Dia masih bocah, usianya belum genap 14 tahun. Tapi keganasan Yahudi telah menghantarkan jiwanya menemui Rabbnya. Bacah yang selalu mengusung cita-cita tanah airnya ini dibunuh dengan darah dingin oleh pemukim Yahudi. Dia adalah Ala’ Hani.
Tidak seperti biasanya, hari itu Ala’ bangun tidur pagi-pagi sekali. Beberapa saat kemudian dia menemui ibunya dan menciumnya. Kemudian dengan agak tergesa-gesa dia ganti pakaian. Sebelum keluar rumah, dia minta ibunya untuk mendoakannya dan menjaga adik-adiknya yang masih kecil. Dia juga minta kepada ibunya agar menyampaikan salam kepada sang ayah yang telah mendahuluinya pergi berangkat kerja pagi-pagi.
Selepas dzuhur, kerumunan massa telah berkumul di depan rumah keluarganya di desa Bitin sebelah timur kota Ramallah. Mereka memberitahu ibu Ala’ bahwa anaknya terluka dalam aksi demo yang memprotes pembangunan tembok pemisah rasial yang dibangun Israel di atas tanah warga Palestina di kawasan tersebut. Namun diluar dugaan, sang ibu justru menjawab, “Ala’ tidak terluka, saya yakin dia telah gugur syahid…”
Hari itu, setelah keluar dari pintu sekolah di mana dia belajar, Ala’ bertemu dengan sekelompok pemuda Palestina di antaranya mereka ada teman-teman sekolahnya. Mereka bertolak ikut demonstrasi menentang pembangunan tembok pemisah rasial yang menggusur tanah desa mereka, tidak terkecuali tanah keluarga Hani, yang telah diduduki penjajah Zionis Israel secara total.
Sejak kecil, menurut anak pamannya, Ala’ yang duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama, ini sering ikut berbagai kegiatan nasonal di kotanya. Dia memiliki semangat revolusi yang tinggi. Memiliki kepribadian yang kuat dan pemberani. Sampai-sampai seorang gugur yang hadir dalam ta’ziah menyampaikan sambutan, sungguh Ala’ lebih tua dari usia yang sebenarnya. Dia bisa memikirkan berbagai persoalan yang tidak pernah terpikirkan oleh orang dewasa sekalipun.
Khaled, salah seorang teman dan sepupu Ala’ mengungkapkan kata-kata yang mungkin sulit untuk dipercaya. Khaled mengatakan, “Tak seorang pun dari keluarga yang percaya bahwa kami tidak akan melihat Ala’ sekali lagi. Dia adalah bocah yang dicintai oleh semua keluarga. Sekiranya tidak demikian, pastilah dia tidak mendapatkan syahadah (mati syahid)…Dia kini telah di syurga dan Allah akan meneguhkan kesabaran kami serta mengantikannya dengan yang lebih baik, insya Allah.”
Kisah kesyahidan Ala’ bemula dari aksi demo hari itu. Menurut Khaled, saat tengah berlangsung aksi demo secara damai untuk menentang pendirian tembok pemisah rasial Israel, kewat seorang pemukim Yahudi dengan mengendarai mobil dan langsung melancarkan serangan tembakan secara tiba-tiba kepada para demonstran.
Akibat aksi brutal teroris Yahudi ini, seorang perserta demo bernama Ahmad terluka. Melihat hal itu, Ala’ langsung menolong rekannya itu. Namun tiba-tiba teroris Yahudi tadi kembali melancarkan serangan tembakan secara sengaja dan mengenai Ala’ yang syahid seketika itu juga, karena timah panas mengenai bagian tubuh yang mematikan. “Saya tidak tahu, bahaya apa yang bisa diciptakan oleh bocah semacam Ala’ terhadap keselamatan teroris Yahudi yang melengkapi dirinya dengan senjata pembunuh modern sementara dia sendiri di dalam mobil?!!”
Ala’ tinggal dalam keluarga yang terdiri dari 4 orang anak dan dua orang tua. Dia sendiri adalah anak tertua. Khaled mengatakan, “Setelah ditinggal Ala’, keluarganya hidup dalam Susana susah, ibunya mengalami shack dan tidak bisa berbicara dengan siapapun.”
Mengenai kalimat terakhir yang diucapkan putranya, Ummu Ala’ menuturkan bahwa setelah memakai pakain baru dan bersiap-siap, berbeda dengan biasanya, kemudian menciumnya. Saat itu Ummu Ala’ sempat bertanya kepada putranya, “Kenapa engkau melakukan itu? Ala’ menjawab, “Semua orang harus mencium ibunya di pagi hari, dan harus bersyukur kepada Allah kerena telah diberi seorang ibu…” Setelah itu, ungkap Ummu Ala’, putranya berpamitan pergi ke sekolah dan minta didoakan untuknya.
Impian terbesar bagi Ala’ adalah bagaimana membebaskan tanahnya yang dirampas pasukan penjajah Zionis Israel untuk mendirikan tembok pemisah rasial. Khaled mengatakan, “Dia selalu memimpikan tanahnya kemabli. Pada suatu kesempatan, kala itu musim petik buah zaitun, pagi-pagi dia berkata kepada ibunya dengan keras, kita dilarang punya zaitun sebagaimana yang dimiliki semua makhluk dan manusia. Alangkah buruknya selama saya masih hidup kondisinya seperti ini.”
Untuk itulah, setiap ada kesempatan demonstrasi yang dilakukan secara berkala di kotanya, Ala’ tidak pernah melewatkan kesempatan itu, guna memprotes pembangunan tembok pemisah rasial yang melibas lebih dari sepertiga tanah pertanian di desanya, Bitin, termasuk tanah keluarganya sendiri.
Akibat aktivitas pembangunan tembok pemisah rasial di timur kota Ramallah, Tepi Barat, ini sejumlah rumah warga terisolasi dari kota. Para pendudukanya dilarang mengunjungi kerabat mereka yang jaraknya beberapa meter saja, itu karena adanya tembok yang memisahkan bagian-bagian kota secara total.
Menurut Khaled, hal yang sangat menyakitkan bagi Ala’ adalah manakala dia tidak bisa mengunjungi sepupunya yang terisolasi di balik tembok rasial ini, yang belakangan ini hidup dalam tekanan yang luar biasa karena kondisi umum yang ada saat itu. Ala’ adalah seorang bocah yang memiliki empati tinggi dan tidak bisa menahan kedzaliman, meski itu dari orang-orang terdekatnya, terlebih bila kedzaliman itu dari orang-orang yang melibas tanah dan impianya…? (seto)
\
Motor Penggerak Utama Intifadhah di Pinggiran Nablus
Mulia di atas kursi syahadah, atau tidak sama sekali. Begitulah hikayat para pejuang generasi awal al Qassam mengukir sejarah. Mereka melindungi tanah air dan berjuang demi kemuliaan serta kehormatan umat dan karismanya. Dan di daerah Selfit, yang dikenal telah banyak menumbuhkan para pejuang besar al Qassam, ada hikayat baru yang diriwayatkan semua perindu hikayat cinta dan pengembaraan antara bumi dan langit. Di desa Deir Esteya, kafilah-kafilah syuhada’ berlomba menggiring konvoi yang diusung satu syahid ke syahid lainya. Salah satu dari mereka adalah pejuang al Qassam Eyad al Khateb.
Nama lengkap pejuang al Qassam ini adalah Eyad Audah Mahmud al Khateb, atau lebih dikenal dengan Abu Mush’ab. Dia lahir di daerah Deir Esteya, pinggiran kota Selfit, tepatnya pada tanggal 2 Maret 1973. Seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah dia lakoni di sekolah-sekolah yang ada di daerah Deir Esteya. Langkah pertamanya telah membawanya ke masjid di daerahnya. Di sana dia menimbah berbagai ilmu agama dari para guru yang ada. Tidak menunggu lama, semua ilmu yang didapatnya langsung dia transfer ke rekan-rekan sebayanya. Dia bentuk halaqah ta’lim dan Qur’an. Ijazah SMU dia dapat saat menjadi buron pihak penjajah Zionis Israel. Tahun 1999, pejuang kita ini menikah dengan gadis yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya, namun Allah belum mengizinkan memiliki anak.
Saat meletus intifadhah pertama tahun 1987 dan berdirinya embrio Gerakan Perlawanan Islam HAMAS pada 14 Desember 1987, dia termasuk motor penggerak pertama yang menyulut gerakan intifadhah di daerahnya. Bersama sejumlah rekanya, dia mendirikan embrio pertama bagi HAMAS di daerahanya, yang kemudian bergerak mengusung aksi-aksi intifadhah yang terfokus pada aksi pelemparan dengan menggunakan bom molotof.
Sebagai upaya untuk kelangsungan nasib perlawanan, maka dia bagi waktunya antara memberikan tarbiyah (pembinaan) terhadap para pemuda di daerahnya seraya tetap melakukan aktivitas perlawanan. Hanya saja pasukan penjajah Zionis Israel dan para antek-ateknya tidak memberikan banyak kesempatan kepadanya. Pada tahun 1988 dia ditangkap bersama 2 orang rekannya yang kemudian dijatuhi hukuman penjara 5 tahun, atas tuduhan mendirikan sel militer. Setelah masa tahanannya habis, pada tahun 1994 Eyad dibebaskan dari penjara Zionis Israel.
Pada tahun pembebasannya itu pula, dia langsung kembali ke tempat yang tidak bisa dia tinggalkan, jihad. Di sana (di daerah Selfit) sel-sel militer Brigade al Qassam telah terdistribusi menyebar menyeluruh secara geografis dengan infrastruktur yang tetap. Dia pun langsung bergabung dalam kerja militer bersama al Qassam, setelah mengontak langsung pemimpinnya di Tepi Barat kala itu, yang tidak lain adalah Sang Muhanndis Yahya Ayyasy. Tugas yang harus dia emban adalah memberikan suplai logistic kepada Sang Muhdandis dan pembantunya, as Syahid Ali Ashi. Dia pula yang mencarikan tempat perlindungan kepada keduanya dan menjamin keamanannya.
Eyad bukanlah satu-satunya orang dari keluarganya yang mempersembahkan dirnya untuk jihad dan perlawanan. Adik kandungnya, Rami adalah termasuk mujahid yang sangat menonjol di daerahnya. Rami ditangkap pihak penjajah pada intifadhah pertama dan dihukum penjara 3 tahun atas tuduhan ikut serta dalam aksi-aksi intifadhah.
Pada tahun 1994, pihak penjajah Zionis Israel kembali menangkap Eyad atas tuduhan berafiliasi dan bekerja di barisan Brigade al Qassam. Akibatnya pejuang Palestina ini dihukum satu setengah tahun penjara. Setelah habis masa tahananya, dia dibebaskan pada tahun 1996. Begitu bebas dia kembali melakukan aktivitas militer dan pada tahun yang sama dia kembali ditangkap dan dihukum 3 bulan kurungan.
Setelah kondisi dan situasi Palestina mulai mereda, saat itu pemerintah Palestina sesuai kesepakatan Oslo menerima penyerahan beberapa wilayah Palestina dari Israel termasuk daerah Selfit, dia kembali ke daerahnya dan bekerja sebagai penjaga air dan jaringan listrik sampai akhirnya menikah pada tahun 1999.
Setelah PM Israel Ariel Sharon melakukan penodaan terhadap masjid al Aqsha dan meletus intifadhah kedua (September 2000), Eyad al Khateb “Abu Mush’ab” kembali mengambil kendali perlawanan di daerahnya. Dia menjadi motor penggerak pertama perlawanan di daerahnya. Untuk itulah, setelah menyebar mata-mata dan melakukan pengawasan atas gerak-geriknya dan berusaha menangkapnya, pihak militer penjajah Zionis Israel berkali-kali menyerbu rumahnya. Namun Allah swt masih melindunginya, dia selalu lolos dan keluar dari daerah tersebut sebelum pihak militer melakukan penyerbuan. Berkali-kali pihak penjajah Zionis Israel mengalami kegagalan dalam upaya menangkap dirinya. Karena geram, mereka bongkar kebun zaitun milik keluarganya guna menekan Eyad agar menyerahkan diri. Eyad pun masuk dalam daftar orang penting yang menjadi buron dan target pihak militer Zionis Israel sejak meletus intifadhah al Aqsha hingga menemui syahadah (mati syahid).
Hari itu matahari tengah bersembunyi dalam dekapan malam. Mujahid al Qassam Eyad Audah Mahmud al Khateb datang dari daerah Deir Esteya di pinggiran kota Selfit. Dia tengah bersiap memimpin sel al Qassam yang dibentuknya bersama dua tokoh al Qassam lainnya Jamal Maluh dan Ali Abu Hijla, guna melakukan aksi penghadangan jeep-jeep Zionis Israel di dekat kota Tel, sebelah barat kota Nablus. Ketiga mujahid ini segera mempersenjatai dirinya dengan iman kemudian bertolak meninggalkan desa setelah menunaikan shalat subuh. Lengkap dengan senjata M16, Klasnikof dan senapan laras panjang mereka berkonsentrasi di balik semak-semak dekat desa Tel menunggi isyarat dari sang komandan Eyad untuk melakukan aksi mereka. Setelah beberapa hari sebelumnya melakukan pengawasan terhadap lokasi-lokasi yang menjadi pusat pergerakan jeep-jeep Zionis Israel di kawasan. Tepat pada pukul 12.00 dzuhur, Eyad melihat jam tangannya dan berbisik kepada rekannya untuk bersiap-siap karena saat lewat jeep militer Zionis Israel telah dekat. Beberapa menit kemudian rombongan jeep militer Israel datang dari kejahuhan, para pejuang al Qassam ini segera mempersiapkan senjata mereka untuk jibaku mati dengan pasukan Zionis Israel. Begitu jeep-jeep militer Zionis Israel semakin dekat, Eyad langsung memberi isyarat untuk mulai aksi penyergapan. Bagaikan elang, ketiganya langsung menghambur dengan teriakan takbir “Allahu Akbar…..!!!” dan langsung menghujani rombongan pasukan Zionis Israel dari jarak dekat. Teriakan kepanikan dan ketakutan para serdadu Zionis Israel bersahutan dengan rentetan misiu yang diberondongkan ketiga pejuang al Qassam ini.
Peristiwa ini memancing pasukan Zionis Israel yang bermarkas di perlawanan Yahudi dekat lokasi serangan yang disusul dengan datangnya pasukan tambahan untuk membantu pasukan yang tengah kerepotan menghadapi sergapan ketiga pejuang al Qassam ini. Sebelum mereka sampai ke lokasi, ketiga pejuang al Qassam ini berhasil membunuh komandan Israel dan melukai 3 serdadu lainnya. Dengan segera, Eyad memberi isyarat kepada rekannya untuk meninggalkan lokasi.
Namun tiba-tiba suara deru pesawat Zionis Israel telah memenuhi sekitar lokasi kejadian, sementara puluhan pasukan Zionis Israel telah mengepung kawasan. Suara dari pesawat meminta mereka berhenti dan menyerahkan diri. Ketiganya tetap berusaha meloloskan diri dari lokasi, namun banyaknya pasukan yang mengepung lokasi, akibat habisnya misiu yang mereka miliki dan luka yang mereka derita akhirnya memaksa mereka menjadi tawanan pihak militer Zionis Israel.
Namun apa lacur, setelah pihak militer Zionis Israel mengetahui ketiga pejuang al Qassam ini telah menghabisi nyawa komandan pasukan maka puluhan dari mereka berkumpul di sekitar ketiganya dan langsung melancarkan tembakan dari jarak dekat hingga ketiganya menemui syahadah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Bocah yang Mengusung Cita-cita Tanah Airnya"
Posting Komentar