POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

Laporan Khusus Suara Hidayatullah

Diposting oleh Masakan On 22.08
Lampung di Bulan Februari, 14 Tahun Lalu
Cihideung adalah nama sebuah dusun sunyi di kaki Gunung Balak, di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah. Tak banyak orang ingat tragedi apa yang pernah terjadi di dusun itu, 14 tahun silam. Tapi bagi Fadhillah, Muslim, Ibnu Ishaq, Zamzuri serta Marsudi, peristiwa yang terjadi pada bulan Februari 1989 itu jelas tak akan terlupakan sampai akhir hayat mereka.

Bagaimana bisa lupa, dalam tragedi itu anak dan istri mereka mati terbakar bersama sedikitnya 250 orang kerabat mereka. Boleh jadi, peristiwa itu adalah hari-hari paling kelam dalam kehidupan Fadhillah dan kawan-kawan.

“Sampai akhir pekan lalu, bau anyir darah dan aroma sangit daging terbakar masih tercium dari tanah merah dekat pertigaan jalan desa di Dukuh Cihideung, Way Jepara, Lampung,” tulis majalah Tempo (18 Februari 1989).

Meski begitu mereka tak pernah menyesali nasib. “Itu sudah merupakan garis hidup saya yang tidak akan saya sesali. Insya Allah, istri saya mati syahid. Dan kini kehidupannya di alam sana, lebih bahagia daripada saya sekarang,” ungkap Muslim kepada Suara Hidayatullah.

Tragedi itu bermula dari kehadiran Warsidi alias Anwar dari Desa Labuhan Ratu Induk ke kediaman Jayus di Cihideung. Warsidi sempat tinggal di rumah Jayus sambil memberikan ceramah dan mengadakan pengajian di mushalla setempat. Lalu tak lama kemudian Warsidi bersama istri dan ketiga anaknya membangun rumah di pekarangan Jayus.

Sejak itu, Dusun Cihideung banyak dibanjiri oleh kehadiran orang-orang dari daerah lain yang bersimpati dengan pengajian Warsidi. Mereka kemudian membangun empat barak terbuat dari bambu dan papan. “Bangsal (tanpa kamar) yang terserak di sekitar rumah penduduk itu berpenghuni sekitar 300 orang,” tulis Tempo.
Mau apa mereka? Seperti dituturkan Marsudi, abang Warsidi, mereka hendak membangun perkampungan yang Islami. "Hidup di tengah perkampungan Muslim Cihideung sungguh terasa tenteram. Shalat berjamaah tak pernah lengah. Shalat tahajjud pun selalu semarak, diikuti anak-anak, remaja, ibu-ibu, dan bapak-bapak," kenang Marsudi
Senada dengan Marsudi, Tempo melaporkan, “Kegiatan para jamaah di Cihideung itu sepintas mirip pesantren. Di situ kegiatan keagamaan sangat menonjol: shalat berjamaah, pengajian tafsir Quran, Hadits dan kitab kuning, yang diselingin pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran.”

Namun perilaku para pengikut Warsidi yang berbeda dari masyarakat sekitarnya serta kehadiran banyak orang tanpa melaporkan kepada pamong setempat membuat Sukidi, sang kepala dusun setempat merasa terusik. Apalagi isi ceramah-ceramah Warsidi dan kawan-kawan dinilai penduduk setempat bernada keras, menentang pemerintah.

Ketika Sukidi meminta kepada Warsidi agar melaporkan identitas jamaahnya, Warsidi enggan menaati. Alhasil Sukidi menjadi curiga terhadap komunitas itu, lalu pada tanggal 11 Januari 1989 mengirim surat kepada Kepala Desa Rajabasa Lama, Amir Puspa Mega yang isinya melaporkan kehadiran orang-orang tanpa identitas jelas di rumah Jayus.

Keesokan harinya, Amir meneruskan laporan itu pada atasannya, Camat Way Jepara, Zulkifli Maliki. Hari itu juga Camat mengirim surat panggilan kepada Amir dan Warsidi. Mereka diharuskan menghadap, bersama Jayus, Mansur dan Sukidi.

Setelah membaca surat itu, Warsidi segera membalas. Isi suratnya, menolak panggilan Zulkifli, sebaliknya meminta Zulkifli yang datang ke tempatnya untuk melihat keadaan yang sebenarnya. Pada tanggal 13 Januari, Zulkifli datang ke tampat Warsidi. Tapi pertemuan itu tidak memuaskan Zulkifli. Ia kembali meminta Warsidi esok hari menemuinya di kantor kecamatan. Lagi-lagi Warsidi tidak mau datang.

Setelah ditunggu-tunggu tak juga datang, akhirnya pada tanggal 27 Januari 1989 Zulkifli melaporkan hal itu kepada Komandan Koramil 41121 Way Jepara, Kapten Soetiman. Isi laporannya: di Dukuh Cihideung ada yang melakukan kegiatan ‘yang mencurigakan dengan berkedok pengajian’.

Soetiman kemudian memanggil Warsidi agar menghadap dia selambat-lambatnya tanggal 1 Februari 1989. Warsidi menolak lagi, dan meminta pihak Koramil yang datang ke tempatnya.

Penasaran dengan sikap Warsidi yang kunjung tidak mau hadir ketika diundang. Esok harinya, Minggu, 5 Februari 1989 sekitar pukul 23.00 WIB, Kapten Soetiman memerintahkan Serka Dahlan dan Koptu Abdurrachman, Babinsa Rajabasa Lama, dibantu Sukidi dan beberapa hansip untuk melihat situasi di Markas Komando jama’ah tersebut. Dalam tugas tersebut, mereka menyergap enam pemuda yang kebanyakan masih berusia 16 tahun . Dalam penyergapan tersebut, turut disita 61 bilah anak panah beracun, ketapel, parang, dan golok. Mereka diserahkan ke markas Kodim 0411 Lampung Tengah.

Tanggal 6 Februari 1989, Mayor E.O. Sinaga (Kepala Staf Kodim 0411) dapat instruksi dari Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung, Kolonel Hendropriyono, agar mengadakan upaya pendekatan terhadap kelompok Warsidi. Sekitar pukul 11.00 WIB, Sinaga beserta rombongan yang terdiri: Kapten Soetiman, Camat Zulkifli, Letkol Hariman S (Kakansospol Lampung Tengah), Amir Puspa Mega (Kepala Desa Rajabasa Lama), Letnan Satu Dulbadar (Kapolsek Way Jepara), serta sejumlah anggota Koramil dan Hansip berangkat menuju lokasi.

Namun sebelum tiba di lokasi terjadi bentrok antara rombongan Sinaga dengan jamaah Warsidi. Dalam peristiwan itu Kapten Soetiman tewas terkena bacokan senjata tajam.

Sore harinya berita kematian Soetiman terdengar olah Komandan Korem atas laporan Mayor Sinaga. Ia kemudian menugasi tiga peleton pasukan Batalyon 143 (sekitar 100 orang) plus 40 orang anggota Brimob untuk menyerbu Cihideung. Malam hari itu juga, sektiar jam 23.00 pasukan diberangkatkan ke Rajabasa Lama. Dipimpin langsung oleh Kolonel Hendropriyono, pasukan mengepung Cihideung dari tiga jurusan.

Tanggal 7 Februari 1989, dini hari pasukan dari Korem sudah siap di dekat lokasi. Lalu sebelum matahari terbit pemukiman jamaah Warsidi sudah diserbu aparat keamanan. Menghadapi serangan militer itu, pengikut Warsidi melakukan perlawanan dengan senjata tajam dan panah beracun.

Pertempuran itu jelas tidak berimbang. Namun anehnya baru berakhir sekitar pukul 12 siang. Ratusan orang jamaah Warsidi mati tertembak dan terbakar. Yang mati kebanyakan terpanggang bersama barak dan rumah yang terbakar. Sebagian yang masih hidup ditangkap dan dibawa ke markas Korem, menghadapi interogasi yang penuh siksaan.

Babak berikutnya adalah gedung pengadilan dan dinding penjara. Kebanyakan mereka divonis penjara seumur hidup.

Beruntung ada angin reformasi yang membebaskan mereka dari penjara tahun 1999. Apa saja yang telah mereka alami selama ini? Silakan ikuti kisah mereka berikut ini.
[Bersambung ke Suara Hidayatullah edisi cetak, sudah terbit bulan ini, silakan beli melalui agen-agen terdekat, atau pesan langsung melalui birojakarta@hidayatullah.com :) ]

- Fadhillah: Saya Shalat Hanya Pakai Celana Dalam
- Zamzuri: Anak Bayi Saya Ikut Dipenjara
- Marsudi: Tubuh Saya Ditendang Seperti Bola
- Ibnu Ishaq: Ibu-ibu dan Anak-anak Diangkut Truk

0 Response to "Laporan Khusus Suara Hidayatullah"

Posting Komentar

    Blog Archive

    About Me