K.H. Abdullah Gymnastiar
--------------------------------------------------------------------------------
Awal mula kehidupan seseorang berumah tangga dimulai dengan ijab-kabul. Saat itulah yang halal bisa jadi haram, atau sebaliknya yang haram bisa jadi halal. Demikianlah ALLOH telah menetapkan bahwa ijab-kabul walau hanya beberapa patah kata dan hanya beberapa saat saja, tapi ternyata bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Saat itu terdapat mempelai pria, mempelai wanita, wali, dan saksi, lalu ijab-kabul dilakukan, sahlah keduanya sebagai suami-istri. Status keduanya pun berubah, asalnya kenalan biasa tiba-tiba jadi suami, asalnya tetangga rumah tiba-tiba jadi istri. Orang tua pun yang tadinya sepasang, saat itu tambah lagi sepasang. Karenanya, andaikata seseorang berumah tangga dan dia tidak siap serta tidak mengerti bagaimana memposisikan diri, maka rumah tangganya hanya akan menjadi awal berdatangannya aneka masalah.
Ketika seorang suami tidak sadar bahwa dirinya sudah beristri, lalu bersikap seperti seorang yang belum beristri, akan jadi masalah. Dia juga punya mertua, itupun harus menjadi bagian yang harus disadari oleh seorang suami. Setahun, dua tahun kalau ALLOH mengijinkan akan punya anak, yang berarti bertambah lagi status sebagai bapak. Ke mertua jadi anak, ke istri jadi suami, ke anak jadi bapak. Bayangkan begitu banyak status yang disandang yang kalau tidak tahu ilmunya justru status ini akan membawa mudharat. Karenanya menikah itu tidak semudah yang diduga, pernikahan yang tanpa ilmu berarti segera bersiaplah untuk mengarungi aneka derita. Kenapa ada orang yang stress dalam rumah tangganya? Hal ini terjadi karena ilmunya tidak memadai dengan masalah yang dihadapinya.
Begitu juga bagi wanita yang menikah, ia akan jadi seorang istri. Tentusaja tidak bisa sembarangan kalau sudah menjadi istri, karena memang sudah ada ikatan tersendiri. Status juga bertambah, jadi anak dari mertua, ketika punya anak jadi ibu. Demikianlah, ALLOH telah menyetingnya sedemikian rupa, sehingga suami dan istri, keduanya mempunyai peran yang berbeda-beda.
Tidak bisa menuntut emansipasi, karena memang tidak perlu ada emansipasi, yang diperlukan adalah saling melengkapi. Seperti halnya sebuah bangunan yang menjulang tinggi, ternyata dapat berdiri kokoh karena adanya prinsip saling melengkapi. Ada semen, bata, pasir, beton, kayu, dan bahan-bahan bangunan lainnya lalu bergabung dengan tepat sesuai posisi dan proporsinya sehingga kokohlah bangunan itu.
Sebuah rumah tangga juga demikian, jika suami tidak tahu posisi, tidak tahu hak dan kewajiban, begitu juga istri tidak tahu posisi, anak tidak tahu posisi, mertua tidak tahu posisi, maka akan seperti bangunan yang tidak diatur komposisi bahan-bahan pembangunnya, ia akan segera ambruk tidak karu-karuan. Begitu juga jika mertua tidak pandai-pandai jaga diri, misal dengan mengintervensi langsung pada manajemen rumah tangga anak, maka sang mertua sebenarnya tengah mengaduk-aduk rumah tangga anaknya sendiri.
Seorang suami juga harus sadar bahwa ia pemimpin dalam rumah tangga. ALLOH SWT berfirman, "Laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, karena ALLOH telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lainnya dan karena mereka telah membelanjakan sebagian harta mereka…" (Q.S. An-Nissa [4]: 34).
Dan seorang pemimpin hanya akan jadi pemimpin jika ada yang dipimpin. Artinya, jangan merasa lebih dari yang dipimpin. Seperti halnya presiden tidak usah sombong kepada rakyatnya, karena kalau tidak ada rakyat lalu mengaku jadi presiden, bisa dianggap orang gila. Makanya, presiden jangan merendahkan rakyat, karena dengan adanya rakyat dia jadi presiden.
Sama halnya dengan kasus orang yang menghina tukang jahit, padahal bajunya sendiri dijahit, "Hmm, tukang jahit itu pegawai rendahan". Coba kalau bajunya tidak dijahitkan oleh tukang jahit, tentu dia akan kerepotan menutup auratnya. Dia dihormati karena bajunya diselesaikan tukang jahit. Lain lagi dengan yang menghina tukang sepatu, "Ah, dia mah cuma tukang sepatu". Sambil dia kemana-mana bergaya memakai sepatu.
Tidak layak seorang pemimpin merasa lebih dari yang dipimpin, karena status pemimpin itu ada jikalau ada yang dipimpin. Misalkan, istrinya bergelar master lulusan luar negeri sedangkan suaminya lulusan SMU, dalam hal kepemimpinan rumah tangga tetap tidak bisa jadi berbalik dengan istri menjadi pemimpin keluarga. Dalam kasus lain, misalkan, di kantornya istri jadi atasan, suami kebetulan stafnya, saat di rumah beda urusannya. Seorang suami tetaplah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.
Oleh karena itu, bagi para suami jangan sampai kehilangan kewajiban sebagai suami. Suami adalah tulang punggung keluarga, seumpama pilot bagi pesawat terbang, nakhoda bagi kapal laut, masinis bagi kereta api, sopir bagi angkutan kota, atau sais bagi sebuah delman. Demikianlah suami adalah seorang pemimpin bagi keluarganya. Sebagai seorang pemimpin harus berpikir bagaimana nih mengatur bahtera rumah tangga ini mampu berkelok-kelok dalam mengarungi badai gelombang agar bisa mendarat bersama semua awak kapal lain untuk menepi di pantai harapan, suatu tempat di akhirat nanti, yaitu surga.
Karenanya seorang suami harus tahu ilmu bagaimana mengarungi badai, ombak, relung, dan pusaran air, supaya selamat tiba di pantai harapan. Tidak ada salahnya ketika akan menikah kita merenung sejenak, "Saya ini sudah punya kemampuan atau belum untuk menyelamatkan anak dan istri dalam mengarungi bahtera kehidupan sehingga bisa kembali ke pantai pulang nanti?!". Karena menikah bukan hanya masalah mampu cari uang, walau ini juga penting, tapi bukan salah satu yang terpenting. Suami bekerja keras membanting tulang memeras keringat, tapi ternyata tidak shalat, sungguh sangat merugi. Ingatlah karena kalau sekedar cari uang, harap tahu saja bahwa garong juga tujuannya cuma cari uang, lalu apa bedanya dengan garong?! Hanya beda cara saja, tapi kalau cita-citanya sama, apa bedanya?
Buat kita cari nafkah itu termasuk dalam proses mengendalikan bahtera. Tiada lain supaya makanan yang jadi keringat statusnya halal, supaya baju yang dipakai statusnya halal, atau agar kalau beli buku juga dari rijki yang statusnya halal. Hati-hatilah, walaupun di kantong terlihat banyak uang, tetap harus pintar-pintar mengendalikan penggunaannya, jangan sampai asal main comot. Seperti halnya ketika mancing ikan di tengah lautan, walaupun nampak banyak ikan, tetap harus hati-hati, siapa tahu yang nyangkut dipancing ikan hiu yang justru bisa mengunyah kita, atau nampak manis gemulai tapi ternyata ikan duyung.
Ketika ijab kabul, seorang suami harusnya bertekad, "Saya harus mampu memimpin rumah tangga ini mengarungi episode hidup yang sebentar di dunia agar seluruh anggota awak kapal dan penumpang bisa selamat sampai tujuan akhir, yaitu surga". Bahkan jikalau dalam kapal ikut penumpang lain, misalkan ada pembantu, ponakan, atau yang lainnya, maka sebagai pemimpin tugasnya sama juga, yaitu harus membawa mereka ke tujuan akhir yang sama, yaitu surga.
ALLOH Azza wa Jalla mengingatkan kita dalam sabdanya, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…" (Q.S. At Tahriim [66]:6).
Kepada pembantu jangan hanya mampu nyuruh kerja saja, karena kalau saja dulu lahirnya ALLOH tukarkan, majikan lahir dari orang tua pembantu, dan pembantu lahir dari orang tua majikan, maka si majikan yang justru sekarang lagi ngepel. Pembantu adalah titipan ALLOH, kita harus mendidiknya dengan baik, kita sejahterakan lahir batinnya, kita tambah ilmunya, mudah-mudahan orang tuanya bantu-bantu di kita, anaknya bisa lebih tinggi pendidikannya, dan yang terpenting lagi lebih tinggi akhlaknya.
Inilah pemimpin ideal, yaitu pemimpin yang bersungguh-sungguh mau memajukan setiap orang yang dipimpinnya. Siapapun orangnya didorong agar menjadi lebih maju. ***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Suami, Pemimpin Bagi Keluarga"
Posting Komentar