Oleh Handrawan Nadesul
PEMBERITAAN kasus VCD porno dua mahasiswa Bandung awal Oktober lalu, telanjur membangun opini yang bila direnungkan agaknya kurang begitu sehat. Opini sepihak yang terasa menyoraki, begitu kuat menggiring rasa moral mayoritas masyarakat. Sampai hari-hari ini, di kolom-kolom surat pembaca koran dan majalah, pemberitaan televisi, dan talk show di radio, orang masih mengirimkan hujatan, kutukan, dan sikap mempermalukan pasangan yang sudah menyesali perbuatannya itu, seolah kita bersih semua. Tak banyak yang membaca kasus ini sebagai guntingan potret kita juga.
Benar, perbuatan seks bebas dua mahasiswa itu, dibuat video atau tidak, diedarkan atau tidak, dari penglihatan agama, hukum, moral, norma, adat, atau kacamata mana pun, jelas tak pantas dibela. Namun, bila nyatanya masih ada suara-suara yang bilang ini soal teledor, tidak sengaja, lumrah, permisif saja, dan bagian dari hak privasi, ini potret dari sikap pembenaran diri yang sudah tidak mau patuh pada tata nilai lama. Bahwa apa pun alasan maupun dalihnya, di mata mayoritas moral, seks bebas tetap perbuatan yang tidak boleh dibenarkan.
Di situlah barangkali letak timpangnya tata nilai rata-rata anak-anak muda kita sekarang. Praktis salah kaprah "boleh seks asal pakai kondom" yang telanjur diterima rata-rata remaja kita benar bisa membebaskan mereka dari penyakit kelamin, tetapi tidak menyelamatkan mereka dari mata Tuhan. Dari acara talk show "free sex" dengan mahasiswa Fakultas Kedokteran Atma Jaya Jakarta belum lama ini (13/10/01), tertangkap ada sebagian kesan yang menanggapi free sex sebagai yang ditabukan, dianggap kuno.
***
KASUS VCD itu boleh jadi puncak gunung es kehidupan seks remaja kita. Bahaya besar diperkirakan bakal muncul kalau benar nilai moral anak muda kita sudah bergeser. Kenapa?
Pertama, rata-rata anak-anak kita tidak diberi bekal bagaimana menghadapi kehidupan seksualitasnya. Benar kita sudah meratifikasi hak reproduksi sehat anak (Konferensi Kependudukan Dunia, Cairo 1994), namun pendidikan seks atau apa pun namanya belum masuk kurikulum. Kesan yang terpetik dari surat-surat konsultasi, pertanyaan dalam seminar di sekolah lanjutan, pembekalan pranikah, dibanding remaja tahun 1980-an (ditambah kesan selama mengasuh di majalah Hai, Puteri, dan majalah Gadis), yang bertambah pada remaja kita kini ternyata pengetahuan dan pengalaman praktik seks, sedang bekal nilai-nilai seksualitasnya tetap saja minimal.
Kedua, ketika belantara sensualitas dunia sekarang sudah demikian garang dan centil, anak-anak muda kita masih belum punya bekal agar "selamat" memasuki hutan seksualitas dunia yang sudah semakin genit dan telanjang. Yang anak-anak peroleh dari cara asuh, cara didik, dan cara gaul, justru pengalaman dan praktik seks. Ini yang menyimpang dari konsep pendidikan seks. Pendidikan seks bukan praktik seks, tetapi penanaman tata nilai bagaimana anak dimampukan membawakan diri dengan organ seks yang sudah matang, agar bisa "selamat" sampai saatnya menikah nanti.
Makna "selamat" buat remaja putra agar tidak sampai kawin muda dan harus putus sekolah akibat kekeliruan seks, dan bagi remaja putri supaya masih tetap virgin. Dampak virginitas sendiri terkait dengan sukses hidup dan nasib pernikahan. Studi pendahuluan anak sekolah di beberapa SMA Bali tahun 1980-an menunjukkan angka sudah tidak perawan cukup tinggi. Pada saat yang sama hampir semua putranya menolak jika calon istri sudah tidak virgin. Fakta bahwa buat kultur kita virginitas masih barang mewah.
WHO mencatat, tanpa pendidikan seks, angka kawin muda, putus sekolah, penyakit kelamin, perceraian, dan janda kembang meningkat (Kasus "nona bukan, nyonya bukan"), selain permintaan abortus bertambah. Yang dicemaskan banyak orangtua, angka abortus yang dilakukan secara tidak aman (unsafe abortion) juga semakin tak tercatat. Untuk alasan yang terakhir ini, setiap negara wajib memberi hak reproduksi sehat buat semua anak dengan menanamkan tata nilai seksualitas sejak dini. Namun, anak-anak kita masih kehilangan hak untuk tahu dan mampu membawakan diri dengan organ seksnya yang sudah ranum, ketika seks dunia sudah semakin centil. Kasus remaja di pinggiran kota usai nonton televisi kabel Perancis lalu memperkosa anak tetangga, bukti ketidaksiapan seksualitas remaja kita di depan genitnya materi seks yang serba sensual.
Rata-rata anak-anak kita juga rawan menerima semua yang kotor-kotor itu hampir setiap saat, bahkan lewat Internet di kamar tidurnya sendiri. Jika bekal tata nilai itu belum di tangan, bisa-bisa bakal seperti kasus dua mahasiswa itu jadinya. Bahwa anak-anak di Barat yang sudah ditanamkan pendidikan seks masih seks bebas itu soal lain. Menjadi urusan moral dan iman jika sudah tahu tetapi masih melanggar.
Anak-anak remaja kita rata-rata belum tahu seks, tetapi godaan di depan mata mereka makin sensual. Dari pertanyaan selama memberi seminar seks dan surat-surat konsultasi, dalam hal seks terkesan betapa masih lugu rata-rata anak-anak remaja kita, tetapi materi seks di depan mereka sudah begitu telanjang. Kasihan anak-anak kita. Mereka korban ketidaktahuan. Remaja yang ignorancy dalam hal seksualitas lebih rawan dan rentan terhadap godaan seks dibanding remaja yang sudah serba tahu seks namun melakukan kesalahan seks juga. Maka tidak bisa tidak, pendidikan seks masuk kurikulum.
***
KETIKA kehidupan seksualitas dunia kian hiruk pikuk, orang-orang yang lebih tua sering panik mempertimbangkan tata nilai. Kita cenderung memberi ruang toleransi kelewat lapang untuk menurunkan nilai seksualitas setingkat lebih rendah dari nilai yang sepatutnya tidak boleh dibiarkan bergeser. Kampanye kondom bagi remaja, misalnya, juga sebuah toleransi yang kelewat batas, sehingga anak-anak muda gamang menentukan praksis sehat dalam kehidupan seksnya. Bukankah kampanye kondom menyerukan "boleh seks (bebas) asal pakai kondom". Moralitas jenis "boleh mencuri asal tidak ketahuan" begini yang hari-hari ini sedang merongrong tata nilai kehidupan moral dan agama anak-anak muda kita, dan kita semua. Bukankah yang mungkin dipikirkan pasangan dua mahasiswa itu juga yang seperti itu? Barangkali awalnya mereka berdua cuma berpikir boleh-boleh saja seks bebas, asal tidak ketahuan.
Kalau saja perbuatan dua mahasiswa itu tidak ditransfer ke VCD, kalau saja tidak diedarkan, kalau saja tidak menjadi berita, kalau saja tidak sampai terangkat ke permukaan, siapa yang tahu kalau mereka berdua sudah berbuat begitu?
Melihat permintaan aborsi yang terus meningkat di mana-mana, kendati angka aborsi selalu dark number, namun harus tetap membuat kita tidak boleh menutup mata bila perbuatan seks bebas makin menambah angka korban seks di kalangan remaja akibat kesalahan kita orang-orang yang lebih tua tidak memberi mereka bekal. Bukankah itu potret kusam kita juga. Selama ini kita teledor, tidak memberikan sapu tangan yang bersih kepada anak remaja kita buat menyeka muka kita yang sudah kotor?
* Handrawan Nadesul, dokter, pernah mengasuh rubrik kesehatan di beberapa majalah remaja, menulis buku pendidikan seks, dan banyak mengamati kehidupan remaja.
[http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0110/30/opini/kasu04.htm]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Kasus VCD Porno, Potret Kita Juga"
Posting Komentar