun tidak menjadi issue sentral yang me-
negangkan, seperti yang tejadi di Indonesia.57 Mereka da-
pat berdamai dalam soal-soal yang tidak disepakati, khu-
susnya dalam bidang furu', karena berbeda metode analisis
dan argumentasinya.
Dalam soal ijtihad 'Abduh sendiri mengakui tidak semua
orang Islam mampu dan memenuhi syarat untuk melaku-
kannya.58 Hanya orang-orang tertentu yang mampu dan
memenuhi syarat yang dapat melakukannya. Perdebatan
mengenai soal ini di Indonesia lebih diwarnai soal termino-
logi daripada esensi ijtihad dan taqlid itu sendiri. Semua
fihak sepakat tidak semua orang Islam mampu dan me-
menuhi syarat untuk melakukan ijtihad, dan mengenai yang
tidak memenuhi syarat ini wajib taqlid atau tidak, di sini
terjadi perbedaan faham. Satu pihak mengatakan bahwa
orang yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad harus
ittiba' (mengikuti) dengan kewajiban mengetahui dalil dari
Qur'an dan hadis, sementara fihak lain beranggapan bahwa
yang demikian itu sudah termasuk kategori taqlid. Satu
fihak beranggapan bahwa taqlid adalah suatu bentuk meng-
ikuti tanpa mengetahui dalil Qur'an dan hadis dan me-
nyebutnya taqlid buta, perbuatan itu haram. Fihak lain ber-
anggapan bahwa taqlid buta itu juga boleh, sebab kenyataan
sampai waktu itu (barangkali juga sekarang) jumlah orang
yang buta huruf Arab maupun latin masih tinggi. Ter-
hadap orang yang demikian ini tidak bisa dituntut untuk
mengatahui dalil dari Qur'an maupun hadis, membaca pun
mereka tidak bisa.59
Dalam kongres Al-Islam yang pertama di Cirebon tahun
1922.60 sayap pesantren mendapat kecaman, jika tidak di-
sebut serangan, aliran baru karena mereka mempertahan-
kan taqlid, menolak menerapkan ijtihad mengingat kemam-
puan pada umumnya ulama di Indonesia belum memenuhi
syarat karena belum tersedianya perangkat metodologi
yang cukup, penguasaan bahasa Arab yang kurang dan
tidak tersedianya bahan referensi yang cukup. Tiga tahun
kemudian dalam kongres Al-Islam ketiga di Surabaya ta-
hun 1924 terjadi kompromi. Surat kabar Hindia Baroe dipim-
pin oleh Agus Salim mengomentari hasil keputusan itu
dengan anak judul "Moesjawarah Oelama, Boeah jang Lezat",61
mengingat dalam kongres sebelumnya terjadi perdebatan
yang seru masing-masing fihak mempertahankan pendirian
mereka. Keputusan musyawarah ulama telah diumumkan
dalam openbare Congres Al-Islam Hindia di Surabaya: (1)
Ijtihad dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu antara
lain mengetahui nas Qur'an dan hadis; mengetahui ijma'
ulama; mengerti bahasa Arab dengan baik; mengetahui ten-
tang 'am, khas, mufassal, mujmal dalam Qur'an; naskh, man-
sukh, mutlaq, muqayyad, mujmal dan mufassal dalam Qur'an
dan hadis; menguasai hadis dan muhaddisun; dan menge-
tahui asbab al-nuzul. "Barang siapa jang bersifat dengan
sjarat-sjarat jang terseboet di atas, maka wadjiblah atasnja
beridjtihad dan berdosalah djikalaoe tidak beridjtihad", di-
tegaskan dalam keputusan tersebut.62 (2) Salaf ialah ulama
fuqaha', muhaddisun dan ahli tauhid abad pertama sampai
dengan abah ketiga Hijriah, selain itu tidak termasuk kate-
gori salaf. Kitab tafsir Qur'an diterima bila ditulis oleh
orang yang mu'tamad (representatif) didasarkan atas penaf-
siran yang sah. (3) Mengakui bahwa Muhammadiyah dan
Al-Irsyad tidak termasuk Wahabi, tidak keluar dari mazhab
empat, dan tidak mengafirkan orang yang melakukan ta-
wassul. Tentang tawassul masih akan dilanjutkan pembicara-
annya di lain kesempatan. Tidak mengingkari adanya ka-
ramah, anugerah keistimewaan dari Tuhan kepada seorang
hambaNya yang mukmin dan beramal saleh, dan menghor-
mati kitab-kitab ulama yang mu'tamad dan diakui.63
Keputusan ini mengisyaratkan bahwa issue pembaruan
yang dikemukakan aliran baru tidak menggoyahkan sayap
pesantren, malah justru menimbulkan interaksi positif, bah-
wa pembaruan tidak selalu harus mencabut akar kultural
keagamaan masyarakat yang telah hidup, dan sebaliknya
tidak berarti akar kultural keagamaan itu harus dipertahan-
kan mati-matian tanpa perbaikan. Dari satu segi argumen-
tasi mereka dalam perdebatan agama kongres Al-Islam da-
pat mengendalikan argumentasi aliran baru. Ini antara lain
dibuktikan dengan diterimanya keputusan tersebut di atas.
Bahwa ijtihad tidak hanya dengan semangat yang meng-
gebu tetapi perlu pemikiran yang jernih dan penguasaan
materi yang cukup dan tidak mungkin dilakukan oleh se
mua orang Islam, apalagi ijtihad yang bersifat perorangan.
Aspek ini saja tidak semudah yang disangka orang, sebab
lembaga-lembaga kajian Islam yang ada di Indonesia waktu
itu belum mendukung dilaksanakan kajian secara cukup
memadai, apalagi di bidang muh'malah dan ilmu pengeta-
huan. Selain itu kategori salaf yang menjadi acuan penting
pemikiran keagamaan sampai dengan abad tiga Hijriah
memberi arti imam-imam mazhab mendapat pengakuan
sebagai salaf, sebab mereka hidup di seputar abad tersebut.
Tentu saja dengan demikian pemikiran keagamaan yang
menggunakan referensi mazhab tersebut diakui sebagai salaf
yang sah diikuti, di luar itu tidak termasuk salaf, walaupun
tidak secara tegas ditolak, namun mengisyaratkan kesan
ketidakabsahannya. Apakah dengan demikian faham aliran
baru tidak bersumber dari salaf, tidak mendapat jawaban
dari kongres tersebut.
Soal pengakuan bahwa dua aliran baru Muhammadiyah
dan Al-Irsyad tidak termasuk aliran Wahabi(64 dan tidak
keluar dari mazhab empat, sebenarnya agak rancu.
Keputusan itu mengindikasikan kedua organisasi tersebut
memang tidak mengakui mereka beraliran Wahabi, sebab
sekiranya mereka beraliran Wahabi tentulah mereka
menolak keputusan tersebut. Muhammad 'Abd al-Wahab
adalah pengikut Ibn Taymiyyah yang bermazhab Hanbali
(Ahmad Ibn Hanbal), salah satu dari mazhab empat.
Barangkali karena umumnya referensi keagamaan yang
menjadi acuan ummat Islam di Indonesia dari mazhab
Syafi'i, maka kemungkinan terjadi anggapan pukul rata
bahwa yang tidak sesuai dengan ajaran mazhab Syafi'i
sebagai tidak bermazhab. Atau paling tidak mereka yang
berkecenderungan menggunakan metode dan mengikuti
Imam Ahmad Ibn Hanbal dan pengikutnya antara lain Ibn
Taymiyyah dan 'Abd al-Wahhab sebagai tidak bermazhab.
Kitab-kitab mazhab Ahmad Ibn Hanbal memang tergolong
langka di Indonesia. Kitab-kitab mazhab tersebut memang
mengesankan metode literal sesuai dengan teks dan sedikit
sekali atau bahkan menolak interpretasi analogi rasional.65
Agaknya kongres tersebut memutuskan kedua aliran ter-
sebut bukan aliran Wahabi karena tidak menyadari bahwa
aliran tersebut masih dalam kerangka mazhab empat atau
ahlussunnah waljamaah yang lebih dekat atau pengikut
mazhab Ahmad Ibn Hanbal. Akan tetapi memang sikap
keras gerakan Wahabi terhadap aliran-aliran tarekat dan
tradisi keagamaan mereka seperti penghargaan kepada para
imam tarekat dan sufi sampai kepada yang sudah me-
ninggal dunia agaknya diwarisi dari sikap serupa yang
dilakukan Ibn Taymiyyah. Boleh jadi juga karena serangan
Ibn Taymiyyah kepada al-Ghazali yang mendapat penghar-
gaan tinggi dari ummat Islam di Indonesia menjadikan
kalangan pesantren tidak menaruh simpati kepada Ibn
Taymiyyah dan akhirnya juga kepada gerakan Wahabi dan
yang diduga menganut Wahabi di Indonesia.66 Padahal se-
kiranya pendekatan pengetahuan normatif keagamaan yang
dilancarkan aliran-aliran baru itu menggunakan metode-
metode ilmiah dengan pemahaman yang baik terhadap
konsep hidup, pranata sosial, sistem nilai, dan kelembagaan
sosial lainnya, seperti yang dilakukan pendahulu mereka
ketika membawa masuk agama Islam ke Indonesia, ke-
mungkinan gerakan mereka lebih berhasil diterima kalang-
an pesantren dan masyarakat umumnya. Sampai sekarang
pendekatan pengetahuan normatif keagamaan yang hitam
putih, tanpa memandang medan yang dituju, kurang atau
bahkan tidak mendapat sambutan yang luas. Kalaupun tin-
dakan semacam itu berhasil, hanya dalam lingkup yang
terbatas dan eksplosif.
C. BERAWAL DARI KOMITE HIJAZ
Sementara itu sejak awal tahun 1924 telah tersiar berita
bahwa Khalifah 'Abd al-Majid telah dimakzulkan oleh pe-
mimpin nasionalis Turki Mustafa Kamal. Menyusul kemu-
dian berita bahwa para ulama Mesir di bawah pimpinan
Syaikh Azhar akan menyelenggarakan pertemuan interna-
sional membahas soal Khilafah. Dalam pertemuan mereka di
Mesir 25 Maret 1924 atau 19 Sya'ban 1342 telah diputuskan
pentingnya lembaga khilafah bagi ummat Islam.67 Penca-
butan kekuasaan Amir Wahid al-Din dari kedudukan khali
fah adalah sah, karena dilakukan oleh orang yang me-
nyetujui pengangkatannya, tetapi pengangkatan 'Abd al-
Majid sebagai khalifah baru tanpa kekuasaan politik, me-
langgar tradisi Islam, tidak sah, lebih-lebih lagi tidak di-
akuinya lembaga itu dalam pemerintahan Negara Turki.68
Menghadapi peristiwa tersebut maka di Surabaya di-
selenggarakan pertemuan 4 Agustus 1924 yang dihadiri SI,
Muhammadiyah, Al-Irsyad, Atta'dibiyah (AI-Ta'dibiyah),
Taswirul-Afkar, Ta'mirul-Masajid dan perhimpunan lain.69
Pertemuan memutuskan membentuk Komite Khilafat dan
akan menyelenggarakan persidangan luar biasa kongres al-
Islam untuk mengirim delegasi ke Kairo.70
Kongres yang diselenggarakan kemudian menyepakati
beberapa agenda masalah antara lain soal keagamaan yang
diperselisihkan,71 dan rencana pengiriman delegasi ke
Kairo.72 Umumnya pemimpin Islam Indonesia menyambut
baik rencana Kairo membahas soal khilafah. Agus Salim
menjelaskan hanya Turki negeri muslim yang merdeka.
Ketika Turki terlibat dalam Perang Dunia Pertama tidak
satu pun pemimpin Islam negeri lain membantunya. Turki
kalah dalam perang, satu per satu wilayah Turki jatuh ke
tangan asing. Wilayah Turki hanya tinggal daerah dekat
Balkan, wilayah Turki sekarang, yang dipertahankan mati-
matian karena itu Turki merasa kecewa dan keberatan
memikul beban anggaran khilafah yang tidak sedikit.73
Menurut Agus Salim kekecewaan itu menjadi salah satu
sebab mengapa Turki membubarkan khilafah yang menurut
mereka harus menjadi tanggung jawab seluruh negeri mus-
lim.74 Turki kemudian menyerahkan khilafah kepada ummat
Islam sedunia dan mengusir Khalifah 'Abd al-Majid ke luar
dari Turki.75 Peristiwa ini lalu ditanggapi pemimpin Islam
seluruh dunia perlunya membangun kembali khilafah itu
dan rencana Kairo salah satu diantaranya. Namun tidak
semua kalangan mendukung rencana tersebut. Surat kabar
Sedio-Tomo yang dipimpin Abdoel Moeis menanggapi lain.
Menurutnya ummat Islam Indonesia tidak perlu mengirim
delegasi ke Kairo. Soal khilafah adalah soal agama. Ke-
butuhan kita sekarang soal ekonomi, bagaimana meningkat-
kan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dana keuangan
untuk mengirim delegasi lebih baik digunakan untuk mem-
bangun perekonomian rakyat bagi kesejahteraan mereka.76
Di tengah ramainya kesibukan rencana pengiriman dele-
gasi ke Kairo muncul berita bahwa di semenanjung Arabia
terjadi pertempuran perebutan kekuasaan antara 'Abd al-
'Aziz Ibn Sa'ud melawan Syarif Husin. Setelah Khalifah
'Abd al-Majid tersingkir dari Turki ada dua rancangan
pertemuan internasional untuk membahas persoalan ter-
sebut. Rencana Kairo dan rencana Hijaz oleh Syarif Husin.
Rencana Husin tidak begitu mendapat tanggapan di In-
donesia karena kurang matang persiapannya.77 Kekalahan
Husin dalam perang menyebabkan rencananya gagal. Na-
mun Ibn Sa'ud yang menang dalam perang menjanjikan
akan menyelenggarakan pertemuan Islam internasional un-
tuk mengatur dua kota suci Mekkah dan Madinah.78
Kejadian perang di Hijaz menjadi salah satu pertimbang-
an penundaan rencana pertemuan Kairo, Dengan alasan
negeri Hijaz perlu diwakili dalam pertemuan Kairo, maka
rencana itu ditunda. Alasan lain penundaan karena Panitia
Muktamar Khilafah di Mesir memandang perlu untuk me-
ngirim utusan ke seluruh dunia Islam lebih dahulu untuk
menjelaskan rencana pertemuan Kairo; dan perkembangan
dalam negeri Mesir yang sedang menyelenggarakan pe-
milihan umum.79 Bersamaan dengan penundaan rencana
Kairo itu penguasa baru Hijaz mengemukakan rencananya
untuk menyelenggarakan pertemuan internasional guna
membahas pengaturan Mekkah dan Madinah. Adanya ren-
cana baru ini menimbulkan kesibukan khusus para pemim-
pin Islam Indonesia. Sidang Komite Khilafat berlangsung
intensif dan kongres Al-Islam meningkat frekuensinya. Se-
telah kongres 1924 yang membicarakan soal khilafah, maka
kongres berikutnya Agustus 1925, Februari 1926, September
1926, dan Desember 1926.
Kemenangan Ibn Sa'ud dan rencananya untuk menye-
lenggarakan pertemuan Mekkah menimbulkan polarisasi
orientasi baru Islam di Indonesia, khususnya Jawa. Kalang-
an pesantren menganggap kemenangan itu akan membawa
dampak perubahan tradisi keagamaan menurut ajaran maz-
hab, sebab Ibn Sa'ud dikenal beraliran Wahabi. 8O Peng-
alaman traumatic masa lalu mereka yang dipelopori 'Abd
al-Wahhab amat keras menentang segala pendirian yang
tidak sejalan dengan mereka, maka kalangan pesantren cu-
kup khawatir akan tradisi keagamaan mereka menghadapi
penguasa baru di Hijaz yang beraliran Wahabi itu. Melalui
Kyai Wahab mereka mencemaskan kekhawatiran itu dalam
sidang-sidang Komite Khilafat, Sementara sayap yang lain
tetap menghendaki agenda lama dipertahankan untuk di-
bawa ke Mekkah. Menurut mereka penyerbuan Ibn Sa'ud
atas Husin bertujuan baik untuk memperbaiki tata laksana
ibadah haji yang di waktu sebelumnya kacau, sering terjadi
perampokan dan banyak suku Arab yang melarikan diri.81
Ibn Sa'ud menjamin keamanan negeri Hijaz bagi jamaah
haji maupun orang Arab lainnya.82 Ibn Sa'ud menjelaskan
bahwa dirinya bukanlah penguasa yang lalim, kejam dan
rakus kekuasaan. Dalam keterangannya yang di kutip surat
kabar AI-Ahram Ibn Sa'ud menjelaskan bahwa tindakannya
menggulingkan Husin didasari tekad untuk melindungi ta-
nah suci yang dihormati ummat Islam, karena selama
Husin dan keturunannya berkuasa, menurut keyakinannya,
tidak akan ada keamanan di Hijaz.83
Berita-berita yang dimuat surat kabar tersebut tidak
menggoyahkan kecemasan kalangan pesantren. Pengalaman
traumatic masa lalu masih terus membayangi mereka. Se-
benarnya mereka menghendaki agenda masalah yang seder-
hana saja untuk dibawa ke Mekkah yaitu tuntutan peles-
tarian tradisi keagamaan berdasar ajaran mazhab ahlussun-
nah waljamaah dan perbaikan tata laksana ibadah haji,
khususnya tradisi tarekat sufi dan wirid, pembacaan sa-
lawat Nabi dan pengajaran kitab-kitab mazhab agar tetap
diizinkan.84 Polarisasi orientasi ini dipertegas sekelompok
aliran baru nonpesantren yang menyelenggarakan pertemu-
an di Cianjur sebelum kongres Al-Islam di Bandung. Me-
reka mengadakan lobby yang dihadiri kalangan mereka sen-
diri untuk merancang keputusan kongres Bandung tentang
delegasi ke Mekkah. Sebenarnya delegasi ke Mekkah sudah
diputuskan kongres Yogyakarta tahun sebelumnya,85 tetapi
kemudian diubah lagi dalam kongres Bandung. Kongres
Bandung memutuskan delegasi ke Mekkah; Tjokroaminoto
(SI) dan Mas Mansur (Muhammadiyah).86 Kyai Wahab me-
mang tidak menghadiri seluruh acara kongres karena di
tengah acara tersebut datang telegram bahwa ayahandanya
sakit keras.87 Kyai Wahab kemudian meninggalkan medan
kongres, tetapi bukan karena itu lalu dibentuk Komite Hi-
jaz, sebab Komite itu sudah dibentuk kira-kira satu atau
dua bulan sebelumnya.88 Rapat 31 Januari 1926 memutus-
kan membentuk wadah organisasi baru NU--Kongres Al-
islam di Bandung baru berlangsung Februari 1926. Jadi
ketika kongres Bandung Komite Hijaz sudah dibentuk, bah-
kan NU sendiri sudah lahir.
Ketika merancang pertemuan Komite Hijaz dialog antara
Kyai Wahab dengan Kyai Abdul Halim (Leumunding)
mempersoalkan tujuan Komite Hijaz yang hendak dican-
tumkan dalam surat undangan.89 Kyai Wahab menjawab:
'Tentu syarat tujuan nomer satu untuk menuntut kemer-
dekaan. Ummat Islam menuju ke jalan itu. Ummat Islam tidak
leluasa sebelum(nya) negara kita merdeka';90
lalu Kiyai Wahab mengambil sebatang kayu dan menyala-
kan dengan api, sambil mengatakan:
'Ini bisa menghancurkan bangunan!'.
'Kita tidak boleh putus asa, kita yakin tercapai negeri mer-
deka'.9l
Selain obsesinya tentang negeri merdeka "agar ummat Is-
lam leluasa menjalankan syari'at agama mereka", Kyai Wa-
hab juga merasakan tantangan dari kalangan intern ummat
Islam sendiri yang mulai terusik ketenangannya setelah
muncul aliran baru. Kyai Wahab menjelaskan kepada Kyai
Halim selanjutnya:
'Saya sudah sepuluh tahun lamanya memikirkan membela
para ulama yang diejek sana-sini, beramalnya diserang sini-
sana. Kalau satu kali ini luput, pilih satu antara dua yang patut.
Masuk organisasi merombak terus atau pulang memelihara pondok
yang khusus'.92
Kecemasan itu bukan dirasakan Kyai Wahab sendiri. Kyai
Hasjim Asj'ari juga mencemaskan keadaan yang menimpa
Kyai Wahab yang 'ditendang sana sini'; tiga tahun lamanya
Kyai Hasjim memikirkan hal itu.93 Baru setelah NU lahir
dan mendapat sambutan luar biasa, maka Kyai Hasjim
merasa berbesar hati. Selama tiga tahun memikirkan ke-
adaan Kyai Wahab dan kawan-kawan, Kyai Hasjim ber-
maksud membantunya, namun keadaan tidak mengizinkan.94
Komite Hijaz yang dibentuk sebelum Januari 1926 di-
ketuai Hasan Gipo dan wakil Saleh Sjamil, sekretaris Moe-
hammad Shadiq Setijo dan wakil Abdul Halim, penasehat
K.H. Abdul Wahab, K. H. Masjhoeri, dan K.H. Khali1.95
Mereka ini mempersiapkan pertemuan Komite Hijaz 31
Januari 1926. Pertemuan ini selanjutnya dijadikan hari lahir
NU, sebab dalam pertemuan tersebut diputuskan mengirim
delegasi ke Mekkah,96 lalu timbul masalah atas nama or-
ganisasi apa delegasi itu dikirim. K.H. Mas Alwi men-
gusulkan nama Nahdatul-Ulama mengambil nama organisasi
pendahulunya Nahdatul-Watan. Usul itu disepakati sidang
maka Komite Hijaz dibubarkan.97
Mengapa bukan Nahdatul-Watan dikukuhkan kembali
dan diperluas tetapi membentuk perhimpunan baru, ba-
rangkali ada beberapa aspek yang dapat dipakai sebagai
pertimbangan. Latar belakang orientasi keagamaan yang
akhirnya melahirkan pembentukan Komite Hijaz sebelum-
nya memerlukan wadah organisasi yang berciri keagamaan
Islam, sebab misi yang hendak dibawa ke Mekkah berada
dalam lingkup agama. Jika tetap menggunakan Nahdatul
Watan, maka nama organisasi itu tidak mengesankan se-
bagai organisasi yang berkecimpung dalam soal agama.
Dengan nama Watan mengesankan organisasi itu sebagai
organisasi politik dan sosial, bukan keagamaan. Mungkin
juga nama Ulama dapat memberi bobot pengaruh yang luas
kepada ummat Islam, sebab ternyata organisasi Nahdatul-
Watan selama lebih sepuluh tahun tidak menunjukkan per-
kembangan yang luas. Mungkin juga dua aspek itu se-
kaligus menjadi pertimbangan keputusan rapat para ulama
itu.
Pada sisi lain alasan para ulama pesantren perlu meng-
galang kerja sama membentuk sebuah perhimpunan yang
berskala nasional, selain hal-hal tersebut di atas, fenomena
di bawah ini barangkali juga menjadi salah satu sebabnya.
Kongres Al-Islam di Surabaya diselenggarakan atas prakar-
sa Komite Khilafat dihadiri 68 utusan terdiri atas 9 Muham-
madiyah, 29 SI, 4 Al-Irsyad, 6 Sub Komite Khilafat daerah, 3
PUI, dan selebihnya perhimpunan lokal seperti Taswirul-
Afkar, Nahdatul-Watan, Perikatan Wataniyah, Ta'mirul-Masajid,
At-Ta'dibiyah (semuanya berasal dari Surabaya) dan perhim-
punan lain.98 Kongres Al-Islam di Yogyakarta tahun 1925
dihadiri 43 utusan SI, 10 Muhammadiyah, dan selebihnya
perhimpunan loka1.99 Selanjumya kongres Bandung 1926
dihadiri 235 utusan, 138 di antaranya perkumpulan Islam
di Yogyakarta yang memberi mandat kepada K. H. Fach-
roeddin sebagai juru bicara.100 Perutusan kongres yang ti-
dak seimbang ini kemungkinan merupakan salah satu se-
bab yang mendorong mengapa sejumlah organisasi lokal di
Surabaya terlibat dalam pembentukan suatu perhimpunan
yang diprakarsai Komite Hijaz.
Kongres-kongres Al-Islam yang berlangsung ketika itu
seringkali mengambil keputusan dengan cara pemungutan
suara. Ini agaknya salah satu fenomena yang mencemaskan
kalangan pesantren. Bukti-bukti tertulis memang tidak atau
belum ditemukan, tetapi dengan melihat perimbangan jum-
lah delegasi yang dari tahun ke tahun terus pincang, sangat
masuk akal kalau kemudian kalangan pesantren mencemas-
kannya. Kalau keadaan terus berlangsung demikian maka
suara kalangan pesantren akan tidak terdengar lagi. Ba-
rangkali kalau dilihat menurut perspektif sekarang, kong-
res-kongres Al-Islam dekade 20-an, bukanlah kongres yang
representatif membawa nama kawasan Hindia Belanda. Te-
tapi gambaran waktu itu tentu saja berbeda dengan se-
karang Sekalipun hanya dihadiri organisasi Islam yang
sangat terbatas, khususnya yang ada di Pulau Jawa, namun
kongres-kongres itu merupakan peristiwa yang mempunyai
makna besar ketika itu, sebab sebelumnya belum pernah
diselenggarakan pertemuan seperti itu. Oleh karena itu fo-
rum tersebut dianggap penting sampai terjadi adu argu-
mentasi faham keagamaan yang sebenarnya hanya untuk
mempertahankan gengsi.101
Delegasi kongres Al-Islam diwakili oleh pengurus pusat
organisasi dan cabang-cabangnya, bahkan dalam kongres
Surabaya sejumlah delegasi berasal dari utusan ranting or-
ganisasi.102 Kalangan pesantren setelah terbentuknya NU
tidak begitu bergairah mengikuti kongres Al-Islam. Tiga
tiga kali kongres selanjutnya di Bogor, Surabaya, dan Malang,
tidak mereka ikuti. Kongres-kongres itu sendiri tidak ber-
jalan baik, pertentangan faham juga masih terus berlang-
sung, khususnya antara SI dengan Persis dan Muhammadi-
yah. Tahun tiga puluhan hanya sekali diselenggarakan
kongres. Tahun 1937 ketika MIAI (Majelis Islam A'la In-
donesia) berdiri, kalangan pesantren diwakili Kyai Wahab
tidak bertindak selaku wakil NU. Baru setelah ketentuan
perutusan delegasi yang menghadiri kongres ditetapkan,
setiap organisasi diwakili pengurus pusatnya atau organi-
sasi lokal yang tidak mempunyai induk pusat, maka NU
kemidian secara resmi mengikuti kongres.103 Hubungan
NU dengan organisasi lain serupa dengan di atas juga
terjadi ketika NU keluar dari Masyumi tahun 1952. NU
menghendaki agar struktur keanggotaan Masyumi diubah
menjadi federasi yang diwakili oleh setiap organisasi ang-
gota Masyumi, tidak seperti yang ada, anggota Masyumi
terdiri atas anggota perorangan dan anggota organisasi,
masing-masing mempunyai suara yang sama. Tuntutan ini
tidak memperoleh tanggapan pemimpin Masyumi, akibat-
nya NU menyatakan keluar dari Masyumi membentuk par-
tai sendiri.104
D. MAZHAB AHLUSSUNNAH WALJAMAAH
Pertemuan ulama pesantren awal tahun 1926 di Surabaya
menyepakati pendirian suatu organisasi yang akan meng
himpun kegiatan mereka dengan nama Nahdatul Ulama.
Kurang lebih empat bulan sesudah itu telah dirintis pe-
nyelenggaraan muktamar yang pertama. Salah satu masalah
yang menjadi perhatian para pendiri organisasi itu ialah
mengenai lambang organisasi sehubungan dengan akan di-
laksanakan muktamar. Kyai Abdul Wahab Chasbullah ke-
mudian meminta kepada K. H. Ridwan untuk menciptakan
lambang dengan ciri-ciri: orisinal, tidak meniru lambang
yang sudah ada, tahan lama, dan mencerminkan sifat ula-
ma.
Selama kurang lebih empat bulan Kyai Ridwan belum
berhasil menciptakan lambang itu. Dengan bekerja keras
mencari inspirasi dan ilham siang dan malam akhirnya
inspirasi dan ilham itu datang di tengah malam beberapa
minggu menjelang muktamar dibuka. Segera kemudian
Kyai Ridwan membuat skets di tengah malam itu dan
menyelesaikan penyempurnaannya keesokan harinya. Se-
telah lambang itu tercipta timbul kesulitan untuk men-
dapatkan kain warna hijau untuk bahan membuat bendera
petaka yang di kala itu memang agak sulit didapat. Kira-
kira dua hari menjelang muktamar dibuka bendera petaka
dengan lambang NU berhasil digelar di depan jembatan
Penilih kota Surabaya, dekat tempat berlangsungnya muk-
tamar.
Kemudian timbul persoalan dalam muktamar itu ketika
seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda menanyakan
arti lambang. Tidak seorang pun dalam sidang muktamar
yang dapat memberi jawaban apa arti lambang. Ketika Kyai
Ridwan dihubungi untuk menjelaskan arti lambang yang
diciptakan beliau agak tertegun di tengah kesibukan ke-
panitiaan muktamar, sebab lambang yang diciptakannya
tidak dibayangkan mempunyai arti falsafah tertentu. Kyai
Wahab pun ketika memintanya untuk membuat lambang
NU tidak disertai permintaan semacam itu. Tidak urung
karena desakan kyai lain terutama Kyai Wahab sendiri
akhirnya Kyai Ridwan tanpa ekspresi yang menunjukkan
kesiapannya mengenakan jas dan sorban memasuki ruang
sidang. Tanpa diduga tiba-tiba Kyai Ridwan lancar sekali
menguraikan makna dan falSafah lambang NU Yang dicip
takan sendiri.
Gambar bola dunia dan tali yang melingkar melambang-
kan asas persatuan dan perdamaian, sembilan bintang salah
satu yang paling besar terletak di bagian paling atas me
lambangkan Nabi Muhammad sebagai panutan ummat, em-
pat bintang di bawahnya melambangkan khulafa rasyidun,
dan empat di bawahnya lagi melambangkan empat imam
mazhab. Seluruh bintang berjumlah sembilan buah melam-
bangkan wali sembilan, sebuah mitologi Islam yang sangat
populer di Nusantara.105
Proses penciptaan lambang NU tersebut diyakini oleh
sebagian besar anggota NU mempunyai arti mistis sebagai
petunjuk Tuhan melalui kontemplasi dan ibadah. Demikian
pula arti lambang diyakini sebagai rahmat Tuhan karena
Kyai Ridwan ketika menjelaskan arti lambang di hadapan
peserta muktamar dan pejabat pemerintah sedang dalam
keadaan irtijal (tanpa persiapan), kondisi luar biasa yang
dipercaya di atas kesadaran normal manusia.106 Tradisi pen-
gambilan keputusan seperti ini, memohon petunjuk Tuhan
dengan munajat (menghadap Tuhan memohon petunjuk)
dan kontemplasi, merupakan tradisi NU sejak awal. Ka-
dang-kadang petunjuk itu memerlukan waktu berminggu-
minggu, bahkan bulan, tetapi kadang-kadang hanya be-
berapa hari saja.
Sisi yang menarik dari lambang itu ialah penegasan NU
sebagai pengemban panji ahlussunnah waljama'ah yang di-
lambangkan dengan pengakuan kepada khulafa rasyidun,
empat imam mazhab dan mitologi Nusantara tentang wali
sembilan yang sangat populer. Dengan demikian NU me-
nempatkan pijakan langkahnya dari akar tradisi keagamaan
dan budaya yang berkesinambungan. Ketika muncul per-
pecahan yang kemudian melahirkan berbagai kelompok fa-
ham keagamaan sejak pertengahan abad pertama Hijriah
dan berkembang pada abad kedua sampai abad kelima,
terdapat alur besar kaum muslimin yang mengakui peran
para sahabat Nabi termasuk keempat khulafa raasydin se-
bagai mata rantai pemahaman keagamaan dan generasi
berikutnya para tabi'in dan salaf yang saleh yang mengikuti
mereka. Sementara itu terdapat kelompok aliran, antara lain
golongan mu'tazilah, yang pada umumnya bersikap apriori
terhadap mereka. Pernyataan itu dengan sendirinya tidak
menutup mata adanya keragaman dan tingkat apriori itu.
Ada tiga pihak yang berselisih ketika itu yaitu golongan
Muhajirin dan Ansar dan di dalam golongan yang pertama
terdapat ahl al-bait, kerabat Nabi, yang menghendaki 'Ali
ibn Abi Talib sebagai pengganti Nabi. Dua yang pertama
sepakat menunjuk Abu Bakr meskipun pemimpin Ansar
yang semula diusulkan yaitu Sa'ad ibn 'Ubadah tetap tidak
setuju atas pengangkatan Abu Bakr dan akhirnya meng-
asingkan diri ke Syiria.107 Sementara itu pihak ahl al-bait
menghendaki 'Ali namun tidak memperoleh dukungan
kaum muslimin yang lebih dahulu telah menunjuk Abu
Bakr.108 Benih dari ketidakpuasan atas penyelesaian per-
soalan ini tetap terpendam untuk pada akhirnya menjadi
salah satu faktor penting yang menimbulkan malapetaka
besar (al-fitnah al-kubra) dengan korban dua orang khalifah
yaitu 'Us-man ibn 'Affan dan 'Ali ibn Abi Talib.
Dari sinilah kemudian pecah konflik yang besar dan
pertumpahan darah yang berkepanjangan. 'Ali dan para
pendukungnya menuduh 'Usman melakukan politik nepotis
yang mengutamakan kerabat sendiri.109 Ketika kemudian
'Usman terbunuh kerabatnya antara lain Mu'awiyah ibn
Abi Sufyan menuntut 'Ali bertanggung jawab atas kematian
itu. Namum kebanyakan kaum muslimin dan elite sahabat
setuju mengangkat 'Ali sebagai pengganti 'Usman dengan
pertimbangan obyektif mengenai kecakapan, integritas dan
orang yang paling awal masuk Islam selain karena sejak
semula ada kecenderungan yang luas untuk menerima ja-
batan itu dari kerabat Nabi sendiri. Akan tetapi sejumlah
sahabat antara lain Mu'awiyah, Talhah dan Zubair diikuti
para pendukung mereka menyatakan tidak bersedia bai'ah
sebelum 'Ali mempertanggungjawabkan kematian
'Usman.11O Setelah kemudian 'Ali wafat terbunuh maka
Mu'awiyah menyatakan kekuasaannya sebagai khalifah dan
memerintah dengan tangan besi terhadap siapa saja yang
tidak menyetujuinya. Selanjutnya Mu'awiyah mewariskan
kekuasaan itu kepada keturunannya berturut-turut selama
satu abad. Salah satu keturunan 'Abbas berkoalisi dengan
keturunan 'Ali menumbangkan kekuasaan itu dan meme-
rintah selama kurang lebih lima abad selanjutnya dan ke-
turunan Mu'awiyah yang tersingkir membangun kekuasaan
baru di Spanyol.111
Mengiringi rentetan konflik soal khilafah pengganti Nabi
Muhammad antara Bani Hasyim di mana pihak 'Ali dan
'Abbas berasal dengan Bani Ummayyah asal nenek moyang
'Usman dan Mu'awiyah--setelah khalifah 'Umar tutup ha-
yat--timbul rentetan konflik lain yang menyangkut sendi-
sendi utama keagamaan dan muncul kelompok-kelompok
dengan pendukung mereka masing-masing. Kelompok pen-
dukung 'Ali yang kelak dikenal dengan nama Syi'ah (peng-
ikut) berkembang menjadi kelompok yang sangat fanatik.
Mereka berpendirian bahwa tiga orang khalifah pendahulu
'Ali sejatinya merampas hak 'Ali. Mu'awiyah dan kawan-
kawan serta Bani 'Abbas dipandang sama dengan para
khalifah itu.112 Sementara itu akibat tahkim dalam pem-
berontakan Siffin(113 antara pihak 'Ali dan Mu'awiyah mun-
cul kelompok khawarij yang tidak setuju. Mereka meng-
anggap tahkim itu melanggar hukum Tuhan, sebab Mu'a
wiyah jelas melakukan pemberontakan karena itu harus
ditumpas. Selanjutnya kaum khawarij menyatakan kedua
belah pihak salah, melanggar hukum Tuhan. Orang yang
melanggar hukum Tuhan berarti melakukan dosa besar,
kedudukannya kafir.114 Dalam pada itu muncul pihak ke-
tiga yaitu murji'ah yang tidak sependapat dengan mereka.
Pihak khawarij mengafirkan 'Ali dan 'Usman dan mereka
yang terlibat tahkim, sementara syi'ah mengafirkan tiga
orang khalifah pendahulu 'Ali, dan keduanya menghujat
Bani Umayyah yang berkuasa. Sebaliknya Bani Umayyah
yang berkuasa menumpas mereka sebagai pelaku "kebatil-
an". Golongan murji'ah menyatakan bahwa ketiga pihak itu
tetap mukmin. Mungkin sebagian mereka salah dan se-
bagian benar, namun siapa yang salah dan siapa yang
benar tidak diketahui, karena itu mereka menyerahkan ke-
putusan kepada Allah.115 Golongan mu'tazilah yang muncul
belakangan pada mulanya tidak berlatar belakang politik,
bagaikan pendekar yang mengutamakan pendekatan rasio-
nal berusaha mengatasi krisis yang terjadi,116 dan mereka
berhasil menarik simpati sejumlah khalifah 'Abbasiyah. Ber-
sandar kepada kekuasaan itu mereka bukan saja menjadi
pemersatu dari perselisihan yang terjadi, tetapi sebaliknya
menjadi malapetaka. Fanatisme pendapat yang berlebihan
akhirnya menjadi bumerang bagi siapa saja yang tidak
setuju dengan pendapat-pendapat mu'tazilah.117
Imam Asy'ari (118 mengemukakan ada sepuluh golongan
yang berselisih dan berbeda pendapat namun mereka ter-
pecah-pecah lagi menjadi beberapa cabang, ada yang sam-
pai 15, 20 atau 24 cabang pecahan.119 Al-Baghdadi (120 ber-
usaha melacak jumlah 73 firqah yang diisyaratkan Nabi
Muhammad dalam salah satu hadisnya (l21 dan mencoba
menjelaskan firqah yang benar yaitu 'yang mengikuti aku
dan para sahabatku', namun ternyata jumlahnya (kurang
lebih) 101 firqah kemudian digolong-golongkan satu sama
lain akhirnya menjadi 73, belum termasuk 21 firqah lain
yang digolongkan telah menyimpang dari Islam walaupun
mereka sendiri menyatakan Islam.122
Pola pemahaman keagamaan yang merujuk kepada sun-
nah Nabi dan para sahabat untuk memahami sumber pokok
ajaran Islam al-Qur'an sebenarnya telah dirintis oleh para
sahabat sendiri. Ketika terjadi fitnah pada akhir zaman
khulafa rasyidun sejumlah sahabat antara lain ibn 'Umar, ibn
'Abbas, ibn Mas'ud dan lain-lain menghindarkan diri dari
konflik itu dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan.
Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir sekelompok
ilimuwan sahabat yang kemudian mewariskan tradisi ke-
ilmuan itu kepada generasi berikutnya para tabi'in. Selan-
jutnya kemudian lahir para muhaddisun (ahli hadis), ulama
fikih dan tafsir. Mereka menulis selain dalam bidang ke-
ahlian masing-masing juga menulis ilmu kalam yang me-
nyanggah pendapat-pendapat yang mengabaikan sunnah
Nabi dan para sahabat dalam menginterpretasikan ayat-
ayat al-Qur'an mengenai soal-soal pokok agama (usul aI-
din). Imam Abu Hanifah (767 M) menulis al-Fiqh al-Akbar
yang menyanggah pandangan jahmiyah dan qadariyah.123
Imam Syafi'i (820 M) menulis judul yang sama dengan
pendahulunya;124 Imam Ahmad ibn Hanbal (855 M) me-
nulis buku al-Radd 'ala al-Zanadiqah wa al-jahmiyyah;125 Imam
Bukhari (870 M) menulis buku Kitab Khalq Af'al al-'Ibad wa
al-Radd 'ala al-jahmiyyah wa Ashab al-Ta'til;126 dan Imam
al-Darimi menulis Kitab al-Radd 'ala al-Jahmiyyah dan al-Radd
'ala al-Marisi al-'Anid.127 Buku-buku tersebut merupakan se-
bagian dari buku lain yang ditulis sekitar abad ke-8 dan 9
Masehi atau 2 dan 3 Hijriah yang berusaha meneguhkan
peran sunnah Nabi dan para sahabat untuk memahami
ayat-ayat al-Qur'an khususnya yang berhubungan dengan
dasar-dasar agama (usul ad-din).
Golongan yang mengikuti pola ini kemudian dikenal de-
ngan nama ahlussunah waljamaah atau ahlussunah. Imam
Asy'ari kadang-kadang mengungkapkan dengan sebutan ahl
al-sunnah wa al-istiqamah atau ahl al-jama'ah.128 Dari segi
nama menurut Jalal Muhammad Musa mempunyai dua
pengertian.129 Pertama, sunnah berarti metode atau tariqah
yaitu mengikuti metode para sahabat dan tabi'in serta salaf
dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat (130 dengan menye-
rahkan sepenuhnya pengertian ayat tersebut kepada Allah
sendiri, tidak mereka-reka menurut daya nalar manusia
semata-mata. Kedua, sunnah berarti hadis Nabi Muhammad
yaitu meyakini kebenaran hadis sahih sebagai dasar ke-
agamaan. Rangkaian kata sunnah dengan jama'ah menjadi
ahl al-sunnah wa al-jama'ah yang ditulis dalam bahasa In-
donesia ahlussunnah waljamaah memberi arti bahwa dasar
keagamaan yang dianut bersumber kepada al-Qur'an dan
sunnah Nabi dan sunnah para sahabat atau lazim dengan
ungkapan ijma' sahabat, yaitu tradisi yang telah melembaga
dalam kehidupan sosial keagamaan para sahabat Nabi sete-
lah Nabi Muhammad wafat,131 khususnya zaman khulafa
rasyidun.
Pola dasar pemahaman keagamaan yang demikian ini
berbeda dengan golongan khawarij, syi'ah atau mu'tazilah.
Mereka umumnya menekankan interpretasi rasional dalam
memahami ayat-ayat mutasyabihat dan mengabaikan hadis
Nabi Muhammad maupun tradisi sahabat Nabi.132 Imam
Asy'ari dalam MaqaIat aI-Islamiyyin mengemukakan bahwa
rujukan ahlussunnah waljamaah untuk memahami ayat-
ayat al-Qur'an berpedoman kepada hadis Nabi menurut
riwayat para sahabatnya dalam hal ini termasuk 'Ali ibn
Abi Talib yang memperoleh penghargaan luar biasa ka-
langan syi'ah sebagai imam yang paling agung.133 Tidak
kurang banyaknya jalur sanad hadis Nabi dalam lingkungan
ahlussunnah waljamaah melalui mata rantai orang-orang
syi'ah. Imam Malik antara lain meriwayatkan hadis dari
Abu Zar dan Ja'far al-Sadiq (salah seorang imam syiah).134
Akhirnya patut dikemukakan pendapat Ibn Taymiyyah ten-
tang mazhab ahlussunnah waljamaah:
Mazhab ahlussunnah waljamaah merupakan mazhab yang
telah lama. Disebutkan Abu Hanifah, Syafi'i, Malik dan Ahmad
ibn Hanbal (pengikut mazhab ini). Mazhab tersebut merupakan
mazhab sahabat yang mereka terima dari Nabi mereka. Siapa
yang menyimpang dari mazhab tersebut dia pembid'ah, me-
nurut faham ahlussunnah waljamaah. Mereka sepakat bahwa
ijma' sahabat sebagai hujjah, dan mereka berselisih faham ten-
tang ijma' sesudah mereka.135
Umumnya mazhab ahlussunnah waljamaah, setidaknya
di Indonesia, dikaitkan dengan mazhab-mazhab fikih Abu
Hanifah, Malik, Sayfi'i dan Ahmad ibn Hanbal. Mengingat
soal fikih menyangkut kebutuhan keseharian masyarakat
dalam pelaksanaan ibadah dan mu'amalah maka wajar bila
mazhab ahlussunnah waljamaah lebih sering terkait dengan
mazhab fikih tersebut. Selain itu keempat imam mazhab
fikih tersebut dengan tegas menyatakan pendiriannya se-
bagai golongan ahlussunnah waljamaah yang menentang
pendapat-pendapat aliran mu'tazilah dan qadariyah maupun
jahmiyah. Dalam anggaran dasar NU juga di sebutkan:
Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe memegang de-
ngan tegoeh salah satoe dari mazhabnja Imam empat jaitoe
Imam Moehammad bin Idris asj-Sayfi'i, Imam Malik bin Anas,
Imam Aboe Hanifah An-Noe'man, ataoe Imam Ahmad bin
Hambal,dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemas-
lahatan agama islam.136
Memeriksa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengajar,
soepaja diketahoei apakah itoe daripada kitab-kitab Ahli Soe-
nnah wal Djama'ah ataoe kitab-kitab Ahli Bid'ah.137
_____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
Catatan
38. Deliar Noer, Gerakan Modern, h. 152. Cabang AI-lrsyrid di
Surabaya berdiri tahun 1913.
39. H. Agus Salim, "Persatuan Pemimpin Islam", dalam Hindia
Baroe, 19 Februari 1926. Penulisannya disesuaikan ejaan baru.
40. Ibid.
41. Ibid, 20 Februari 1926.
42. Kategori ini ingin memperlihatkan bahwa masing-masing pi-
hak sebenarnya mengandung potensi pembaharuan (modernisasi)
seperti diperlihatkan dalam kegiatan organisasi yang mereka kem-
bangkan dan kesediaan mereka untuk menerima perubahan ke
arab yang lebih balk. Memang diakui sebagian dari sayap non-
pesantren terdapat beberapa orang atau banyak orang dari ling-
kungan pesantren, tetapi mereka tidak menempatkan basis du-
kungan mereka dari lingkungan pesantren, bahkan seringkali me-
reka menyerang ulama pesantren dan pesantrennya sendiri. Selan-
jutnya lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang
Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3ES, 1984).
43. G.F. Pijper, Beberapa Studi, h. 114-126.
44. Pandangan yang menganggap penting derajat calon mempelai
lelaki dalam perkawinan karena faktor keturunan.
45. Pijper, Beberapa Studi, h. 114-126.
46. Al-Masa'il al-Salas Allati Quddimat lil-Ustaz alSyaikh Ahmad
Mu-hammad Surkati fi Surabaya, Surabaya, 1925.
47. Pijper, Beberapa Studi, h. 114-126.
48. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern. Selanjutnya mengenai Per-
sis juga dikutip dari buku tersebut.
49. Sebagian kegiatan debat direkam dalam bentuk buku atau
ditulis dalam majalah oleh Hassan antara lain Soeal Djawab, Vers-
lag Debat Talqin antara Hassan dengan Husein Tjitjalengka dan
Hassan dengan Abdoelwahab di Cileduk (dua buku), Debat Ke-
bangsaan antara Hassan dengan Moechtar Luthfie. Lihat AI-Lisan,
nomer 51 tahun 1940. Soea2 Djawab diterbitkan secara berkala
antara akhir tahun tiga puluhan samgai awal empat puluh. Sa-
yang penerbitan serial itu tidak bisa dikonfirmasikan dengan
fihak lawan debat karena mereka tidak menerbitkan serial serupa
dengan yang diterbitkan Hassan. Berita mengenai perdebatan itu
hanya dapat diperoleh secara sepihak dari Hassan sendiri.
50. Pijper, Beberapa Studi, h. 113.
51. Setelah NU lahir maka reaksi masyarakat yang tidak setuju
terhahadap faham aliran baru sebagian terwakili atau meng-
gabungkan diri kedalam perhimpunan tersebut. Ini tidak berarti
bahwa kelahiran NU semata-mata sebagai reaksi terhadap aliran
baru yang muncul lebih dulu.
Soal hubungan kekerabatan khususnya perkawinan antara ke-
luarga pengikut NU dan pengikut Muhammadiyah kadang-
kadang menjadi faktor penghambat, tetapi secara keseluruhan
tidak menunjukkan adanya pertentangan. Seoarang anak keluarga
NU yang akhirnya menjadi aktifis NU menceritakan kepada pe-
nulis, sekitar tahun tujuh puluhan pernah menjalin hubungan
dengan teman putrinya sejak sekolah PGA. Setelah keduanya
menginjak perguruan tinggi di IAIN, teman putri itu mengun-
durkan diri dengan alasan tidak disetujui orang tua karena calon
menantu itu berasal dari keluarga NU sedang si putri dari
keluarga Muhammadiyah. Seorang Kiyai di Jawa Timur juga
tidak menyetujui putrinya mendapat calon suami dari keluarga
Muhammadiyah dan akhimya perkawinan itu gagal.
Seorang Kyai di Jawa Timur mengawini putri dari keluarga
Muhammadiyah lebih dari 25 tahun yang lain sampai kini rukun
bahagia. Sang istri kemudian menjadi aktifis Muslimat NU se-
mentara keluarganya sendiri tetap Muhammadiyah. Ada pula
seorang aktifis NU yang mulanya dari HMI ketika belajar di
perguruan tinggi tetapi keluarganya pengikut NU yang fanatik,
kemudian mengawini putri dari keluarga Muhammadiyah.
Masing-masing tetap bertahan sebagai pengikut NU dan pengikut
Muhammadiyah. Rumah tangganya rukun bahagia selama lebih
dua puluh tahun lamanya
52. Persis pernah mengadakan pengajian akbar, 25 Januari 1925,
di Bandung, yang membahas soal usalli (mengucapkan niat ketika
akan mulai salat), selamatan tiga atau tujuh hari bagi orang yang
meninggal dan memberi jamuan ketika mengalami musibah di-
tinggal mati salah seorang keluarga. Semua ini menurut mereka
bid'ah. Hindia Baroe, 6 Februari 1925.
53. Fatwa tentang Gerakan Nasionalme dan Kebangsaan, dalam Al-
Lisan, nomer 51, tahun 1940.
54. AI-'Urwah al-Wus'qa, majalah yang dipimpin 'Abduh dan
Afghani. AI-Manar, majalah yang dipimpin 'Abduh dan Rasjid
Rida.
55. Harun Nasution, Pembaharuan, h. 64.
56. 1bid
57. Wawancara dengan Prof. Dr. Harun Nasution di Takarta tang-
gal 23 Agustus 1990. Tekanan yang dilakukan kalangan Azhar
terhadap 'Abduh bukan mengenai pandangan 'Abduh dalam soal
furu', sebab pandangan 'Abduh yang banyak dibicarakan antara
lain seal sosial politik dan pendidikan.
58. Harun Nasution, Pembaharuan, h. 64.
59. Debat Idjtihad dan Taqlid, dalam AI-Lisan, 51, 1940. Lihat pula
Djmawi Hadikusuma, Muhammdijah Ahlu Sunnah Wal Djama'ah?,
(Yqgyakarta: Siaran, t.t).
60. Kongres-kongres Al-Islam diselenggarakan (1) di Cirebon,
1922, (2) Garut, 1923, (3) Surabaya, 1924, (4) Yogyakarta, 1925, (5)
Bandung, 1926, (6) Surabaya, 1926, (7) Bogor, 1926, (8) Surabaya,
1931 ?, (9) Malang, 1932. Lihat Buku Kenangan MIAI 1937-1941, h.
5-6.
61. Hindia Baroe, 7 Tanuari 1925.
62. 1bid.
63. Hindia Baroe, 7 Januari 1925.
64. Wahabi diambil dari nama Mubammad Ibn 'Abd al-Wahhab
(1703-1787) pemimpin gerakan reformis di Arabia. Gerakan ini
tidak dilatar belakangi politik melainkan gerakan murni keagama-
an yang bergulat dengan persoalan internal ummat Islam. Muncul
sebagai reaksi terhadap faham tauhid masyarakat Islam yang
telah dipengarahui ajaran tarikat yang sebagian eksesnya sangat
menghargai para imam tarikat sebagai wall dan memuliakan
makam mereka dan tradisi keagamaan yang dianggap menyim-
pang dari ajaran Islam.
65. Lihat misalnya, Taqiy al-Din Ibn Taymiyyah, Kitab al-Radd
'Ala al-Mantiqiyyin, (Beirut : Dar al-Ma'rifah, t.t.); Minhaj al-Sunnah
al-Nabawiyyah Fi Naqd Kalam al-Syi'ah wal Qadariyyah, (Beirut: Dar
al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.t.); dan Muwafaqat Sahih al-Manqul li Sarih
al-Ma'qul, (Beirut: Dar al Kutub al-'Ilmiyyah, 1985).
66. Lihat ibid., juga Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Tay-
miyyah, (Bandung, Pustaka, 1983).
67. Bendera Islam, 14 Oktober 1924.
68. Ibid.
69. Ibid.
70. Komite yang dibentuk terdiri atas ketua Wondoamiseno dan
wakil K.H. Abdul Wahab, sekretaris A.M. Sangaji dan wakil R.
Simoen Ed., bendahara Sjech Moehammad Alamoedi. Anggota
Sa'id Idroes Almasjhoer, Mas Mansur, Hasan Gipo, Mansur Ja-
mani, Oemar Hoebesj, dll. Bendera Islam, 30 Oktober 1924.
71. Lihat halaman 53-54.
72. Sebagian peserta tidak setuju membentuk Komite karena kha-
watir tidak mendapat sambutan di Kairo. Mereka menghendaki
Komite dibentuk setelah pertemuan di Kairo. Sebagian lagi meng-
anggap pengiriman utusan biayanya cukup besar, lebih baik un-
tuk membangun madrasah atau lainnya. Ahmad Ghana'im, guru
sekolah berasal dari Mesir, meyakinkan peserta kongres delegasi
akan disambut balk di Kairo: Kongres kemudian menyetujui pe-
ngiriman delegasi ke Kairo. Bendera Islam, 30 Oktober 1924.
Ahmad Ghana'im mendampingi Kyai Wahab sebagai utusan NU
ke Mekkah tahun 1928.
73. Bendera Islam, 7-8 Desember 1924.
74. Ibid.
75. Ibid.
76. Soedio-Tomo, nomor 3, 6 Tanuari 1925, dikutip dari Bendera
Islam, 15 Januari 1925.
77. Dalam kongres Al-Islam di Surabaya tahun 1924 sudah tersiar
rencana Husin. Hasan All, salah seorang peserta kongres, meng-
usulkan tidak usah mengirim delegasi balk ke Kairo maupun
Hijaz. Bendera Islam, 30 Oktober 1924.
Agus Salim mengemukakan bahwa setelah Turki jatuh, maka
Inggris yang terlibat dalam perang dunia melawan Turki, "me-
nempatkan Syarif Husin digiring menjadi khalifah. Akan tetapi
'boneka' Inggris itu tidak cakap memimpin, timbul kekacauan
akhirnya digulingkan Ibn Sa'ud dari Nejd". H. Agus Salim, da-
lam Bendera Islam, 7-8 Desember 1925.
Menurut Kyai Wahab justru ibn Sa'ud yang diproyek Inggris
untuk menggulingkan Syarif Husin, sebab yang terakhir ini ber-
pihak ke Turki melawan Inggris. Akan tetapi pada akhirnya
kawasan Timur Tengah terpecah-pecah menurut skema Balkan
jadi beberapa negara kecil di bawah kontrol negara-negara Barat.
Soal pendapat Kyai Wahab, wawancara dengan Abdurrahman
Wahid dan H. Hamid Baidlowi di Jakarta 27 Februari 1990.
78. Berita surat kabar Al-Ahram yang dikutip Hindia Baroe me-
nyebutkan bahwa penyerbuan Ibn Sa'ud yang berhasil menguasai
Hijaz didasari tekad yang bertujuan untuk menertibkan pelak-
sanaan ibadah haji. Pernyataan IIbn Sa'ud itu disampaikan dalam
pertemuan yang dihadiri kurang lebih 300 orang utusan ulama
Arab yang sebagian di antara mereka datang dari Syiria, Mesir,
dan Irak. Hindia Baroe, 30 Tanuari 1925.
79. Juru Pengusaha Kongres Al-Islam Dunia di Kairo yang akan
membahas soal khilafah mengumumkan bahwa kongres diundur-
kan satu tahun karena alasan tersebut. Hindia Baroe, 22 Januari
1925. Pengumuman ditandatangani Syeikh Al-Islam, Presiden
Kongres, Mohammad Abu 'l-Fadl.
80. Lihat halaman 52.
81. Hindia Baroe, 30 Januari 1925.
82. Ibid.
83. Berita surat kabar Al-Ahram dikutip dari Hindia Baroe, 30
Januari 1925.
84. Deliar Noer menyebutkan bahwa dalam kongres Al-Islam di
Bandung,'K.H. A. Wahab atas nama kalangan tradisi mengajukan
usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun
kuburan ...', Gerakan Modern, h. 243. Pemyataan tersebut mungkin
kesalahan sumber yang dikutip, sebab kebiasaan tersebut tidak
lazim dalam tradisi ulama pesantren. Sekalipun ada beberapa
makam ulama seperti para wali sembilan atau ulama lain makam-
nya dibangun, tetapi kemungkinan besar yang dimaksud Wahab
ialah usul agar makam Nabi Muhammad dan empat sahabat
besar serta syuhada abad pertama tidak dibongkar. Usul ini
memang beralasan mengingat peristiwa masa lalu gerakan
Wahabi yang pernah mencoba menghancurkan bangunan makam-
makam tersebut.
85. Kongres Yogyakarta memutuskan delegasi yang dikirim H.
Abdullah Siradj, Penghulu Pakualaman, dan Soegeng. Nama ter-
akhir dipilih karena mampu berbahasa Inggris. Kongres itu.di-
hadiri utusan SI43, Muhammadiyah 10 dan selebihnya organisasi
lokal. Hindia Baroe, 8 Februari 1926.
86. Ibid.
87. Ibid.
88. Komite dibentuk oleh Kyai Wahab mendapat dukungan or-
ganisasi Islam lokal di Surabaya, seperti Ta'mirul Masajid, Atta'-
dibiyah, Wataniyah, dan lain-lain. Namun sebelum itu Kyai Wahab
juga sudah mendapat dukungan ulama besar antara lain Kyai
Asj'ari, Kyai Asnawi dan lain-lain. Sejarah Perjuangan.
89. K.H. Abdul Halim menjabat tata usaha Nahdatul-Watan. Kyai
Hasjim Asj'ari sering memanggilnya dengan sapaan Mas Zawil-
Halim, Sdr. yang pemurah.
90. K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, h. 12-13.
91. Ibid, h. 13.
92. Ibid, h. 18.
93. K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangnn.
94. Ibid.
95. Perkiraan waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan ra-
pat 31 Januari 1926 memerlukan waktu sedikitnya satu bulan.
Keadaan transportasi dan alat komunikasi waktu itu tidak sebaik
sekarang ini.
Dua nama terakhir termasuk alumni yang mengikuti kursus
yang diselenggarakan Nahdatul-Watan tahun-tahun sebelumnya.
Ibid., h. 12.
96. Utusan yang dikirim K.H. Asnawi dan K.H. Bishri kemudian
digantikan K.H. Abdul Wahab dan Ahmad Ghana'im karena
yang pertama berhalangan.
97. K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, h.14.
98. Bendera Islam, 1 Januari 1925.
99. Ibid., 23-24 November 1925.
l00. K. H. Fachroeddin membawa mandat dari 138 perkumpulan
Islam di Yogyakarta. Utusan perkumpulan Islam lainnya seba-
nyak 97 + 138 = 235. Hindia Baroe, 9 Februari 1926. Angka 138 ini
agak membingungkan sebab cabang Muhammadiyah ketika itu
baru 38 cabang. Hindia Baroe, 4 Maret 1926. Kemungkinan salah
dari sumber Hindia Baru. Jumlah 235 juga dari Hindia Baroe.
1O1. Seperti dikemukakan Agus Salim pada bagian terdahulu per-
tentangan semata-mata mengenai hal-hal yang kecil-kecil yang
bukan mengenai pokok agama.Bendera Islam, 7 Januari 1925.
102. Beberapa utusan ranting organisasi ialah Muhammadiyah
Sumberpucung, Malang; SI Godekan, Yogyakarta; SI Petemon,
Surabaya, dan lain-lain. Bendera Islam, 1 Januari 1925.
103. Semula NU mencemaskan peristiwa yang terjadi dalam
kongres Al-Islam yang lalu akan tejadi pula dalam kongres Al-
Islam yang diselenggarakan MIAI. NU menghendaki untuk me-
mulai lembaran baru, melupakan silang sengketa masa lalu, ka-
rena itu NU menuntut kongres Al-Islam yang diselenggarakan
MIAI sebagai kongres yang pertama. Tuntutan ini akhirnya di-
terima sidang. Selain itu NU juga menghendaki agar organisasi
MIAI dan kongres Al-Islam diperbaiki, tidak semua perhimpunan
Islam besar atau kecil, mempunyai cabang yang banyak atau
hanya beberapa orang anggota saja, mempunyai suara yang sama.
Bahkan utusan ranting sebuah perkumpulan berkedudukan sama
dengan sebuah pengurus pusat perhimpunan yang mempunyai
cabang-cabang. Menurut NU hal ini tidak benar. Kongres Al-
Islam selanjutnya menetapkan anggota MIAI atau kongres al-
Islam diwakili pengurus pusat perhimpunan, jika pengurus pu-
satnya tidak termasuk anggota boleh diwakili salah satu cabang
atas izin dari pengurus pusatnya. Lihat ulasan Islam Congres ke 2,
dalam Berita NO, nomer 15, tahun 8, 1 Juni 1939. Lihat pula
anggaran dasar MIAI fasal 5 dan keputusan kongres Al-Islam ke
I, 1938, di Solo. Boekoe Peringatan MIAI, h. 8 dan 31.
104. Selanjutnya mengenai hubungan NU-Masyumi lihat bab IV,
khususnya sub-bab "Kemelut dan Gagasan Federasi".
105. Tali melingkar dengan 99 buah lekukan melambangkan
asma' al-husna (nama-nama Allah yang bejumlah 99) dan dua
buah ikatan di bawah melambangkan habl min AIlah habl min
al-nas (tall Allah dan tall manusia). Lihat H.M. Hasjim Latief, NU
Penegak Panji Ahlussunnah Waljamaah, (Surabaya: Pengurus NU
Wilayah Jawa Timur, 1979), h. 41-42.
106. Bahan tentang penciptaan lambang NU dihimpun dari wa-
wancara dengan H. Abdul Mudjib Ridwan, (60 tahun), putera
K.H. Ridwan, dan beberapa orang yang menghadiri muktamar
itu.
107. Sa'ad ibn 'Ubadah tidak bersedia menyatakan bai'ah kepada
Abu Bakar maupun 'Umar, meninggal pada zaman Khalifah
'Umar memegang jabatan di Syiria. Ibn Qutaibah ad-Dinawari
(276 H), al-lnuimah wasSiyrisah I, (Kairo: Mu'assasah al-Hulbi wa
Syurakah, 1976), h. 17-18. Selanjutnya al-Imamah.
1O8. Gagasan itu mendapat dukungan dari 'Abbas, Talhah dan
Zubair.'Ali kemudian mendatangi Abu Bakar dan menyatakan
kekecewaannya karena hak kerabat Nabi telah dirampas. Dalam
pertemuan dengan elite Ansar orang-orang Muhajirin mengatakan
bahwa Nabi Muhammad berasal dari kabilah Quraisy, kabilah
mereka, karena itu wajar bila pengganti Nabi Muhammad dari
kabilah itu. Atas dasar pertimbangan tersebut kemudian 'Ali
mengklaim jabatan itu karena dia berasal dari kerabat Nabi sen-
diri. Lihat al-Imamah I, h. 18-22 dan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam
as-Siyasi wad-Dini was-Saqafi wal-Ijtima'i II, (Kairo: Maktabah an-
Nahdah al- Misriyah, 1976), h. 1-6.Sin. Tarikh.
109. Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Singapura : Sulaiman Mar'i,
1965), h. 254. Selanjutnya dikutip Fajr al-Islam.
110. Talhah dan Zubair terbunuh dalam pemberontakan Jamal an-
tara 'A'isyah dengan 'Ali, mereka di pihak 'A'isyah. Mu'awiyah
melakukan pemberontakan kepada 'Ali dalam perang Siffin. Da-
lam perang itu terjadi tahkim (arbitrase), namun muncul kelompok
yang tidak setuju, sebab apa yang dilakukan Mu'awiyah adalah
suatu pemberontakan terhadap imam yang sah, karena itu mereka
menyatakan kedua kelompok yang melakukan tahkim salah dan
berdosa besar. Kedudukan mereka kafir karena telah menyimpang
dari hukum Allah. Fajr al-Islam, h. 254-255 dan al-Imamah I, h.
31-139.
111. Tarikh II, h. 151-152 dan al-Imamah I, h. 31-139.
112. Ahmad Amin, Duha al-Islam I, (Kairo: Maktabah an-Nahdah
al-Misriyah, 1964), h. 26'-287. Selanjutnya Duha al-lshm.
103. Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Singapura : Sulaiman Mar'i,
1965), h. 254. Selanjutnya dikutip Fajr al-Islam. (Catatan kaki nomer
5).
114. Duha al-Islam, h. 256-265.
115. Duha al-Islam, h. 279-303.
116. Tarikh II, 156. Lihat pula Faisal Badrun, 'Ilm al-Kalam wa
Madarisuh. (Kairo: Maktabah al-Hurriyyah al-Hadisah, 1982), h. 263.
Selanjutnya disebut 'Ilm al-Kalam.
117. Tarikh II, h. 160-161, 'Ilm al-Kalam, h.266 dan 'Abd al-Qahir
al-Baghdadi, al-Farg Bain al-Firag, (Beirut: Darul-Kutub al-'Ilmiy-
yah, 1985), h. 87-150. Selanjutnya disebut al-Farg.
118. Abu Hasan 'Ali ibn Isma'il al-Asy'ari, wafat 324 H/936M.
119. Abu Hasan 'Ali ibn Isma'il al-Asy'ad Maqalat al-lslamiyyin
wa Ikhtilaf al-Musallin, (Weisbaden: Franz Steiner Verlang GMBH,
1980), h. 5. Selanjutnya disebut Maqalat.
120. Abd al-Qahir ibn Tahir ibn Muhammad al-Baghdadi, wafat
429 H/1037 M.
121. Salah satu hadis menurut teks Tirmizi:
"iftaraqat al-Yahud 'ala ihda au tsintaini wa sab'ina firqatan wa tafar-
raqat al-Nashara 'ala ihda au tsintaini wa sab'ina firqatan wa taftariqu
ummati 'ala tsalatsin wa sab'ina firqatan"
(Ummat Yahudi terpecah 71 atau 72 golongan dan ummat Nasrani terpecah
sejumlah itu. Ummatku (akan) terpecah 73 golongan)
Hadis ini diriwayatkan Tirmizi, Abu Dawud, Ahmad ibn Han-
bal, Nasa'i, Ibn Majah dan Hakim. Imam Tirmizi meriwayatkan
dari empat jalur sanad: Abu Hurairah, Sa'ad,'Abdullah ibn 'Amr
dan 'Auf ibn Malik. Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad
Abu Hurairah sedang Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas ibn
Malik dengan dua jalur sanad.
Imam Tirmizi menilai hadis sanad Abu Hurairah hasan sahih.
Dalam teks sanad 'Abdullah ibn 'Amr menurut riwayat Tirmizi
terdapat kalimat:
"kulluhum fi al-nar illa millatan wahidah, qala: man hiya ya rasu-
lullah? qala: ma ana 'alaihi wa ashabi"
(Semua masuk neraka kecuali satu golongan. Sahabat bertanya
'Siapakah golongan itu, ya Rasul?' Rasul menjawab 'Yang meng-
ikuti aku dan para sahabatku), namun hadis ini dinilai
karena salah seorang perawinya yaitu 'Abdur-Rahman ibn Zay-
yad tergolong daif. Mengingat hadis tersebut diriwayatkan dengan
banyak sanad Imam Tirmizi menilai hasan gharib.
Hakim menilai sahih menurut syarat Bukhafi dan Muslim.
Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal terdapat kalimat :
"fa tahliku ihda wa sab'ina wa takhlisu firqatun, qalu: ya rasulallah
man tilka al-firqah, qala: al-jama'ah al-jama'ah"
(Maka hancur 71 golongan dan selamat satu golongan. Mereka
bertanya, 'Siapakah itu?' Rasul menjawab 'Jamaah, jamaah').
Para ulama menafsirkan 'perpecahan' yang dimaksud dalam
hadis tersebut ialah perpecahan mengenai pokok agama (usul
al-din), bukan perpecahan karena perbedaan dalam soal furu' yang
menyangkut hukum halal-haram.
Lihat Muhammad 'Abdur-Rahman Kafuri Tuhfah al-Ahwazi bi
Syarh Jami' Tirmizi VII, (Kairo: Mat-ba'ah al-Majalah al-Hadisah,
1967), h.397-400; Abu Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-'Azim
al-Abadi,'Aun al-Ma'bud bi Syarh Sunan Abi Dawud XII, (Lebanon:
Dar al-Fikr al-Maktabah as-Salafiyah, 1979), h. 340, 358-60; Ibn
al-'Arabi al-Maliki, al-'Aridah al-Ahwazi bi Syarh Sahih Tirmizi, X,
(Kairo : Dar al-Wahy al-Muhammadi, t.t.), h. 108-i09; dan Ahmad
ibn Hanbal, Musnad Imam ibn Hanbal III, (Lebanon : Maktab
al-Islami, t.t.), h. 120 dan 145.
Selain hadis di atas terdapat riwayat yang menganjurkan untuk
mengikuti sunnah Nabi dan para sahabat Nabi antara lain:
"fa 'alaikum bi sunnati wa sunnati al-khulafa' ar-rasyidin al-mahdiyyin
'addzu 'alaiha bi an-nawajid"
(Maka ikutilah sunnahku dan sunnah khulafa rasyidun yang diberi
petunjuk. Peganglah erat kedua sunnah itu). Hadis ini diriwa-
yatkan oleh Tirmizi, Abu Dawud, Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah,
Hakim, Tabrani dan ibn Hibban. Jalur sanad hadis ini banyak
dengan teks yang berbeda-beda. Secara keseluruhan nilainya ha-
san sahih, tetapi Hakim menilai sahih menurut syarat Bukhari dan
Muslim. Demikian pula ibn Hibban menilai sahih. Ibn Hajar al-
'Asyqalani juga menilai sahih. Lihat Muhammad 'Alan as-Sa-
diqi, Dalil al-Falihin ii Turuq Riyad as-Salihin I, (Kairo : Mustafa al
Babi al-Halabi, 1$71), h. 413-16.
122. Lihat al-Farq.
123. Buku ini dikomentari (syarh) oleh Imam Maturidi (944 M),
Syarh al-Fiqh al-Akbar li Abi Hanifah, (Kairo: Matba'ah al-Qahirah,
1325 H).
124. Lihat Jalal Muhammad Musa, Nasy'h al-Asy'ariyyah wa Tataw-
wuruha, (Beirut: Dar al-Fikr al-kutub, 1975), h. 20. Selanjutnya
dikutip Nasy'ah.
125. Ali Sami al-Nasyr dan 'Ammar Jam'i at-Talibi,'Aqa'id al-
Salaf, (Iskandaria: al-Ma'arif, 1971).
126. Ibid.
127. Ibid. Al-Marisi ialah Bisyr ibn Ghayyas al-Marisi (218 H)
salah seorang dari aliran Murji'ah yang berfaham qadariyah. Lihat
Maqalat, h. 140-143 dan 516.
128. Maqalat, h. 454-455.
129. Nasy'ah, h. 15-16.
130. Ayat mutasyabihat ialah ayat yang mengandung kata yang
artinya, kurang atau tidak jelas atau memang arti katanya ganda
(isytirak) seperti kata wajh, yad (tangan),'arsy, atau inzal (turun)
dalam bidang kalam dan lams atau guru' dalam bidang fikih.
131. Taqiyyddin ibn Taymiyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah fi
Naqd Kalam as-Syi'ah wa al-Qadariyyah, (Marwa-Mekka: Dar al-
Baz, t.t.), jilid II, h. 102-105. Selanjutnya disebut Minhaj asSunnah.
132. Salah satu mazhab fikih ahlussunnah waljamaah yaitu maz-
hab Abu Hanifah dikenal sebagai ahl ar-ra'y (rasional) tetapi
sebutan ini tidak berarti Abu Hanifah mengabaikan sunnah Nabi
dan sahabat. Mazhab ini memang dikenal lebih kritis terhadap
hadis Nabi terutama hadis ahad yang sanadnya tunggal, namun
jika menurut penelitiannya hahis itu Sahih tetap diterima.
133. MaqaIat, h. 290-297.
134. Muhammad Kamil Husain, "Muqaddimah", dalam Muwattta'
edisi Kitab as-Sya'b, t.t., h. 21. Lihat pula Abu Zahrah, Malik
Hayatuh wa 'Asruh Ara'uh wa Fiqhuh, (Beirut: Dar al-Fikr al-
'Arabi, 1952).
135. Minhaj alSunnah, I, h. 256.
136. Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama, Rechts persoon,
tanggal 6 Februari 1930, nomer 1x, pasal 2.
137. Ibid, pasal 3 ayat b.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Keruntuhan Daulah"
Posting Komentar