satunet.com - Keberpihakan Amerika secara mendasar kepada Israel tambah diperteguh dengan sikap sejumlah besar anggota Kongres AS yang ingin mendukung tindakan Israel di Tepi Barat, dalam bentuk mosi parlementer.
Sebagaimana diketahui, dalam sebuah demokrasi, Dewan Perwakilan Rakyat dianggap mencerminkan kehendak masyarakat. Dan pemanjaan yang dinampakkan pimpinan Amerika terhadap Israel, juga dipandang sejalan dengan keinginan rakyat.
Akan tetapi, di Eropa, kelihatan ada sikap yang, kalau pun tidak hendak dikatakan terlalu berpihak pada Palestina, minimal tidak segigih Amerika mendukung Israel.
Tentu saja akan timbul pertanyaan: Kenapa?
Mungkin sejarah berperan sebagai latar dalam membentuk sikap yang berbeda dengan yang dianut Amerika ini.
Sebagaimana diketahui, perlakuan Eropa terhadap umat Yahudi memang sudah sangat berurat berakar, sarat dengan kebencian. Banyak kalangan yang mengatakan, itu erat sangkut pautnya dengan sikap umat Yahudi terhadap Yesus Kristus, yang menurut mereka mengakibatkan terjadinya penyaliban.
Padahal, ketika kekuatan Romawi menjajah Palestina, mereka juga tidak menunjukkan kesukaan pada bangsa Yahudi. Sebelumnya, Fira'un di Mesir juga benci terhadap umat Yahudi.
Dalam hal ini sangat menarik untuk merujuk kembali apa yang pernah disimpulkan oleh salah seorang cendekiawan terbesar dunia, Ibnu Khaldun, seorang sejarawan dan filsuf sosial Islam, keturunan Arab Yaman yang menuntut pendidikan di Tunisia, Afrika Utara, hidup antara tahun 1332 dan 1406.
Menurut Ibnu Khaldun yang terkenal dengan karyanya berjudul "Muqaddmah" itu, perlakuan yang kasar membuat orang menjadi tertutup, korup dan keji.
Ibnu Khaldun mengemukakan umat Yahudi sebagai contohnya, yang watak atau perilakunya, kata Ibnu Khaldun, telah begitu merosot karena perlakuan keras seperti itu hingga akhirnya mereka beken di setiap zaman dan iklim, karena kekejian dan kelicikannya.
Begitu benci dan curiganya Eropa terhadap umat Yahudi hingga mereka - kalangan Eropa - sempat kewalahan sewaktu hendak melancarkan Perang Salib melawan kekuatan Islam waktu itu.
Waktu itu, umat Yahudi di Eropah, terutama di Inggris, dianggap sebagai potensi suatu kolom kelima, alias musuh dalam selimut.
Lalu, bagaimana bala tentara Kristen Eropa dapat meninggalkan kampung halaman mereka selama jangka waktu yang begitu lama untuk pergi ke Yarusalem atau Al Quds, sedangkan umat Yahudi gentayangan di kampung halaman mereka itu. Bagaimana dengan anak istri mereka? Apakah aman kalau ditinggalkan, sedangkan umat Yahudi yang dianggap keji dan licik itu, terus berada di sana, dan tidak ikut dalam Perang Salib itu?
Pada waktu itu ada syak wasangka bahwa mungkin saja umat Yahudi malahan lebih berpihak pada umat Islam ketimbang umat Kristen.
Menurut Profesor Northcote Parkinson, dalam bukunya "Sejarah Timur dan Barat", Perang Salib pertama didahului dengan pembantaian umat Yahudi di Verdun, Treves dan Worms serta tempat-mereka lain.
Perang Salib ke-3 juga didahului dengan keonaran serupa, terutama di kota York, Inggris, dalam tahun 1189. Waktu itu, Raja Inggris, John, praktis memeras masyarakat keturunan Yahudi dalam tahun 1210, hingga mendorong banyak di antara mereka untuk angkat kaki.
Dalam Konsili Lateran ke-4 tahun 1215, menjelang Perang Salib ke-5, dikeluarkan dekrit yang menjadikan umat Yahudi "orang2 yang secara sosial terbuang dari kelompok masyarakat umum", dan mereka diwajibkan mengenakan pakaian yang secara serta merta mencerminkan ke-Yahudi-an mereka, dan mereka praktis diboikot.
Dalam tahun 1290, Raja Inggris Edward, mengusir semua orang Yahudi.
Kemudian, dalam tahun 1208 Paus Innocent ke-3 mencanangkan suatu Perang Salib. Dan dalam rangka ini mereka yang dianggap melakukan bid'ah dihabisi. Dalam apa yang kemudian dikenal dengan nama Inkuisisi itu, banyak yang bersalah dibakar hidup-hidup.
Sejarawan Inggris Profesor Nortchcote Parkinson menilai bahwa pembantaian ratusan ribu orang yang dinilai menyimpang dari ajaran Kristus yang sebenarnya, termasuk umat Yahudi tentu saja, waktu itu, adalah yang terbesar sebelum Adolf Hitler, pemimpin Nazi Jerman, melakukan apa yang kini disebut holocaust - sebuah istilah Yunani yang arti harfiahnya adalah pemusanahan dengan api.
Sebagaimana diketahui, menurut catatan sejarah sekitar 6 juta umat Yahudi tewas di tangan Nazi.
Kalau kemudian Eropa merasa bersalah, bahkan sangat bersalah terhadap umat Yahudi, memang masuk akal, kendati gereja sendiri baru-baru ini saja mengakui kesalahan itu dan meminta maaf.
Untuk menebus perasaan turut bersalah itu, rakyat Eropa umumnya kemudian sangat berpihak pada Israel.
Kendati dalam Perang Enam Hari bulan Juni 1967, Israel yang dikeroyok sejumlah negara Arab itu, akhirnya menang telak, simpati kebanyakan rakyat Eropa masih terhadap Israel khususnya dan umat Yahudi umumnya.
Begitu juga pembunuhan dan penyanderaan para Olimpiawan Israel dalam tahun 1972 di Muenchen, Jerman, dan kemudian dalam Perang Yom Kipur tahun 1973, yang dinilai telah berhasil menebus aib besar yang pernah diderita Mesir sewaktu dikalahkan dalam Perang Tahun 1967 itu.
Akan tetapi simpati atau sambung rasa bangsa Eropa terhadap Israel dan umat Yahudi ini, mengalami perubahan, ketika dalam tahun 1982, Ariel Sharon, dalam kedudukannya sebagai Menteri Pertahanan Israel, memimpin penyerbuan ke Libanon untuk mendepak Organisasi Pembebasan Palestina.
Yang sangat memarahkan banyak kalangan adalah main mata Israel, terutama Ariel Sharon, dengan Tentara Libanon Selatan yang Kristen, yang melancarkana pembantaian yang dinilai oleh banyak kalangan Eropa, sebagai sangat kejam terhadap warga Palestina yang ditampung dalam kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila.
Penyelidikan yang kemudian dilakukan oleh Israel mendapati bahwa Ariel Sharon secara tidak langsung bertanggungjawab atas pembantaian itu.
Dahulu, kalangan bergaris kanan di Eropa yang cenderung ke sikap fasis memang kurang berkenan dengan Yahudi, sedangkan golongan berhaluan kiri bersimpati dengan Yahudi dan Israel.
Seorang pengamat Inggris, Michael Elliot, mengatakan, sejak peristiwa kam pengungsi Sabra dan Shatila tahun 1982, kalangan kiri pun sengit terhadap Israel dan memandang Ariel Sharon, terutamanya, sebagai sosok yang perlu dibenci dengan amat sangat.
Warga Eropa yang lahir setelah Perang Dunia Kedua - sekitar tahun 1945 - menganut sikap yang sangat jijik terhadap mereka yang mengejar tujuan politik lewat cara-cara kekerasan - maksudnya kekuatan militer.
Dan nafsu Ariel Sharon untuk mengerahkan tank serta peralatan perang keras untuk menggasak kamp-kamp pengungsi Palestina, seperti Jenin, apa pun profokasinya, ternyata menyentuh kesengitan banyak orang di Eropa.
Mungkin bangsa Amerika payah untuk memahaminya, namun rakyat Eropa pada dasarnya merasa amat bersalah sehubungan dengan penjajahan yang pernah dilakukan oleh para pendahulu mereka.
Pembangunan permukiman Yahudi di tengah masyarakat Palestina di Tepi Barat, sangat mengusik perasaan banyak orang di Eropa, yang memandang perbuatan tersebut sebagai suatu bentuk penjajahan yang pernah mereka lakukan di masa lalu, dan kini mereka sesali.
Kebetulan, dalam bahasa Inggris ada ungkapan "Tiada yang lebih memberangkan, daripada melihat sikap buruk kita pada diri orang lain".
Salah satu buku yang sangat besar pengaruhnya di kalangan bangsa Eropah adalah "The Wretched of the Earth", tulisan Frantz Faron. Buku ini menuturkan kekejaman tidak terperikan yang pernah dilancarkan Prancis sewaktu menjajah Aljazair.
Bagi sementara umat Yahudi memang Eropa anti-Semitic, bahkan sampai sekarang, dan bahwa Eropa nampaknya tetap rela untuk ikut bersekutu dalam pembantaian umat Yahudi.
Bagi rakyat Amerika, perasaan bersalah seperti yang dirasakan oleh rakyat Eropa memang tidak dikenal.
Setelah Peristwa 11 September 2001, kebencian mereka terhadap segala yang berbentuk terorisme, sangat mendalam dan sengit.
Dan pengeboman jibaku yang dilancarkan unsur-unsur Palestina, bagi kebanyakan mereka sama saja sifatnya seperti terorisme yang pernah begitu mempermalukan mereka.
Jadi, kalau Israel mensifatkan pemboman jibaku itu sebagai terorisme, maka sesuai rumusan politik "musuh dari musuh saya adalah kawan saya" maka lebih mudah bagi rakyat Amerika untuk bersimpati dengan Israel.
Karena para anggota Kongres Amerika merasa mereka mewakili aspirasi rakyatnya, maka mereka pun merasa perlu menjelmakan perasaan itu dalam bentuk perbuatan, seperti mengesahkan mosi yang mendukung tindakan Israel selama ini.
Sebagaimana diketahui, selama ini diakui ampuhnya pengaruh masyarakat keturunan Yahudi di Amerika - kendati mereka dikatakan hanya berkuku di 3 kota, termasuk New York, dan berjumlah hanya sekitar 6 juta jiwa, sedangkan umat Islam di Amerika banyaknya sekitar 7 juta.
Tetapi mungkin saja, bagi cukup banyak umat Islam, masalah Palestina bukanlah persoalan agama - dalam hal ini Islam - melainkan lebih berupa persoalan politik.
Siapa tahu, 50 tahun dari sekarang, mungkin banyak kalangan yang akan merasa ikut berdosa, karena telah membela pihak yang melakukan penggasakan. Wallahu a'lam***
-Nuim Khaiyath adalah Executive Producer Radio Australia siaran Bahasa Indonesia. Komentar dan tanggapan bisa ditujukan ke Nuim Khaiyath
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Umat Yahudi di mata Eropa dan AS"
Posting Komentar