Seluruh dunia geger, Paus Johannes Paulus kedua juga berang, ketika berita mengenai kasus perkosaan anak-anak oleh para imam Katolik dilansir di Amerika Serikat. Selama ini, kasus pedophilia semacam itu terud ditutup-tutupi oleh gereja dan berbagai kalangan lainnya. Namun kejahatan seksual itu akhirnya terbongkar juga. Dari segi hukum maupun agama, pelecehan seksual terhadap anak-anak dikecam dan diancam hukuman. Akan tetapi, dari sudut ilmu pengetahuan maupun hukum, harus dijelaskan dahulu apa batasan umum anak-anak tsb. Sejauh ini terdapat jurang cukup lebar, antara ketentuan hukum dengan batasan kelimuan.
Hukum menetapkan seseorang sebagai bukan anak-anak lagi, tergantung dari umurnya. Misalnya saja di Indonesia, seseorang dikatakan dewasa jika sudah menginjak usia 17 tahun. Di Jerman, yang disebut dewasa secara hukum, adalah seseorang yang sudah melewati umur 18. Sementara di Belanda, seorang anak berusia 12 tahun sudah dinilai dewasa. Di Amerika Serikat situasinya berbad., Di negara itu terdapat undang-undang yang beragam, tergantung negara bagiannya, untuk menentukan batasan umur dewasa ini. Beberapa negara bagian di AS, bahkan menetapkan batasan umur 21 tahun untuk dapat disebut dewasa.
Dari sudut kelimuan, yang disebut anak-anak, adalah mereka yang belum memasuki masa pubertas. Ketika masa pubertas tiba, pada wanita dimulai dengan menstruasi pertama dan pada laki-laki dimulai dengan produksi sperma, secara biologis seseorang sudah disebut dewasa. Kedewasaan secara biologis memang berbeda dengan kedewasaan secara emosional. Hukum lebih banyak merupakan kompromi, antara kedewasaan biologi dengan emosional. Faktor-faktor semacam itulah, yang lebih menyulitkan definisi kasus pedophilia. Namun secara umum didefinisikan, kasus pedophilia adalah jika seorang dewasa melakukan hubungan seksual secara paksa dengan anak-anak yang belum mencapai pubertas.
Para peneliti gangguan seksual, sejauh ini belum mengetahui dengan pasti, faktor apa saja yang membuat seseorang menjadi pedophil. Dr. John Bradford, psikiater dari Universitas Ottawa yang sudah 23 tahun meneliti gangguan perilaku ini, memperkirakan, prevalensi penderita pedophilia mencapai sekitar empat persen populasi. Disebutkannya, tidak semua penderita pedophilia melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Akan tetapi, kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak, terutama di negara maju memang tergolong tinggi.
Di awal tahun 90-an, di AS tercatat lebih dari 150.000 kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak. Di akhir tahun 90-an, terlihat penurunan jumlah kasus menjadi tinggal sekitar 93.000 kasus. Walaupun sudah turun sepertiganya dibanding awal tahun 90-an, namun kasus sebanyak itu, tergolong amat mencemaskan. Yang juga amat memprihatinkan, sejauh ini perhatian lebih diarahkan pada upaya merehabilitasi penderita pedophil. Sementara perhatian pada anak-anak korban pelecehan seksual, nyaris tidak terdengar. Padahal rehabilitasi mental anak-anak korban pelecehan seksual, juga tidak kalah pentingnya.
Asosiasi psikolog Amerika Serikat, dalam jurnal ilmiahnya belum lama ini mempublikasikan hasil penelitian ilmiah mengenai korban pelecehan seksual, yang dilakukan sebuah tim yang dipimpin Bruce Rind dari Universitas Temple. Rind melakukan 59 kajian terhadap 35.000 mahasiswa, yang pada waktu anak-anak mengalami kasus pelecehan seksual.
Seluruh kajian menunjukan kesimpulan serupa. Anak-anak yang pernah mengalami pelecehan seksual, lebih mudah mengalami depressi dan perasaan terkucil.
Namun hasil penelitian Rind juga menimbulkan kontroversi di kalangan umum. Sebab ia juga menyimpulkan, sebagian besar korban pelecehan seksual pada waktu anak-anak, tidak menunjukan gejala-gejala gangguan mental berat. Bahkan sekitar 42 persennya, mengatakan pengalaman seksual itu sebagai postiv. Banyak tokoh masyarakat mengecam penelitian Rind sebagai karya ilmiah yang layak dimasukan keranjang sampah, menjijikan dan memandang enteng persoalan. Juga di kalangan para psikolog, hasil penelitian itu dipandang sebagai kontroversi, namun tidak ditolak sepenuhnya.
Berbeda dengan Rind, Dr. Fred Berlin profesor dari universitas John Hopkins, mendirikan Institut untuk meneliti, mencegah dan mengobati trauma seksual. Sejak tahun 1991, Berlin menangani ratusan pasien penderita penyimpangan seksual, pedophilia. Disebutkannya, kondisi para penderita pedophilia mirip dengan penderita kencanduan alkohol. Yakni tidak dapat disembuhkan, akan tetapi dapat dirawat agar gejala penyakitnya tidak bertambah gawat. Para psikolog pendamping, ikut membantu agar para penderita dapat mengubah cara hidupnya, agar tidak terlalu sering bertemu anak-anak.
Dr. Berlin juga memberikan obat-obatan untuk menekan dorongan seksual, kepada sekitar 30 persen pasiennya, yang terbukti tidak berhasil ditangani dengan program terapi tanpa obat. Diakui, kesulitan terbesar menangani penderita penyimpangan perilaku seksual ini, adalah terlalu sedikitnya data mengenai pemicu penyakit pedophilia. Penelitian menunjukan, gejala pedophilia dapat muncul dari gabungan sejumlah faktor baik genetika maupun non-genetika.
Misalnya kerusakan pada otak, kelainan kromosom, masalah psikologi pada saat pubertas atau dapat juga penderita adalah korban tindak pelecehan seksual.
[http://www.dwelle.de/indonesia/teknologi/272956.html]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Penyimpangan seksual Pedhophilia."
Posting Komentar