POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

DI BAWAH SINAR REMBULAN

Diposting oleh Masakan On 22.58
Oleh : El-Syifa
Blug... blug... blug...!!!
Aris mengangkat punggungnya yang bermandikan keringat. Kaus singlet putihnya yang pudar dimakan usia lekat di kulitnya yang legam terbakar matahari.
Dengan cekatan tangannya memasukkan gumpalan-gumpalan adonan tanah ke cetakan persegi berjajar empat. Meratakannya hingga padat mengisi seluruh ruang, lalu merapikannya dengan bilah kayu. Sesaat kembali terdengar irama khas itu. Tanah bergetar sebentar.
Matahari mulai condong ke barat. Sinarnya yang keemasan menyapu rambatan kacang panjang. Daun-daun singkong yang mulai bertunas bergoyang dipermainkan angin. Jagung-jagung muda menyeruak di ketiak daun, menyelaraskan hamparan padi yang ijo royo-royo. Aris memasukkan sisa tanahnya yang terakhir. Peluh menetes di pelipisnya.
Seteguk air melegakan tenggorokannya. Di hempaskannya pantatnya ke lantai tanah dangau. Buaian angin mengusir titik-titik keringatnya. Dengan puas dipandangnya jerih payahnya seharian yang berderet rapi menutupi pelataran.
"Hoi..., lumayan hari ini, Kang?" teriakan Kang Sobir dari seberang membuat Aris tersenyum makin lebar.
"Yah, ada kalau sekitar lima ratus," sahutnya sambil mengeluarkan slepi-nya. Dari jauh dilihatnya Kang Sobir menyusuri pematang menuju ke arahnya.
Bagaimana kabar Suswati? Berapa bulan kandungannya, kok, sekarang sudah jarang kelihatan turun membantumu?" Tanya Kang Sobir.
"Sudah bulannya, Kang, makanya aku suruh siap-siap saja di rumah. Dan lagi kurang bagus orang hamil tua kerja keras begini."
"Senangnya mendapat anak pertama, Kang."
Mata Aris membulat gemerlap. Anak, siapa yang tidak mendambakannya dalam sebuah keluarga?
Sang surya kian jatuh ke barat. Aris membereskan bekalnya sebelum menutup jajaran batu bata yang baru di cetaknya dengan lembaran plastik. Dipandangnya langit. Cerah tanpa awan. Hujan tidak akan turun meski hanya gerimis sekali pun. Aris tidak perlu khawatir air hujan akan menyapu bersih hasil kerja kerasnya.
Sambil bersiul Aris melangkah pulang. Terbayang istrinya yang tengah hamil tua menyambutnya dengan kehangatan yang tidak pernah bayangkannya akan diperoleh dalam kemelaratan. Serombongan burung gelatik melintas di atas kepalanya. Kemudian hinggap memenuhi dahan pohon lamtoro gung. Aris tak peduli.
***
Suswati mengangkat piring kotor dan gelas bekas makan malam ketika terdengar petir membelah malam yang baru turun. Nyaris saja piring di tangannya terlepas. Aris melompat bangun dari bale-bale. Ia terperanjat, disebutnya asma Allah ketika suara titik-titik hujan menderas di atas atap. Pikirannya menggapai jajaran batu batanya yang hanya dilindungi lembaran plastik. Jika hujan kian deras, apalagi terjadi badai semuanya akan hancur. Batu bata yang susah payah dicetaknya akan meleleh tak berbentuk.
Segera disambarnya senter dan jas hujan tua. Suswati mengiringinya dengan doa dari pintu ketika Aris melangkah menembus kegelapan malam dan hujan yang kian lebat.
Sawah ramai dengan suara-suara manusia yang beradu dengan petir dan gemuruh air hujan. Sorot-sorot lampu senter menyala redup mencoba menembus benteng air. Aris mencoba menyalakan lampu gantung di dangaunya. Sia-sia. Angin bertiup terlalu kencang, menggoyahkan pucuk-pucuk turi dan lamtoro gung.
Sebisa mungkin Aris menyelamatkan sumber kehidupannya. Untuk memasukkannya ke dangau jelas mustahil. Selain belum kering, hujan akan melelehkannya bata-bata itu dalam genggaman tangan sebelum mencapai dangau. Lembaran-lembaran plastik dihamparkannya melebihi jajaran batu batanya. Batang-batang kayu di letakkan pada keempat sisi plastik untuk menahan masuknya air.
Dalam guyuran hujan, Aris menjangkau cangkulnya. Dibuatnya saluran air darurat agar air tidak terkumpul di pelataran dan merendam batu batanya. Sesaat terlintas rasa sayang ketika membayangkan bagaimana ia meratakan pelataran hingga licin di bawah terik matahari. Tetapi cangkul terus terayun. Itulah resiko. Dicobanya membayangkan Suswati dengan anak dalam kandungannya untuk meneguhkan hati. Anak yang akan segera lahir. Amanat dari Allah yang tidak akan ia sia-siakan. Yang akan ia beri penghidupan dan pendidikan yang layak. Aris terus mengayunkan cangkulnya.
***
Dalam perjalanan pulang kaki Aris dengan cermat mencari pijakan yang tepat di antara rimbunan daun singkong dan bayam yang terkadang menjorok ke pematang. Kalen dilompatinya dengan sigap. Ia tidak tega membiarkan Suswati sendirian dalam hujan lebat seperti ini. Biarpun ia tahu perempuan seperti apa yang menjadi teman hidupnya itu, ia tidak akan meningalkannya seorang diri. Suswati perempuan hebat. Perempuan yang memiliki ketabahan luar biasa.
Rasanya baru kemarin Aris merasakan hidup berkecukupan. Demikian juga istrinya. Ia berasal dari keluarga baik-baik yang tidak kekurangan materi sedikit pun. Namun segalanya berakhir ketika Aris memutuskan melamar Suswati yang berjilbab dan merupakan kerabat dekat seorang ulama terkenal pula.
Keluarga Aris tidak mau bermantukan gadis berjilbab, anak dari orang yang paling sering mengingatkan mereka tentang usaha peminjaman uang ilegal ibu Aris. Sementara ayah Suswati pun tidak sudi bermantukan anak rentenir. Hanya karena kuatnya pengaruh paman Suswati yang ulama itu akhirnya ayahnya mau menjadi wali nikah. Tetapi seusai pernikahan mereka berdua terpaksa angkat kaki dari rumah masing-masing dan memulai kehidupan baru yang sangat berbeda.
Aris tidak memiliki bekal pendidikan yang memadai untuk bekerja di kantor kabupaten. Dari kecil ia sudah di-gegadhang akan mewarisi seluruh bisnis keluarga sebagai satu-satunya anak lelaki. Untuk memulai usaha pun sulit karena seluruh modalnya sudah diboikot. Sementara Suswati, meski berasal dari keluarga berada, hanya dididik untuk menjadi ratu rumah tangga.
Lagi-lagi karena kemurahan hati paman Suswatilah mereka mendapat sepetak sawah yang Aris usahakan untuk bermacam keperluan. Menanam padi sebagian dan sebagian lagi untuk membuat batu bata. Pematang ditanaminya dengan aneka macam palawija dan sayur mayur. Semua itu dilakukannya dengan kerja keras sebab ia buta sama sekali dengan masalah pertanian. Beruntung Suswati selalu membantunya. Ia sama sekali tak pernah mengeluh. Semua diterimanya dengan ikhlas.
Aris mempercepat langkah ketika melihat rumahnya ramai oleh kerlip lampu yang timbul tenggelam dalam kegelapan. Apa yang terjadi?
"Istrimu, Kang!" Yu Rodiah, tetangga terdekatnya, berseru ketika melihat kelebat bayangan Aris.
"Ada apa dengan Wati?" Aris menyeruak masuk. "Mau melahirkan?"
"Barangkali iya, makanya tadi saya panggilkan Mbak Sukirah, tapi darahnya terus-terusan keluar. Mbak Sukirah bilang tidak sanggup," Yu Rodiah menjelaskan seraya mengiringi Aris masuk ke kamar istrinya.
Yu Rodiah benar. Di bawah sinar lampu teplok yang berkedip-kedip nampak Suswati terbaring lemah dengan muka pucat pasi. Pendarahan terus terjadi. Di sisi tempat tidur tampak Mbah Sukirah, dukun beranak desa itu, duduk menguatkan hati Suswati.
"Lebih baik memanggil bidan, Nak!" kata Mbah Sukirah setelah Aris masuk, "Atau ke rumah rakit. Saya takut melihat darahnya terus menerus keluar."
Rumah sakit? Aris mengulang kata itu dalam hatinya. Rumah sakit? Selama ini ia berusaha sebisa mungkin agar tetap sehat dan tidak menyentuh tempat itu. Tapi melihat kondisi Suswati tidak ada pilihan lain. Alhamdulillah ia punya sedikit simpanan. Tapi dengan apa membawa Suswati ke rumah sakit kabupaten malam-malam begini? Dalam cuaca yang sangat tidak mendukung pula.
"Becak Kang Diman sepertinya ada di rumah, Kang!” Yu Rodiah membuka jalan.
***
Aris mondar mandir di depan ruang gawat darurat. Hatinya tidak henti-hentinya berdzikir. Sudah hampir satu jam istrinya masuk ruangan itu.
Pintu terbuka. Aris segera menghambur.
"Bayi Bapak kembar, akan tetapi yang satu posisinya sungsang sehingga sulit untuk keluar. Kondisi istri Anda sangat lemah. Karena itu jalan terbaik yang harus ditempuh saat ini adalah melakukan bedah caesar," ucap dokter setengah baya yang nampak kelelahan itu dengan hati-hati. Namun tak urung Aris surut ke belakang.
"Ceasar?" ulangnya lirih.
"Ya, selekasnya."
Aris termangu. Ditolehnya sekeliling. Sepi. Hanya ia dan dokter itu.
"Baiklah, lakukan yang terbaik, dokter," Aris mengucap pelan namun mantap.
***
Suara detak jarum jam menggema dalam kegelapan malam, hujan tinggal satu-satu bahkan bulan mulai muncul dari balik awan. Aris tenggelam dalam sujud panjangnya di musalla rumah sakit yang senyap. Mengadukan semua yang dialaminya pada Rabb-nya.
Satu sentuhan mendarat di pundaknya. Aris menolah. Kang Sobir dan Kang Diman yang tadi sore mengantarkannya ke rumah sakit ini.
"Bagaimana istrimu?" tanya Kang Diman.
"Terpaksa harus di-caesar," jawab Aris pendek.
"Caesar?" Kang Sobir mengerutkan keningnya. "Apa itu?"
"Dioperasi, Kang, dibedah," jelas Aris.
"Separah itu?"
"Allah tentu punya maksud yang tidak kita ketahui, Kang! Tawakal, Kang!" Kang Diman urun suara.
"Terima kasih!"
Bertiga mereka berkerudung sarung di depan kamar operasi. Dingin dinihari menusuk tulang. Hujan telah berhenti sama sekali. Cahaya bulan memantul di genangan-genangan air. Daun-daun berkilau dilapisi kristal sisa hujan. Aris membuka mushaf kecil yang ditemukannya dalam tas pakaian istrinya. Dibacanya perlahan. Lonceng berdentang sekali. Setengah empat pagi. Aris menutup mushafnya sebentar.
"Kang, boleh saya minta tolong?" katanya pada Kang Sobir yang segera mengiyakan, "Tolong kalau nanti siang ada panas plastik penutup batu bata saya dibuka. Saya tidak tahu apa siang nanti bisa pulang."
Kang Diman dan Kang Sobir saling berpandangan. Aris menangkap adegan itu dengan jelas.
"Ada apa, Kang? Kakang keberatan? Sebenarnya saya cuma minta tolong agar dibukakan plastiknya saja, tidak perlu dibalik-balik seperti biasanya. Hanya supaya tidak lembab. Tapi kalau Kakang keberatan...."
"Bukan begitu Kang Aris, dengan sukarela kami pasti melakukannya, bahkan tanpa disuruh. Masalahnya..." Kang Sobir menggantung kalimatnya. Matanya menerawang jauh menembus liku-liku koridor rumah sakit.
"Ada apa?" Aris mengerutkan kening tak mengerti.
"Pohon-pohon turi Kaki Karta tumbang ke pelataranmu, Kang," Kang Diman yang menjawab.
"Oh," hanya itu yang keluar dari bibir Aris. Ia tahu artinya. Semua hasil kerja kerasnya hancur lebur. Uang yang diharapkan bisa ia peroleh untuk membeli kambing aqiqah anaknya tidak akan ia dapatkan. Digenggamnya mushaf di tangannya erat-erat. Tidak, Aris tidak ingin ia berburuk sangka pada Allah.
Pintu ruang operasi terbuka. Nampak Suswati terbaring di bawa perawat. Demikian juga bayinya yang kedua-duanya masih harus dimasukkan inkubator untuk beberapa waktu. Aris masih belum diperbolehkan memegang bayi laki-laki dan perempuan itu. Tapi ia telah memastikan keduanya diazani.
Kehidupan mulai nampak di rumah sakit itu. Beberapa penunggu pasien mulai keluar sambil menenteng termos air. Dapur kafetaria pun mulai mengepul. Bulan masih setia menemani meski nyaris habis.
Aris baru saja selesai shalat ketika mendengar suara salam. Segera ia menoleh ke pintu sambil menjawab. Sesaat ia merasa tak percaya. Ibu dan ayah mertuanya berdiri di sana. Makin terpana ia saat ibu dan ayahnya sendiri menyusul masuk. Hamdallah bersahutan dalam kalbunya. Dan di hadapan semua orang yang mencintainya itu, Suswati perlahan membuka matanya.

0 Response to "DI BAWAH SINAR REMBULAN"

Posting Komentar

    Blog Archive

    About Me