Azimah Rahayu
"Kakak, tembaaak !!!", Rizal --yang biasa dipanggil Abang-- mengacungkan selang ke arah Kakak--panggilan kesayangan Rida, adiknya--. Ujung telunjuk kanannya memencet lubang selang, sehingga air memancar deras.
"Nggak kena nggak kena!" Kakak lari menghindar sambil menjinjing roknya. Abang ganti mengarahkan selang pada Ibam-- panggilan cekak Ibrahim-- yang sedang lengah. "Kena kau ! Ha ha ha!!"
"Yee, Abang culang Abang culang", Ibam yang sedang menunduk mencidukkan gayung ke ember besar berteriak kesal. Spontan diguyurkannya segayung penuh air itu ke arah abang. Abang yang tidak siap megap-megap. Kakak lari mendekat meraih gayung yang lain dan mengguyur abang juga.
"Hlp abang nyerah, hlp, abang nyerah kalah!" tangan Abang berserabutan mengusap mukanya.
Kakak dan Ibam berlari ke arah dapur menjauhi Abang, takut Abang pura-pura menyerah dan ketika lengah menyerang lagi. Bahu mereka berguncang karena tertawa geli. Air berceceran dari baju mereka yang basah kuyup, membasahi seluruh lantai dapur.
"Abang, Kakak, Ibam?! Ayo mandi yang bener, jangan main air terus! Sudah setengah jam kalian main air, khan?" Mbak Mi, pengasuh mereka yang baru muncul dari ruang tengah berteriak kesal. Tangannya di pinggang, mulutnya mengerucut. "Sebentar lagi ibu dan ayah pulang. Nanti Mbak bilangin lho".
Mereka bergegas ke kamar mandi lagi, masing-masing sibuk dengan gayung seakan-akan hendak segera mengakhiri acara mandi mereka.
Mbak Mi mengawasi mereka beberapa lama, sebelum terdengar suaranya, "Mbak mau ke warung sebentar. Saat Mbak pulang, kalian sudah harus selesai mandi!"
"Iya, Mbak!" Abang, Kakak, dan Ibam menjawab serempak. Tapi begitu mbak Mi menghilang, Abang berbisik, "Eh, bantuin Abang bentar, yuk? Tadi sepeda abang masuk ke lumpur". Kakak dan Ibam berpandangan, kemudian lari menyusul Abang yang sudah berjalan lebih dulu ke halaman samping, tempat dia menaruh sepedanya yang berbalut lumpur.
Mandi -dan main air- adalah permainan yang paling mengasyikkan menurut tiga bersaudara Abang, Kakak dan Ibam. Hampir tiap mandi sore (penginnya sih mandi pagi juga, cuma tidak bisa karena kalau pagi mereka dimandikan ibu) mereka melewatkan acara mandi dengan main semburan air dan saling mengguyur.
Acara permainan ini sudah mereka sukai sejak Abang duduk di TK nol kecil dan Kakak serta Ibam belum sekolah. Hingga sekarang. Abang sudah kelas dua SD, Kakak kelas TK Nol besar dan Ibam kadang-kadang pergi ke play group. Dulu Ibu membiarkan mereka melakukan itu sebagai bagian dari ritual mandi sore mereka.Tapi sekarang? Ibu sering mengomel panjang lebar jika mereka main air tiap sore karena pasti air yang digunakan banyak dan membasahi semua tempat. Boros, mubazir katanya. Maklum rumah mereka menggunakan air dari PDAM Jaya. Kata Ibu lagi, sekarang tarif air PAM juga naik seperti listrik, jadi mereka harus berhemat. Ibu juga mengatakan kalau banyak anak di Jakarta tidak bisa mandi dengan air bersih dan sebebas mereka. Anak-anak itu terpaksa harus mandi di sungai yang kotor, atau mandi sekali sehari atau harus ngantri di kamar mandi umum. Tapi Abang tidak terlalu peduli, karena selain menyenangkan, toh air di rumah mereka selalu melimpah. Kakak dan adik setuju. Mereka tidak pernah kekurangan air.
"Abang, Kakak, Ibam .masya Alloh? Masih belum selesai juga mandinya? Ya ampun, malah bikin kotor di mana-mana lagi," Mbak Mi tiba-tiba sudah berdiri dibelakang mereka tanpa mereka ketahui. Matanya mendelik, tangannya sudah siap terulur ke lengan Kakak dan abang. Sebelum tangan itu sempat meraih lengannya, Abang melesat ke belakang diikuti Kakak dan Ibam. Mereka berebutan mencidukkan gayung ke bak mandi, ketika azan terdengar sayup-sayup berkumandang. Sebentar lagi Ibu datang.
***
Hari ini Bunda pergi lagi sampai sore. Mbak Mi pulang kampung tadi pagi karena katanya kakaknya akan menikah besok. Ia bakalan berada di sana sekitar lima hari. Rumah sepi saat mereka pulang dari rumah Fikri, teman sekolah Abang yang mempunyai banyak buku bagus. Sambil mengipas-ngipaskan tangan ke wajahnya yang bersimbah keringat, Abang menyalakan kipas angin. Kakak dan Ibam menelentangkan badan di ubin. Udara terasa amat gerah. Jam dinding berdentang tiga kali.
Tiba-tiba Kakak melompat bangun. "Mandi, yuk!" ujarnya sambil menatap penuh arti pada Abang dan Ibam. Abang dan Ibam hanya balas menatap dengan mata berbinar. Cukup sebagai tanda persetujuan. Kurang dari semenit kemudian mereka sudah di tempat jemuran sebelah kamar mandi di halaman samping, memasang selang pada kran yang biasa digunakan Mbak Mi saat mencuci. Mereka menghidupkan keran, tapi O,o . Airnya kecil!
"Kok ailnya kecil?" gumam Ibam.
"Ah, dikecilin sama Bunda kali? Bunda pasti khawatir kita main air lagi. Yuk kita gedein?" Abang, yang pernah melihat Mbak Mi mengecilkan aliran air di meteran, menuju ke depan, ke meteran PAM di halaman. Diputarnya penunjuk aliran, tapi ternyata sudah tak bisa, sudah maksimal.
"Ah, nanti juga gedhe lagi, kita pake air di bak aja ", usul Kakak. Maka mereka pun bermain seperti biasanya, saling menyiram dan mengguyur, juga menyemprotkan air kemana-mana. Kran ke bak mandi tak mengalir, satu-satunya yang mengalir adalah yang di tempat mencuci, itupun kecil. Tapi itu bukan masalah. Selang mereka pasang di kran untuk mencuci, sedang gayung mereka pakai untuk menciduk air dari bak. Mereka baru menyudahi acara mandi ketika air di bak sudah tidak bisa diciduk lagi dan badan mereka gemetar kedinginan.
***
Sampai ibu pulang, air tetap mengalir kecil. Ibu marah saat menemukan bak mandi kosong. "Kalian main air lagi, ya? Nach, kalau airnya mati begini, kita jadi repot khan?". Ibu terpaksa memasang ember di keran cucian dan mengangkutnya ke bak mandi yang hampir kosong. Abang hanya menunduk. Merasa bersalah. Ketika diliriknya Kakak dan Ibam, mereka juga diam saja.
Sore itu liputan enam SCTV menayangkan berita tanggul PDAM di Kalimalang jebol, sehingga pihak PDAM menggilir aliran air PAM ke pelanggan. Abang yang sedang makan sambil nonton berpandangan. Spontan Abang berteriak, memanggil Ayah yang sedang makan di ruang makan.
"Ada apa?" Ayah tergesa masuk ke ruang keluarga. Matanya langsung tertuju pada layar kaca mengikuti telunjuk Abang.
Pihak PDAM Jaya masih belum bisa memastikan kapan air akan mengalir normal kembali. Diperlukan waktu sekitar satu minggu untuk memperbaiki tanggul yang jebol. Demikian penyiar membacakan berita.
Ayah langsung memanggil ibu, kakak dan adik.
'Nah, anak-anak! Seperti tadi diberitakan oleh televisi mulai hari ini pihak PDAM akan menggilir aliran air. Jadi kita harus menghemat air, tidak boleh ada yang main air lagi. Karena mbak Mi tidak ada, kalian mulai besok harus membantu mengangkat air dari kran cucian ke bak mandi dan mengisi ember-ember lain untuk tempat menampung air. Mengerti?"
Besok paginya mereka mandi dijatah. Satu orang satu ember yang biasa dipakai mencuci. Ibu membeli air untuk memasak. Pulang sekolah, mereka tidak boleh pergi bermain ke rumah Fikri seperti biasanya. Abang menahan kesal. Tadi di sekolah, Fikri bercerita dia punya buku Harry Potter baru. Terlebih lagi, dia harus mengangkat air lebih banyak daripada kakak dan Ibam. Kata Ibu karena dia sudah besar dan anak laki-laki. Sore harinya, air malah tidak mengalir sama sekali. Ibu mengurangi jatah mandi mereka menjadi satu ember tanggung yang biasa dipakai Mbak Mi mengangkut air ke dapur. Malamnya, Abang merasa bahunya pegal-pegal.
Sampai keesokan paginya, air masih belum mengalir juga. Ibu menyuruh abang dan Kakak berangkat pagi-pagi ke sekolah dan mandi di sekolah. Sekolah memang menggunakan pompa listrik, jadi tidak kena masalah mati air.
"Ini, baju ganti kalian sudah Ibu siapkan," kata Ibu sambil menyerahkan bungkusan plastik. "Air yang masih ada untuk persediaan sampai sore nanti," lanjut Ibu ketika Abang dan kakak menunjukkan ekspresi ogah-ogahan.
****
Saat makan malam, Kakak bercerita kalau di sekolah tadi mereka harus antri mandi. Teman-teman juga banyak yang air di rumahnya mati.
"Ternyata kalau air mati, kita jadi repot sekali ya, Bu?" Abang yang dari tadi diam menyambung.
Ibu tersenyum sambil mengambilkan ayah nasi. "Nah, sekarang terasa 'kan, betapa pentingnya air? Karena itu mulai sekarang, kalian tidak boleh main air lagi. Gunakan air secukupnya." "Kalau mau main air, nanti sebulan sekali ayah ajak kalian ke gelanggang renang," Ayah menawarkan.
"Betul, Yah?" kakak berteriak gembira.
"Ibam juga ikut ya, Ayah?" Ibam menyahut sambil mulutnya berdecap-decap mengunyah nasi yang disuapkan ibu.
"Besok kita masih harus mandi di sekolah, Bu?" Abang memandang Ibu.
"Iya!"
"Sampai kapan?"
"Ya sampai air sudah mengalir lagi!" ujar Ibu tegas.
Abang dan Kakak tak membantah lagi. Mereka meninggalkan meja makan dengan kening berkerut dan mulut mengerucut. Membayangkan besok harus antri mandi lagi di sekolah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "MATI AIR"
Posting Komentar