TAHUN 2003 baru setengah main, tapi sudah tercatat ada 62 orang Jakarta meningal dunia dengan cara membunuh dirinya sendiri. Laporan Kepolisian Daerah Metro Jaya soal bunuh diri ini katanya mengejutkan karena angka 62 itu berarti meningkat tiga kali lipat lebih, dibanding angka bunuh diri 19 korban pada periode yang sama tahun 2002.
Dari semua korban itu, tercatat rentangan umur korban antara 16 tahun hingga 65 tahun. Dari jumlah 62 korban itu, ada 41 korban berkelamin pria. Sisanya sejumlah 21 jiwa atau 33 persen itu kaum wanita. Lelaki dianggap lebih berani bunuh diri, entah itu dengan cara nenggak racun serangga atau ikat leher dengan tali dan gantung dirinya. Dari data kepolisian itu, korban bunuh diri itu berlatar belakang profesi pelajar, karyawan perusahaan, pembantu rumah tangga, buruh, dan kebanyakan pengangguran.
Secara teoretis, seseorang akan membunuh dirinya ketika dirinya berada di dalam kondisi tertekan serta putus asa menghadapi hari depannya. Adapun angka kematian bunuh diri itu, paling banyak terjadi di tingkat usia produktif, yakni antara 25 hingga 50 tahun. Kata penelitinya, korban-korban bunuh diri pada tingkat usia produktif itu, umumnya gara-gara tekanan ekonomi.
Korban itu bikin "stop pinggir" nyawanya, diduga putus asa karena kagak nyambungnya lowongan kerja, atau tercekik kecekakan kantong, ataupun frustrasi karena rezekinya mentok kiri-kanan atas-bawah. Atau pula gara-gara bete dan empet melihat nasibnya begini- begini saja, tidak begitu-begitu. Nah, daripada susah dan nyusahin, korban pun commit suicide alias membunuh dirinya sendiri. Sementara itu, kalau korban masih berusia remaja di bawah 25 tahun, katanya akibat putus cinta dan sekalian ngebales sang kekasih.
DARI perkiraan umum, korban bunuh diri di kota terbesar ini, ya gara-gara tekanan ekonomi. Jadi, yang harus diwaspadai, sebenarnya justru sang penyebab. Mengingat di kota besar itu, hari Selasa (15/7) lalu sudah ada pertanda kalau, warga kota ini sungguh butuh pekerjaan. Begitu ada kesempatan mengisi 3.000 lowongan kerja, seketika itu juga muncul 18.000-an warga pembutuh kerja, ikut antre yang sempat agak kacau. Untung sebagian massa yang beringas itu, masih bisa ditenangkan pihak keamanan yang membantu panitia Pameran Bursa Kerja Career 2003, di Hotel Kartika Chandra.
Entah berapa jumlah sebenarnya, orang yang butuh kerja di kota yang langka lowongan kerja ini. Sebab, menurut catatan sementara, kini jumlah pengangguran ada sekitar 40 juta orang. Dari jumlah banyak itu ada sekitar 9,1 juta orang, betul-betul pengangguran yang modalnya memang cuma nganggur. Angka ini malah diduga akan makin mencuat naik, juga menjadi titik kritis Pemilu 2004 nanti.
Kalau kejadian itu dijadikan patokan, jangan-jangan angka bunuh diri akan meningkat lagi. Sebab, kalau petugas Polri tidak salah mencatat, tingkat pertumbuhan angka bunuh diri yang sudah meroket tiga kali lipat, bisa-bisa bakalan mencelat lebih tinggi lagi. Mengingat kasus "demo" pencari lowongan kerja di Kartika Chandra itu, sungguh di luar dugaan.
Artinya, dari sekitar 18.000 pendaftar itu, akan tersisa sekitar 15.000 orang yang tidak kebagian lowongan.
Angka ini akan bergabung dengan sekian ribu pencari kerja lainnya, serta sekian ribu pengangguran tulen. Mereka itulah warga kota yang selalu berharap serta menanti tibanya lowongan kerja. Mereka itulah penduduk yang ingin mencari nafkah.
Mereka itulah warga yang ingin mengisi peranannya. Mereka itulah pengangguran yang akan saling bersaing dengan sesamanya. Sementara pengelola Kota Metropolitian ini sudah kehabisan akal dan tidak tahu mesti bikin apa lagi.
Lihat saja catatan Polri di ujung 2003 nanti, apakah angka bunuh diri akan menurun atau akan menanjak dan menaik.
Sebab, dibanding dengan catatan angka statistik formal, catatan korban bunuh diri itu lebih tepat dan bisa dipercaya. Sebab, aneh kalau angka bunuh diri itu digelembungkan atau dikempeskan. Sebab, gejala bunuh diri itu serius, seserius korban yang bunuh dirinya sendirian. (BD)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Seriusnya Bunuh Diri"
Posting Komentar