POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

TIKUS

Diposting oleh Masakan On 19.25
Oleh : Iwan [islamuda.com]
Enita Silviana pake Jilbab! Itulah kira-kira rumours yang beredar di sekolah besok. Wah, siapapun pasti bakal terbelalak. Takjub plus heran. Siapa sangka sang primadona sekolah mau pake jilbab. Sayang, khan? kapan lagi bisa berlenggak lenggok di depan puluhan jejaka sekolahan.
Aku tersenyum-senyum membayangkan hal itu terjadi. Sementara ini, kepalaku pusing milih warna yang pas buat kupakai besok di sekolah. Harus dong, besok khan hari pertamaku make kerudung. Jangan sampe kesannya norak apalagi kumuh. Aku tertarik memake kerudung setelah mendengar pengajian di sekolah. Waktu itu, salah satu pengisinya, alumni sekolahku.
Semula aku sih bimbang juga. Masalahnya aku kan aktif di seabrek-abrek kegiatan sekolah. Kalau nanti pake kerudung, jangan-jangan aku nggak bakalan bisa aktif lagi. Untung Tia, dedengkot pengajian putri, ngasih jalan keluar.
"Vi, kalo kita pake jilbab, bukan berarti kita jadi tertutup. Kita tetap saja berlaku seperti teman-teman yang lain, tapi tentu ada aturannya dong. Seperti nggak boleh pacaran atau maen sama anak-anak cowok" katanya dua hari yang lalu.
"Aih, Vi, jadi juga kamu pake kerudung, Alhamdulillah smoga kamu makin disayang Allah, Vi" komentar temanku macam-macam sambil memeluk dan sun pipi. Ada yang seneng, haru dan bahagia kayak anak-anak pengajian. Ada juga yang sirik, nuduh macem-macem, ada juga yang tenang-tenang aja. Bangga sekali rasanya diperhatiin orang. Emang sih, selama ini aku pusat perhatian orang, apalagi mahluk yang namanya cowok. Suka usil manggil-manggil namaku. Tapi kalo skarang rasanya beda, diperhatiin karena kerudungku.
Jam pertama pelajaran agama, lagi-lagi aku diperhatiin bu Aisyah, guru agamaku. Dia seneng banget kalo aku pake jilbab. Pernah dulu, sewaktu aku masih belum berkerudung, dia ngasih komentar, "Vi, kalo kamu pake jilbab, pasti deh kamu makin cantik dan disayang Allah"
"Assalamu'alaikum. bu Haji" suara bass dari balik punggungku mengagetkanku hingga bakso yang hampir kutelan jatuh ke mangkuk. Aku menoleh ternyata si Ronald.
"Aduh, ibu Haji kaget ya? maafin ye?" Ronald tampangnya emang enak diliat, sekilas mirip Dean Cain pemeran Superman di serial teve.
"Walaikum salam" jawabku sambil mengelapkan tissu ke bibir. Ronald langsung di bangku kayu panjang itu. Sempet-sempetnya dia ber'hai-hai' dengan pengunjung cewek lain. Ronald memang akrab sama siapa saja kalo nggak dibilang populer.
"Tumben, ke sini, biasanya elu nongkrong di warung soto" ucapku sambil nggak noleh.
"Aduh, Honey baru dikagetin gitu aja, kamu marah afwan deh" jawabannya bikin aku kaget.
"Eh, dapet dari mana tuh, kata afwan?"
"Kursus dong sama anak-anak masjid" dasar slengean, dia cuma ketawa. Aku nggak kalah gertak. "Kamu pikir kamu bisa beli cinta gue pake kursus segala?" kataku pura-pura ketus. Ronald nggak kecut, ketawanya malah makin keras sampe pengunjung yang laen ngelirik. "Honey, kamu masih ngganggap aku musuh. Aku kan sudah umumkan 'chase fie'. Masak sih kamu nggak mau baikan. Orang pemaaf itu besar pahalanya lho?" Sialan, pinter juga dia ngecap. Pake istilah pahala segala.
"Trus kamu mau apa?"
"Entar malam temanku ulang tahun. Kamu mau kan nemenin?" Aku menetap matanya yang memang teduh itu. Itulah salahnya, aku terhipnotis dan jadi manut aja. Mirip kucing dielus-elus lehernya. "Kamu mau jemput jam berapa?"
"Gitu dong, jam tujuh OK?" dia ketawa seneng. kontan baksoku dibayarnya.
"Yuk, honey, kita pulang" ajaknya. Aku segera membenahi buku pelajaran di meja bakso itu. Beriringan aku dan Ronald jalan keluar kantin. Sesekali aku bercanda dengan Ronald. Kata-kata 'honey' keluar berulang-ulang. Aku geli juga dengernya, tapi Ronald sih cuek aja. Itu memang kekuatannya. Cuek ditambah lagi nekat dan sok jago. Nggak segen-segen dia berantem kalo ada yang nggak sependapat. Omong soal cuek, Ronald emang gila banget. Kalo dia udah seneng ama cewek, bakal dia uber kemana aja.
Termasuk aku yang jadi incerannya. Waktu telepon tiga bulan lau, enteng aja dia bilang "Honey, I love you". Aku yang jadi gemetaran, buru-buru aku tutup telepon itu. Besoknya dia telepon lagi sambil ketawa ngakak ngatain aku chicken alias pengecut. Akhirnya dengan gemas aku tolak mentah-mentah sambil kumaki-maki. Tapi dia terus ketawa. Kupikir dia nggak nelpon lagi, ternyata malah nekat datang ke rumah malam minggu. Aku kelimpungan, tapi dengan proses panjang akhirnya semua bisa dinetralkan.
Dug !
Aku menabrak seseorang. Bukuku berantakan. Ronald buru-buru membantu mengambil buku-buku itu. Begitu pula orang yang kutabrak.
"Maaf ya?" katanya. Aku mengangkat muka. "Mia?" aku terkejut. Salah satu pentolan rohis sekolahku. Dia tersenyum sebentar, tapi setelah melihat Ronald dia berubah. Setelah usai membereskan buku-bukuku yang berantakan dia pergi.
"Yuk ah, Vi Assalamualaikum".
"Walaikum salam" jawabku. Ronald memandang punggung Mia yang berjilbab itu dengan perasaan tidak senang.
"Nggak sopan amat tuh anak, basa-basi dikit ke!" umpatnya. Aku diem aja.
Get down, Get Down and moving all around yee.
Lagu milik Backsreet Boys bergema di rumah Andre, teman Ronald yang lagi ulang tahun. Anak-anak yang lain ikut jojing, berpasangan. Aku dan Ronald duduk bareng teman-temannya termasuk Andre.
"Gue nggak nyangka ada yang berjilbab mau dateng ke pesta ulang tahun" kata Andre. Aku mesem aja, dalam hati sih aku tersinggung juga.
"Maksud gue, elu tuh nggak sekuper anak-anak berjilbab yang laen. Teman-teman gue yang ngaji pada kuper. Nggak mau ke pesta apalagi pacaran. Katanya haram. Nggak ngerti deh gue maunya apa mereka. Kita kan bukan malaikat" kata Andre panjang lebar.
"Iya, yang penting kan niatnya. Kita kan pacaran untuk nyari pahala, iya khan honey?" Ronald nimpalin sambil ngelirik padaku. Aku kesel juga. Enak aja aku dibilang pacarnya. "Oh, elu pacarnya si Ronald? Rugi lu pacaran ama tuh anak! Dia kan hyper" Sambar Andre.
"Sialan lu, Dre. Jangan buka kartu temen sendiri lu" balas Ronald sambil ngejitak kepala Andre. Mereka pun "berantem". Yang lain, termasuk aku ketawa-tawa ngeliat dua anak itu berantem.
Musik-musik yang kenceng terus diputer. Sekarang giliran house music. Aku mulai curiga. Jangan-jangan anak-anak pada on. Aku memandang sekeliling. Bener aja. Tiga orang anak mulai triping. Kepalanya goyang-goyang. Aku menghampiri Ronald yang lagi asyik jojing sendirian.
"Nald, pulang yuk ah," Desakku. "Buru-buru amat sih. Baru jam sepuluh. Besok kan hari libur" Ronald terus aja jojing.
"Pulang atau gue pulang sendiri naik taksi" ancamku. Berhasil, Ronald berhenti jojing meski dia kelihatan kesal.
"Dre, gue pulang dulu. Istri gue nggak tahan nih" teriaknya pada Andre.
"Payah lu, Nald" Andre kecewa berat. Ronald kelihatan kesal banget. Sampe di halaman rumah Andre, pintu cherokee-nya dibanting. Brukk!
"Kamu kenapa sih, Vi. Nggak bisa nunggu bentar lagi?" dengusnya kesal. Aku menahan nafas.
"Nald, anak-anak itu mulai nggak bener. Mereka pake inex. Temen-temenmu brengsek" kataku emosi. "Emangnya kenapa? Mereka mau on, mau jojing, mau ngapain juga terserah mereka. Itu hak mereka hepi-hepi. Yang penting nggak ganggu kita. Jangan sok suci deh" suara Ronald meninggi. Dia marah berat kelihatannya. Aku diam saja. Percuma ditanggapi. Akhirnya mobil itu jalan juga. Ngebut.
"Malam, Nald" kataku sebelum turun di depan halaman rumah. Nggak ada jawaban. Baru setelah pintu mobil kututup dia bergerak. "Vi, sorry ya gue emosi. Assalamu'laikum" katanya sambil melambaikan tangan. Aku menjawab pelan. Kupandangi mobil itu sampe akhirnya hilang ditelan gelapnya malam. Ups, setengah sebelas malam. Buru-buru aku masuk ke dalam rumah. Emang sih aku pernah dengar anak perempuan nggak boleh pulang larut malam. Ah, peduli amat, yang penting kan aku bisa jaga diri. Kaku amat sih aturan itu.
"Vi, telepon tuh" teriak mami dari lantai bawah. Aku masih setengah ngantuk. Baru jam sebelas aku tidur. Maka dengan memaksakan diri aku beranjak dari tempat tidur. Turun ke ruang tamu.
"Halo?" kataku lemas. "Assalamu'alaikum" suara cowok dari seberang sana.
"Walaikum salam. Siapa di sana?" aku rada-rada kenal suara itu.
"Salim, masa lupa Vi?" Ups, Salim si anak Rohis. Aku terkejut. Belum pernah dia telepon ke rumahku. Ada apa ya?"
"Vi, aku ada isu jelek, nih"
"Eng, isu apa ya?" aku bingung. Salim mendehem. Kedengarannya dia khawatir.
"Vi, tadi malam polisi menciduk anak-anak yang lagi triping di sebelah rumahku. Kata polisi, ada anak yang ngaku melihat kamu dan Ronald di sana tadi malam. Kalo bener, kayaknya mereka bakal nyari kamu dan Ronald."
Deg. jantungku berdetak kenceng banget. Kontan aku shock. Bibirku gemetaran. Gagang telepon itu nyaris lepas dari genggamanku. "Vi, kamu denger khan?"
"Iya, aku denger" aku berusaha tenang. "Aku dan Ronald nggak kesana tadi malam. Kami ke twenty-one" aku berbohong.
"Oh, begitu Syukur deh, cuma..."
"Cuma kenapa?" tanyaku penasaran. "Nggak apa-apa. Syukur deh kalo kamu nggak ke sana. Yuk ah, assalamu'alaikum"
"Walaikum salam" jawabku sambil menutup telepon. Aku masih gemetaran. Apa kata papa mama kalo mereka tahu aku pesta ekstasi. Buru-buru aku nelepon Ronald. Tut.. tut... tut Sialan, nggak ada yang ngangkat. Masih tidur kali si Ronald.
Seharian aku ketakutan. Tiap telepon berdering atau suara pintu selalu kusangka polisi. Aku nggak tenang. Apalagi pas di stories pagi disiarkan penggrebegan itu. Untung tidak ada orang rumah yang ikutan nonton. Jelas kulihat rumah Andre di teve, beberapa anak yang kulihat tadi malam juga ikut disorot kamera teve, tapi tak kelihatan Andre. Aku semakin kalut, Sampe malam Senin aku terus ketakutan. Aku nggak bisa tidur sampe subuh.
Di kelas aku ngantuk banget. Mataku masih merah. Untung hari ini nggak ada pelajaran. Biasa, guru-guru pada rapat. Aku akhirnya milih ngumpet di warung bakso. Ronald tak kulihat sejak pagi tadi. Itu yang bikin aku terus-terusan cemas.
"Assalamu'alaikum" suara halus menyapaku. Aku menoleh, Mia.
"Walaikum salam". Mia duduk didepanku. Sejenak dia ragu-ragu. Aku mengerutkan kening. "Ehm, Vi, Mia mau bicara" katanya ragu. Aku bingung mau apa Mia, saudara kembarnya Salim, top rohis sekolah ini datang padaku?. Aku makin bingung aja. Bicara apa? jangan-jangan kasus inex, atau masalah hubunganku dengan Ronald?
"Silahkan" aku memberi jalan. "Vi, terus terang aku khawatir tentang hubungan kamu dengan Ronald, Aku liat akhir-akhir ini Silvi sepertinya tidak bisa menjaga jarak. Silvi sepertinya ...."
"Pacaran?" aku menyela. Mia mengangguk. Aku kesal, barangakali kalo diukur tensi darahku naik. Aku kurang tidur, diuber polisi dan sekarang hubunganku dengan Ronald dipermasalahkan. Sok tahu sekali sih anak Rohis ini. Aku mendesis pelan.
"Memang kalo aku pacaran dengan Ronald kenapa?" nada suaraku naik. Mia terkejut, mukanya seketika pucat. "Itu taqrabuzzina" katanya terbata-bata. Aku semakin berani mencercanya.
"Mia, denger ya. Aku tuh nggak berzina sama si Ronald. Kami cuma pacaran biasa aja. Apa itu dilarang? Kamu jangan sembarangan nuduh. Itu fitnah tahu?" suaraku makin meninggi.
"Vi, aku nggak nuduh kamu berzina. Naudzubillah. Tapi yang kamu lakukan itu salah. Jalan bareng laki-laki yang bukan muhrim, apalagi sampe berduan pergi ke pesta itu kan dilarang Allah" Mia bertahan. Shit! Dia tahu juga aku pergi ke pesta malam Minggu bareng Ronald. Pasti dari kakaknya Salim.
"Aku ngak ngerti, Kenapa sih kamu kaku banget dengan aturan. Yang penting kan niat kita bener. Lagian, kenapa sih ikut campur urusan orang?" aku makin marah. Akhirnya aku berdiri kutinggalkan Mia. Kulihat ia menundukkan kepala. Untung warung bakso sepi.
"Brengsek juga adik si Salim, ikut campur urusan orang" Ronald marah besar setelah kuceritakan kejadian tadi pagi. Sejenak dia menghisap rokok putihnya. Asapnya dihembuskan kencang-kencang dari hidungnya.
"Bagusnya dia nggak lapor ke polisi kalo kita ada di rumah Andre. Liat aja nanti. Bakal gue kerjain si Salim" katanya datar. Aku menoleh tajam. "Kamu bercanda ka?" tanyaku setengah curiga.
"Apa bedanya?" Ronald ketawa sinis. Rokok yang baru dihisapnya setengah itu dibanting ke tanah. Lalu jalan keluar kafe. "Mau kemana"tanyaku. "Ikut aja" jawabanya tanpa menoleh sambil jalan ke tempat parkir.
Aku masuk ke dalam mobil, Ronald masih di luar. Ia ngobrol serius dengan teman-teman sekelasnya. Lalu balik ke mobil. Cheroke itu pun dipacu kencang, Melesat ke arah sekolah.
Aku seperti tak percaya dengan yang kulihat tadi. Ketakutanku bertambah dua kali. Siang tadi Ronald dan gerombolannya menghajar Salim di belakang mesjid sekolah. Aku nyaris tidak percaya kalo Ronald berbuat segila itu. Aku mendengar rintihan dan erangan Salim saat tinju, ayunan kaki dan rantai menghantam tubuhnya. Anak-anak rohis yang laen tidak berani berbuat apa-apa. Mereka diancam kawan-kawan Ronald, Aku sendiri buru-buru pulang sambil menangis.
Seminggu setelah kejadian itu aku menutup diri dengan teman-teman. Mereka sendiri tidak banyak bertanya padaku. Yang jelas setelah kejadian itu Ronald dan kawan-kawannya tidak muncul di sekolahan. Salim sampe sekarang belum keluar dari rumah sakit. Kata anak-anak, lukanya cukup parah. Aku sendiri belum menengoknya. Yang membuat aku gemetaran kalo aku berpapasan dengan anak-anak rohis, terutama Mia, saudara kembar Salim. Dia sendiri kelihatannya enggan bertemu denganku. Oh, God aku tersiksa sekali. Aku memijat kepalaku. Kain kerudungku berantakan di lantai. Aku nggak pernah nyangka Ronald berbuat segila itu. Mungkin Mia benar tentang hubunganku dengan Ronald. Aku banyak berbuat maksiat. Ah, kerudung itu apa guannya kalo ternyata pemakainya orang sepertiku.
Suara telepon berdering dari ruang tamu. Bergeras aku lari. "Halo?" tanyaku terengah-engah. "Silvi?" suara bass itu ....
"Ronald, kamu brengsek, pengecut. Teganya kamu ..."
"Vi, aku ada perlu sama kamu" Ronald memotong emosiku. "Yang harus kamu lakukan sekarang minta maaf pada Salim dan mengakui perbuatanmu" setengah menjerit aku berbicara.
"Itu sebabnya aku telepon kamu" Ronald angkat bicara. Aku terkejut. "Kamu nggak bohong?" Aku ragu.
"Aku nggak bohong, tapi kamu harus ke rumahku sekarang" jawab Ronald.
"Kutunggu satu jam lagi" katanya sambil menutup telepon.
Pintu rumah itu belum dibuka-buka meski bel sudah kupencet berkali-kali. tapi sebelum aku membalikkan badan untuk pulang pintu itu dibuka. Ronald muncul dari balik pintu. Tampangnya kusut, rambutnya acak-acakan.
"Kamu bangun tidur, Nald?" aku heran. Sempet-sempetnya dia tidur. "Masuk Vi" dia mempersilahkan aku masuk. Ronald sendiri masuk ke dalam rumah. Aku duduk di ruang tamu. Tak seperti biasanya, rumah itu sepi. Padahal biasanya pembantu rumah Ronald, Mbok Siyem suka nongol kalo aku datang. Kami akrab banget. Mungkin karena aku sering kesini.
"Minum dulu Vi" Ronald datang sambil bawa segelas es jeruk. "Kamu nggak jadi berangkat?" aku mlau kesal melihat dia masih kusut. "Tenang aja, Gue kan bisa ngebut. Minum aja dulu" katanya cuek.
Udara panas siang itu memang membuatku haus banget. Es jeruk itu segera kutegak habis. Tapi entah kenapa, Ronald tersenyum mencurigakan. Perasaanku jadi taidak enak. "Kenapa Nald ...?" tanyaku heran. Tapi seketika kepalaku pusing, pandanganku kabur. Aku dijebak Ronald.
Dengan sisa tenaga aku berusaha bangkit, tapi kakiku seperti lumpuh. Badanku pun terjerambab ke lantai. Ronald mengangkat tubuhku. Setengah sadar aku merasakan dia membawaku ke lantai atas. Aku hanya bisa merintih dalam hati tanpa daya. Air mataku mulai mengalir. Kawan baikku ternyata menjebakku. Aku seperti seekor tikus dalam genggaman kucing lapar yang siap melumat dan menelan diriku habis. Tikus itu tidak bisa bergerak sedikitpun dalam cengkraman kuku tajam sang kucing.
Jangankan meronta, mencicitpun tikus itu tidak mampu. Dengan sisa kesadaranku yang makin melemah aku hanya bisa meminta pertolongan kepada Allah dalam hari. Jeritan dari ketakutanku, hambaNya yang bertingkah munafik. Aku hanya bisa menyesali kebodohan dan dosa-dosaku. Aku mencoba menjerit dan meronta sekuat tenaga. Allahu Akbar!! Teriakku sejadi-jadinya. Dan tiba-tiba aku mampu menghempaskan Ronald. Tubuhnya terbanting ke dinding kamar. Kuderngar keras benturan badannya dengan dinding. Dengan sisa tenaga aku memaksakan lari keluar kamar. Terhuyung aku menyusuri gang-gang kamar lantai atas. Kini dengan berpegangan pada pagar tangga aku mencoba turun. Tiba-tiba kudengar deru nafas Ronald dari balik punggungku. Dia memelukku erat-erat dan mencoba menyeretku kembali ke atas. Sekuat tenaga aku memberontak. Kami bergumul di bibir tangga dan kehilangan keseimbangan. Aku dan Ronald jatuh beruntun dari atas tangga. Kepalaku membentuk lantai dan segalanya menjadi gelap dan gelap.
Aku membuka mata perlahan. Kepalaku terasa nyeri, begitu pula sekujur tubuhku. Semula pandanganku buram akhirnya terlihat jelas. Kulihat mama dan papa di sampingku.
"Kamu di rumah sakit, Sayang" kata mamaku sambil membelai lembut keningku. Matanya basah. Aku tidak bisa bergerak. Kurasakan sekujur tubuhku sakit, kepalaku dibalut perban.
"Dua hari kamu tidak sadar, kami sudah cemas" papaku bicara perlahan. "Ronald?" tanyaku dengan bibir bergetar menyebut nama si jahanam itu. Papa dan mama terdiam. "Dia meninggal, Sayang" mama menjawab datar.
"Lehernya patah" lanjut mama sambil menangis. Ronald mati? jadi aku selamat dari kebuasannya? Perasaanku berkecamuk. Rekaman peristiwa itu sekilas terlintas dalam otakku. Sementara bibirku bergantian menyebut istigfar dan hamdalah. Tapi bagaimana aku bisa di sini?
"Pembantu Ronald minta bantuan tetangganya untuk membawa kalian ke rumah sakit. Maafkan kami Vi, Papa dan Mama baru bisa datang kemaren. Nenekmu sakit keras" terbata-bata mama berbicara.
"Untung ada temanmu yang bersedia menjagamu sejak kemarin. Dia baik sekali, menjagamu semalaman" sambung Papa. Teman?
"Namanya Mia, dia pake kerudung. Dia ada disini waktu kamu dibawa ke rumah sakit. Kakaknya juga dirawat disini kemaren. Katanya dia teman kamu juga, kamu kenal dia sayang?" Papa berkata dengan rasa bersyukur.
Hatiku bergetar, Mia, Salim dan temanku rohis, Ah apa yang harus aku katakan pada mereka.
"Assalamu'alaikum" suara beberapa orang dari pintu masuk terdengar. Aku menoleh, barisan jilbab putih berderet di sana. Aku terpana, lidahku kelu. Seperti tikus aku hanya bisa mencicit lemah, lemah sekali. (Oleh : Iwan)[islamuda.com]

0 Response to "TIKUS"

Posting Komentar

    Blog Archive

    About Me