KotaSantri.com : "Tit..tit..tit . Tit..tit..tit .", suara alarm HP membangunkanku dari tidur. Dengan sedikit bermalasan kuturuni ranjang agar dapat menjangkau dan mematikannya. Tidak lama berselang, dari arah mesjid disamping rumah terdengar suara azan subuh dikumandangkan.
" Bangun sayang, udah subuh", ucapku sambil membelai lembut kepala isteriku. Beberapa bulan terkahir memang ia dapat terlelap dengan pulas dan tidak terganggu suara-suara disekitarnya. Barangkali pengaruh kondisinya yang tengah hamil muda membuat perubahan sedemikian pada kondisi tidurnya. Ini berbeda sewaktu kami baru merid dulu, langkah petugas ronda diujung gang saja, mampu membuatnya terjaga.
Beriringan langkah kami menuju kamar mandi untuk berwudlu. Selesai shalat subuh berjamaah, seperti kebiasaanku sebelumnya, kembali menuju ranjang untuk melanjutkan tidur yang menggantung.
Sementara Irma, isteriku memulai harinya dengan menuju dapur untuk mempersiapkan sarapan bagi aku dan empat anak kost kami.
"Ingat Bang, nanti temani Irma ke Puskemas", ujarnya sambil berlalu.
"He..eh", jawabku perlahan melawan rasa kantuk yang kembali datang.
"Bang, bangun bang, sarapannya udah siap," kembali Irma mengejutkan tidurku.
"Udah jam berapa sayang?"
"Setengah delapan, Bang"
"Jadi ke Puskesmas?"
"Ya.. terserah abang,"
"Lho kok terserah abang?"
Iya dong, kalau abang mau menemani, ya jadi, kalau nggak ya tidak" sensitifitas isteriku kembali muncul, ini juga dampak dari kehamilannya.
"OK, sayang, abang mandi dulu trus sayang nyiapin sarapan dan pakaian abang, ya" jawabku sambil berlalu menuju kamar mandi.
Bersisian kami menelusuri gang kecil menuju Puskesmas. Jam-jam begini, gang sudah di ramaikan oleh anak-anak yang akan berangkat kesekolah, pedagagang kios menuju pasar untuk membeli dagangan, maupun bapak-bapak yang bersiap menuju kantor. Diujung gang terlihat anak empat tahunan bertelanjang keluar dari rumah petak orang tuanya. Sambil menangis si bocah melepas ayahnya yang akan berangkat kerja. Tak jelas penyebabnya, apakah si anak belum dikasih jajan, belum mandi atau belum dibuatkan sarapan oleh ibunya.
Sementara di rumah putih milik Pak Haji Idrus juragan angkot, terlihat beberapa sopir angkotnya mulai memanaskan mesin sebelum narik. Disamping rumah Haji Idrus, Pak Eko masih berkutat dengan tanaman hias di pot teras rumahnya. Memang, semenjak memasuki masa pensiun enam bulan terakhir Pak Eko memiliki banyak waktu untuk meneruskan hobinya dalam perawatan beragam tanaman hias.
Sapaan dan senyuman kecil sebagai tetangga kami berikan bagi mereka. Meskipun baru delapan bulan aku menempati rumah kontrakan di lingkungan ini, namun sudah agak banyak tetangga yang aku kenal. Barangkali ini hikmah sampingan dari kebiasaanku untuk selalu menyempatkan diri memenuhi undangan kenduri, pesta, maupun ronda dan gotong royong. Disamping aktifitas Irma di pengajian ibu-ibu RW.
Tanpa terasa langkah kami telah sampai di gerbang Puskemas. Terlihat belum ada aktifitas di lembaga kesehatan pemerintah tingkat kecamatan ini. Meski Puskesmas telah cukup ramai oleh masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan, maupun pedagang kue keliling dan penjual mainan anak-anak.Sementara petugas yang aku tahu persis digaji dari uang masyarakat, baru terlihat dua orang, meskipun jarum pendek jam di dinding ruangan bercat putih itu sudah berada mendekati angka sembilan.
Melihat situasi yang terus terang masih asing bagi kami, akhirnya kami berdua mencari tempat duduk. Kursi kayu putih yang dari posisi letaknya dapat diperkirakan bahwa disinilah tempat pengunjung menunggu untuk antri menjelang dipanggil. Disebelah kami, seorang ibu sekitar lima puluhan duduk dengan gelisah. Sesekali si ibu berdiri dan melihat kearah gerbang. Barangkali ibu ini telah cukup lama menunggu disini. Memperhatikan hal ini, naluri aktifisku semasa kuliah dulu terpancing untuk mengetahui lebih jauh.
"Sudah lama, Bu?", tanyaku memulai
"Dari jam setengah delapan tadi" si ibu menjawab sedikit acuh
"Nampaknya ibu gelisah sekali, ada apa bu?" pancingku berikutnya.
"Ini nak ,cucu ibu yang nomor dua. Semalam diamuk massa. Dia dituduh mencuri kerbau, padahal ia baru saja diwisuda minggu lalu, dan semenjak kelas lima SD kami tak pernah bertemu, jadi ia ingin menjenguk ibu," si ibu menjelaskan secara lengkap.
"Trus, cucu ibu itu sekarang dimana?"
"Dia masih dirumah, desa kami belum bisa dimasuki kendaraan roda empat, jadi sehabis subuh tadi ibu langsung kesini buat meminta dokter atau bidan memeriksanya"
"Biasanya mereka mau, bu?"
"Untuk penyakit yang berat, ya mau, tapi mesti nambah uang kunjungan"
"Oh begitu!" hanya kalimat itu yang dapat kuucapkan.
Tanpa terasa waktu telah pukul 09.23 WIB. Petugas yang semestinya sudah mulai bertugas baru datang sekitar tiga orang. Pada papan pengumuman didinding jelas tertera waktu layanan Puskesmas dari pukul 08.00 \endash 14.00. Menghadapi keadaan begini, kulangkahkan kakiku menuju salah seorang yang dari pakaiannya kutebak ia petugas Puskesmas ini.
"Maaf, mbak petugas disini?" tanyaku membuka pembicaraan
"Iya, benar pak" jawabnya setengah hati.
"Loketnya belum buka mbak?" tanyaku langsung kepokok permasalahan.
"Belum, Pak" jawabnya masih seperti tadi.
"Kok belum?"
"Kunci dibawa kepala Puskesmas dan beliau belum datang"
"Setiap hari begini, Ya?"
"Cuma tiga kali seminggu"
"Biasanya kepala Puskesmas datang jam berapa?"
"Paling lambat jam sepuluh"
Sementara di gerbang Puskemas, masuk mobil putih bertuliskan Puskesmas keliling dan kode-kode yang menyatakan bahwa kendaraan itu, bantuan asing.
"Permisi pak, itu dokter kepala Puskesmas sudah datang" si Mbak petugas Puskesmas mohon diri.
Kedatangan mobil putih tadi, merubah situasi Puskemas. Petugas yang tadi hanya terlihat dua orang satu persatu berdatangan. Dari warung lontong disebelah kiri Puskesmas ini keluar tiga orang berpakaian seperti si mbak teman ngobrolku tadi.
Pintu utama bangunan langsung dibuka dan para petugas masuk dengan tergesa. Dalam hitungan sepuluh menit, loket pendaftaran sudah disesaki masyarakat yang memang telah antri sejak pagi. Lorong dengan lebar satu meter menuju loket pendaftaran seolah tidak sanggup menampung pasien yang akan berobat.
Paling depan tampak seorang bapak gendut dengan menggendong dua anaknya. Disebelah kiri sibapak, seorang gadis ceking masuk dalam antrian. Sementara aku dan istriku mencoba mengambil posisi agak dibelakang, karena memang ukuran tubuh kami tidak cukup untuk berdesakan. Disisi lain, ibu yang cucunya dikeroyok massa, mencoba berdesakan, sambil menceritakan keadaan cucunya. Akhirnya timbul juga rasa iba dari orang yang berdesakan disitu mendengar cerita si ibu.
Akhirnya, kubisiki Irma untuk tidak antri, dan menyarankan biarlah dia periksa di bidan saja nanti malam. Keputusan ini terpaksa kuambil, meskipun kutahu itu akan membuat aku harus puasa ngopi paling tidak selama dua minggu.
Bersisian kami menyusuri gang kecil namun dengan arah berbalik dari pagi tadi. Kesiibukan warga sudah mulai berkurang, kalaupun ada kebanyakan saat ini yang terlihat adalah ibu-ibu. Baik sedang menjemur pakaian, maupun menggendong bayi yang terlihat jelas habis dimandikan. Pada sisi lain sebagian terlihat bergerombol didepan rumah petak Pak Herman membicarakan telenovela di televisi.
Beragam pikiran berkecamuk dalam diriku."Bukankah Kepala Dinas Kesehatan dikota ini menyatakan akan menindak petugas yang melalaikan tugasnya?"
"Bukankah pejabat juga bercuap tidak ada pungutan untuk layanan Puskesmas?"
Namun yang kulihat sepuluh menit yang lalu? Untuk mendaftar mesti bayar dua ribu rupiah. Jam layanan yang jelas dipampang pada papan pengumuman dilanggar, bukannya sepuluh menit, tapi hampir dua jam.
"Apakah memeng sudah sedemikian parah mental pegawai di negeri ini?" diriku membatin.
Dua hari setelah itu, tanganku gemetar membaca Headline surat kabar kriminal kotaku."Seorang korban amuk massa tewas" Kubaca tuntas berita tersebut, dan aku sampai pada satu kesimpulan, cucu si ibu temanku bicara kemarin tewas karena petugas medis terlambat (lalai) menolongnya."
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "DISEBUAH LOKET"
Posting Komentar