Penulis: Gede Prama
Source: Indonesia Community
Sebagai orang yang pernah lama bekerja di salah satu perusahaan Jepang, dan
berinteraksi intensif dengan sejumlah eksekutif Jepang, apa lagi pernah
bermain golf dengan sejumlah orang Jepang, saya hafal dengan perilaku kerja
orang-orang mata hari terbit ini. Satu hal menonjol yang membedakan mereka
dengan orang lain, adalah kesenangannya menghitung. Jangankan menyangkut
uang, realisasi penjualan atau anggaran, bermain golf-pun mereka menghitung
hampir semuanya secara amat teliti. Di driving range (tempat latihan
memukul bola golf), tidak sedikit di antara mereka yang mempelajari secara
amat teliti beberapa score card terakhir. Dipelajari, diteliti, dianalisis
sehingga sampai pada kesimpulan bahwa aspek inilah yang mesti diperbaiki.
Kemajuan ekonomi bangsa Jepang, memang bisa menjadi bukti efektifitas cara
kerja yang amat berorientasi pada angka ini. Namun, sudah menjadi rahasia
umum, kalau menyangkut hal-hal yang berbau inovasi ke depan, Jepang amat
doyan meniru. Ada memang kasus-kasus inovasi orisinil seperti dilakukan
Sony, namun tetap tidak mudah menghapus citra Jepang secara umum sebagai
tukang contek masa depan. Apa lagi bila kita mencermati cerita-cerita
spionase bisnis Jepang yang pernah beredar di Amerika.
Lain Jepang, lain juga Inggris. Di negerinya ratu Elizabeth ini, fokus pada
menghitung tidak setinggi dan seserius orang Jepang. Pengalaman saya pernah
belajar di sana, dan membawa anak-anak untuk bersekolah juga di sana,
menunjukkan bahwa dalam hal matematika dan statistika mereka ketinggalan
dibandingkan dengan kita. Puteri saya yang duduk di kelas empat SD ketika
itu, enteng dan ringan melenggang dalam mengikuti pelajaran matematika di
sana. Demikian juga pengalaman saya belajar organizational reseach. Namun,
mirip dengan Jepang, Inggrispun melaju dengan ekonominya. Dan bersama
Jepang dan negara maju lain menjadi motor pendorong ekonomi dunia.
Belajar dari sini, wajah sejarah memang tidak pernah tunggal. Argumen bahwa
angka tidak berguna dan bukan angka amat berguna, tentu saja menyesatkan
dalam konteks ini. Justru kekayaan sejarah berdiri di atas hidupnya
dialektika argumen melawan counter argument. Dalam spirit inilah tulisan
ini dibuat.
Dengan seluruh kelebihannya, angka sebenarnya mengandung sejumlah cacat.
Untuk memahami masa lalu saja, sebenarnya angka masih menyandang kelemahan.
Sebab, yang muncul dalam angka adalah sejarah yang sudah diracuni kerangka
penganalisa. Tidak pernah ada angka yang bersih dan murni dari racun
terakhir. Apa lagi menyangkut masa depan. Angka tidak lebih dari sekadar
permainan ramalan yang dibangun di atas asumsi. Begitu asumsinya dirubah,
maka bangunan ramalanpun goyah dan bahkan runtuh.
Dengan tetap meyakini pentingnya angka serta keterbatasannya, saya kerap
menemukan, ada saatnya angka tidak bisa berbicara. Bahkan, tidak jarang
bahkan berfungsi sebagai racunnya fikiran. Disebut racun, karena menjadi
penghambat dan penghalang dari sejumlah keberanian untuk melakukan lompatan
imajinatif. Sebut saja prestasi penjualan lima tahun terakhir yang
berjumlah seratus. Kalau kita mengizinkan kepala dan fikiran diracuni oleh
angka rata-rata ini, apa lagi diperkeruh lagi oleh ramalan-ramalan
pesimistik kaum ekonom dan politisi, maka sehebat-sehebatnya yang namanya
keberanian, tidak banyak gerakan target yang naik dari angka seratus.
Padahal, pengalaman saya sebagai konsultan maupun pembicara publik
bertutur, di tengah badai krisis yang demikian ditakuti banyak orang, tidak
sedikit perusahaan yang prestasinya melampaui batas rasional yang pernah
mereka bayangkan. Tupperware ? sebagai salah satu contoh perusahaan yang
sempat saya masuki ? justru prestasinya mengagumkan tatkala krisis mencapai
titiknya yang amat menakutkan. Kalau saya menggunakan logika jumlah
karyawan sebagai modal keberhasilan, Tupperware keluar jauh dari rel logika
umum. Bayangkan, dengan karyawan jauh di bawah seratus orang, malah
mencapai omset yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan banyak perusahaan
yang karyawannya dua ribu orang. Citibank juga demikian. Ketika industri
perbankan nyaris runtuh, ia malah menjulang. Suatu hari saya diundang untuk
memberikan pencerahan pada country manager sampai dengan vice president
mereka. Ternyata, yang ada di balik prestasi gemilang tadi adalah anak-anak
muda yang belum berumur empat puluh tahun.
Bertolak dari sini, saya tidak sedang menghasut Anda untuk memusuhi angka.
Akan tetapi, akan banyak gunanya kalau sejak awal kita menyadari
keterbatasan angka. Di banyak kesempatan bahkan saya kemukakan, di luar apa
yang bisa dipotret angka, sebenarnya ada unlimitted world. Anda boleh
menyebutnya dengan dunia imajinasi, inovasi dan kreasi. Dan ia lebih mudah
ditemukan melalui penglihatan tanpa pengkerangkaan ala angka. Kalau melihat
? demikian seorang guru pernah memberi saran ? ya lihat saja. Hindari untuk
mengkotak-kotakkannya dengan kerangka apapun, termasuk dengan angka.
Anda boleh mengatakan kegiatan terakhir susah. Bahkan menyebutnya tidak
mungkin. Dan yang membuatnya demikian, karena fikiran sudah lama dibuat
kotor oleh kerangka. Makanya orang-orang seperti Gary Hammel dan Prahalad
sering menyarankan to unlearn. Charles Handy dalam Beyond Certainty bahkan
menyebut angka dengan a way of thinking entirely appropriate for auditors,
but not always best for the leader of growing business. Entah dan
terserahlah bagaimana menurut Anda.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Ketika Angka Tidak Bicara"
Posting Komentar