Akhirnya Boy nongol juga ke rumah Vivi 'n langsung langsung aja diboyong ke ruang belajar Seno, kakaknya Vivi.
"Assalamu'alaikum," sapa Boy.
"Walaikum Salam" Seno langsung nyalamin tangannya Boy.
Nggak banyak omong langsung aja komputer yang lagi ngadat itu dengan pasrah diacak-acak. Dinyalain, diliatin programnya. Setelah dikira-kira bad sector-nya dimana, seketika itu juga komputer yang dengan manisnya duduk di atas meja, dibongkar. Tutup CPU-nya dibuka. Isi perutnya yang mirip perut Robocop diutak-atik.
"Sirkuitnya ada yang longgar," jawab Boy waktu Seno tanya-tanya soal penggusuran eh pembongkaran komputer kesayangannya itu. Bener aja saodara-saodara, nggak sia-sia Boy waktu kecil suka ngrusakin mainan orang, ternyata komputer yang gegar otak itupun dengan lancar mengeluarkan program-programnya.
"Belajar betulin komputer dimana, Boy" tanya Seno sesudah ngeberesin bekas operasi.
"Belajar sendiri aja dari buku" jawab Boy sambil minum sirup. "Ditambah nekat bongkar komputer bokap di rumah" lanjutnya sambil cengengesan Karena udah sore, Boy buru-buru pamitan pulang sama Seno dan tentu juga sama Vivi.
"Pinter juga tuh anak" setelah Boy pulang, Vivi diam aja. "Baik lagi", tambahnya. "Kalau kakaknya?" tanya Vivi iseng.
"Si Erik? baik juga sih, cuman sok kece aja" Komentar Seno sambil ngeliat reaksi adiknya. Vivi cuman manyun.
"Apa si Boy baru aja maen ke rumah elu?" Erik nggak bisa nahan rasa sirik bin kagetnya waktu Seno nelpon ke rumah ngasih tahu kalo Boy baru aja pulang dari rumahnya.
"Tenang aja Rik, Boy kagak ngapa-ngapain, cuman betulin komputer gue doang" kata Seno sambil ketawa ngeledekin Erik. Sukses gue bikin jealous tuh anak!
"Oh, jadi dia nggak coba ngrayu-ngrayu Vivi kan?" Erik masih penasaran. Tawa Seno meledak.
"Mana gue tau? emangnya gue musti ngawasin kemana adik lu pergi?" Erik bersungut-sungut.
"Ok, Rik, sekian aja informasi dari Seno, wassalam, bye" klik, Seno nutup teleponnya meninggalkan Erik yang masih panas ati.
Sialan si Boy, bener-bener kutu busuk alias musuh dalam selimut, beraninya maen belakang.
Bersaing sih boleh aja, cuman jangan maen belakang dong. udah minggu kemaren nggagalin kencan gue ama Vivi, eh sekarang malah ngedeketin Vivi. Memang benar, perlu dikasih pelajaran tuh anak, Erik geram.
Baru saja dia masuk ke kamar, suara kaki Boy kedengaran masuk ke dalam rumah. Erik nggak jadi masuk kamar. Boy ditungguin di depan kamarnya. Boy sempet kaget juga ngeliat kakaknya menghadang di depan pintu kamar.
"Jadi gitu cara elu bersaing maen curang?" Erik emosi. Boy bengong nggak ngerti maksud omongan Erik, tapi otaknya cepet mikir, pasti soal mobil kemaren. Daripada ribut, Boy cuek aja masuk ke dalam kamar. Bruk. pundaknya tubrukan ama pundak Erik. Erik panas ngerasa dicuekin. Pundak adiknya ditarik, tapi tangannya ditepis Boy, dan tiba-tiba sebuah pukulan melayang ke wajah Boy, Duk!
Boy nggak sempat menghindar, badannya terhuyung ke dalam kamar. Tapi sebentar kemudian Boy melayangkan pukulan balasan ke pipi kiri Erik, giliran Erik yang terhuyung sampai terjengkang. Dia merasa ludahnya asin. Makin murka Erik langsung berdiri dan menerjang Boy. Keduanya bergerumul di lantai dan saling baku hantam.
"Berhenti" satu teriakan menghentikan keduanya. Papi sudah berdiri di belakang. Mami sesenggukan di balik punggung Papi. Pelan Erik dan Boy bangkit, pakain keduanya kusut. Darah mengalir dari sudut kiri bibir Erik. Sementara mata Boy lebam.
"Apa-apaan ini? kalian mau saling bunuh, hah?" tanya Papi dengan suara tinggi. Erik dan Boy tidak menjawab. "Sekarang kalian bereskan semuanya dan Papi tunggu satu jam di kamar Papi" Selesai memarahi papi menuju ke ruang tengah sambil menggandeng Mama yang masih sesenggukan. Tapi baru aja papi dan mama berjalan beberapa langkah, tiba-tiba, bruk! Boy ambruk, mama kaget dan menjerit "Boy!!"
Papi dan Mama berdiri di samping ranjang saat Boy membuka mata. Papa dan Mama membawa Boy ke rumah sakit. Kata dokter Boy terkena gegar otak ringan akibat terbentur tembok waktu berantem dengan Erik.
Wajah Papi sudah tidak segarang tadi. Kelihatan lebih tenang, hanya Mamanya yang masih nampak cemas. "Masih sakit, sayang?" tanya Mami penuh perasaan. Boy tidak menjawab. "Pi", kata Boy pelan, Papi mendekatkan telinganya pada Boy. "Boy minta maaf, Pi" pinta Boy pelan. Papi menggelengkan kepala. "Papi sudah maafkan. Papi sudah tahu semua duduk persoalannya. sekarang kamu istirahat saja. Kita bicarakan nanti aja kalau kamu sudah kembali ke rumah" Jawab Papi menenangkan Boy.
Sore itu Erik masih duduk-duduk di teras belakang rumah neneknya. Oleh Papi, Erik dilarang tinggal di rumah selama 2 bulan. Akhirnya dengan sangat terpaksa dia mengungsi ke rumah nenek. Tapi lumayan, dia nggak kesepian, karena mini componya boleh dibawa ke sana. Lamat-lamat lagu Paint My Love-nya Micheal Learns to Rock terdengar di sana. "From my youngest years till the moment here I've never seen such a lovely queen" begitu Erik menirukannnya.
Erik jadi teringat Vivi, sudah 2 minggu dia nggak maen atau nelpon ke rumahnya. Mungkin sudah tahu kejadian yang menimpa Boy, mungkin juga ia sekarang membenci dirinya dan makin simpati ama Boy. Erik menertawakan ketololannya sendiri, kenapa ia begitu emosi pada Boy, ia terbawa emosi setelah diberitahu Seno kakak Vivi, bahwa Boy baru aja ke rumah Seno. Padahal dalam kenyataanya, Boy hanya bentulin komputer, kalaupun pada Vivi, boy sebenarya juga naksir, tapi sebagai seorang muslim yang ngerti halal dan haram, maka Boy nggak melampiaskan rasa tertariknya pada Vivi dengan memacarinya, berbeda dengan Erik, dan belum tentu juga Vivi suka pada Boy ataupun erik.
Karena penasaran, Erik mendekati telepon neneknya. Masih dengan ragu-ragu jarinya menekan tombol telepon. Cukup lama Erik menanti telepon di seberang diangkat. "Hallo?, bisa bicara dengan Vivi?" Erik mulai pembicaraanya. "Saya sendiri, Ini siapa ya?" tanya Vivi di seberang. "Erik, ini Erik" sahut Erik. "Erik?Kak Erik Sugama?" tanya Vivi. "Iya," Erik meyakinkan Vivi, yang diyakinkan malah terdiam. "Eh .. Vi, gue mau minta maaf. Gue lama nggak ngontak en maen lagi ke rumahmu, maklum banyak urusan" Erik mulai
Berdiplomasi. "Eng ..nggak apa-apa, emangnya sekarang ada perlu apa?" tanya Vivi. "Vi.. gimana kalo sabtu sore kita ke Rose Kafe?" Erik harap-harap cemas kalo Vivi menolak ajakannya. "Memangnya ada perlu apa sih?, kalo cuman mau minum kopi kan bisa di rumah Vivi?" tanya Vivi curiga.
"eee..Ada yang penting en kayaknya perlu serius deh. Lagian kan asyik kalau kita sore-sore maen ke sana. Kata anak-anak croissantnya enak lho, eh, kamu nggak lagi diet kan?" Erik mulai mengeluarkan jurus play boy-nya.
"Bukan soal diet sih, cuman penting banget nggak?" vivi masih curiga. "Penting dong" jawab Erik. "Harus?" tanya balik Vivi. "Harus!" kejar Erik. Hening, Erik ikutan diam, menunggu jawaban Vivi. "Ya udah, tunggu ajam empat sore ya?"
Akhirnya pekik Erik dalam hati. Yes you give me a big chance, God. "Ok, jam 4 sore en jangan lupa tunggu disana" sambar Erik cepat, Telepon Vivi ditutup. Klik
Jam 4 sore, Erik sudah duduk di kafe Ros. Kaos hijau Ocean Pacific dipadu dengan jins biru. segelas kopi krim sudah ada diatas meja. Jam 4 lewat lima menit Vivi muncul dari dalam taksi. What a beauty! puji Erik dalam hati. Bener-bener sekuntum bunga mawar merah. Erik melambaikan tangan, saat Vivi mendekati Erik menarik kursi untuk tempat duduk Vivi.
"Mau makan dan minum apa?" tanya Erik setelah Vivi duduk. Yang ditanya sibuk membuka daftar menu. "Pisang bakar keju, sama kopi krim" jawabnya. Pelayan yang berdiri di dekat Vivi segera pergi menyiapkan makanan. "Setengah porsi aja?" pesen Vivi lagi.
"Erik mau bicara apa sama Vivi?" tanya Vivi. Erik terkejut juga, jarang nih cewek berani mulai bicara pikirnya. "Nanti aja deh beres makan" jawab Erik bak gentlemen.
"Begini, Vi" kata Erik lembut, "Sebenarnya dari dulu, sejak pertama kali liat Vivi, Erik langsung suka sama Vivi, jadi Erik mau minta jawaban jujur dari Vivi" Suara lembut Erik terputus. "Mau nggak Vivi jadi pacar Erik?" sambungnya.
Vivi terdiam. Erik membuka lebar-lebar telinganya buat ngedengerin jawaban Vivi. Vivi menggeser tempat duduknya. "Vivi .."suara lembut khas Vivi akirnya keluar, terbata-bata. "Vivi... sebenarnya" Vivi masih ragu untuk ngejawab sementara Erik still waiting dengan cemas.
"Vivi sebenarnya nggak nyangka dan nggak mau kalau hubungan baik Vivi dan Kak Erik ... disalah artikan sebagai pacaran oleh Kak Erik. Sekarang ini ...Vivi nggak mau pacaran dulu. Dengan siapapun..." sambung Vivi pelan dan dengan putus-putus.
"Vivi ... minta maaf ... kalo jawaban Vivi menyinggung perasaan Kak Erik, bagaimana kalo sekarang kita berteman aja?" pintanya polos. Erik terhenyak ke sandaran kursi. Tak disangka ada juga gadis yang menolaknya, dan gadis itu adalah yang setengah mati diinginkannya. Erik terkesima dengan jawaban Vivi. Matanya setengah tak percaya kalau gadis dihadapannya adalah Vivi yang baru aja menolaknya. Ah, semoga kupingnya budeg dan salah denger. But its true!
Vivi jadi serba salah dipandangnya Erik dengan tatapan kosong. Beberapa menit mereka berdua terdiam.
"Vivi .. pamitan dulu, sudah mau maghrib, Mama pasti nyariin Vivi" akhirnya vivi memberanikan diri bicara. Gadis itu bangun sambil menyeka matanya yang basuh dengan sapu tangan merah jambu, berjalan menuju ke kasir, membayar ongkos makan mereka berdua, lalu pergi keluar dengan taksi biru.
Erik masih terduduk di kafe yang mulai rame di kungjungi remaja-remaja yang membawa pasangannya masing-masing. Lagu Ordiniry Love menggema dengan pilu dari sudut kafe. "This is not your ordinary, your ordinary love, I was not prepare enough to fall so deep in love.
Erik termangu sendiri di dalam kafe larut dalam kesedihannya.
Lima tahun kemudian. Boy sibuk menyiapkan kamar kosnya yang bakal dipake tempat pengajian. Hari itu dia harus sudah mulai membimbing adik-adik kelasnya untuk jadi aktivis Islam di kampusnya. Terpaksa kamar yang biasa berantakan dirapikan. Diktat, kertas-kertas, coretan, buku-buku agama disimpan rapi di rak. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sehelai foto yang jatuh dari buku agamanya. Foto dia dengan Erik di Pengandaran, sewaktu liburan SMP. Dia jadi ingat Erik yang hampir lima tahun belum bertemu, semenjak perkelahian itu, Erik diminta agar sekolahnya pindah ke Surabaya, di rumah bibinya. Dan Erik belum pernah bertemu lagi dengan Boy, setiap Boy ke Surabaya, Erik menghindar dengan menginap di rumah temannya.
Begitu pula setiap Erik pulang ke Jakarta, selalu tidur di rumah Nenek. Boy hanya tahu dari mama kalo prestasi sekolah Erik, ancur-ancuran, untungya dia masih bisa kuliah. Terakhir mama cerita kalau Erik bekerja dan akan menikah dengan teman kerjanya. Tak terasa Boy meneteskan air mata mengingat masa-masa mereka yang manis waktu SMP, sampe akhirnya mereka bertemu Vivi. Tapi mereka berpisah bukan karena Vivi, tapi karena kebodohan dirinya dan Erik. Meraka hanya anak-anak SMA yang berandal.
Dug, dug dug, pintu kamar kostnya diketuk dari luar.
"Boy, ada surat nih" teriak teman kosnya, boy menyeka air matanya sebelum membuka pintu. "Jazakallah khairan" katanya sambil buru-buru ngambil surat itu dan cepet nutup pintu takut ketahuan nangis.
Ada dua surat di tangannya. Surat undangan berwarna biru dan merah jambu. Yang pertama dibuka: undangan pernikahan dari Erik. Boy nyaris jejeritan kesenangan, Erik menikah dan mengundangnya, ternyata dia tidak melupakan adiknya.
Giliran surat kedua dibuka, dia menahan nafas membuka surat itu, undangan pernikahan Vivi Erningpraja. Boy tersenyum, tidak lagi panas kepala seperti dulu. Alloh jualah yang menentukan segalanya. Erik dengan gadis lain dan Vivi dengan pria lain. Surat itu disimpannya baik baik. Surat dari orang yang masih dan pernah dicintainya dan ternyata tidak pernah melupakan dirinya. Erik dan Vivi, aku akan datang ke pernikahan kalian, Boy janji pada diri sendiri. Tidak ada lagi dendam, tidak ada lagi cemburu.
Gorden kamarnya dibuka, Boy ingin menatap langit malam itu. Langit masih biru dan malam mulai gelap, tapi semuanya indah dalam pandanganya yang kini semakin dibukakan oleh Allah. (Iwan)
[islamuda.com]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Biru Tuk Langit, Hitam Tuk Malam"
Posting Komentar