POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

Jogja N Los Angeles

Diposting oleh Masakan On 18.37
Riko mendesah panjang, sambil mengepalkan tinjunya ke busa tempatnya berbaring, ia berusaha bangun. Dengan lesu Riko duduk di sisi pembaringan sembari memegangi kepalanya yang terasa berat, sesekali desahan masih terdengar.
"Kita harus mengakhirinya Ko, tak ada ikatan apapun dalam Islam antara seorang laki-laki dan wanita kecuali khitbah dan pernikahan, ini haram, Ko". Riko mendesis mengingat kata-kata Ayu sore tadi, ada sesuatu menyayat ulu hatinya, perih. Dan ia tak habis mengerti perubahan jalan pikiran Ayu akhir-akhir ini.Riko bangkit dari duduknya, dengan langkah lunglai ditariknya kursi lalu dihempaskan pantatnya. Ia menekuri meja, ditatapnya photo Ayu yang ada di depannya, lantas dengan kasar disorongkannya ke sudut meja. Tangan Riko menarik album yang terselip di deretan buku, dengan tanpa gairah dibukanya album itu dan terhenti pada photo dirinya yang sedang berangkulan dengan Riki. Diamatinya dengan seksama dua wajah yang bagai pinang dibelah dua.
Terbayang saat-saat yang dihabiskanya selama 18 tahun bersama Riki sampai mereka memutuskan untuk berpisah, karena ia lebih memilih Yogya sebagai kelanjutan studinya tidak halnya dengan Riki yang menerima tawaran Oom mereka untuk melanjutkan ke LA.
Sambil tetap melekatkan ke wajah mereka, Riko menarik sebatang rokok. Dengan gerakan malas ia berusaha menyalakannya, gagal, Riko kehilangan konsentrasi meski hanya untuk sekedar menyalakan rokok pun tak mampu.
Setelah berungkali batang korek api yang dinyalakan mati sebelum sempat membakar ujung rokoknya, Riko memukulkan kepalan tangannya dengan keras ke meja hingga barang-barang yang diatasnya bergetar dan photo Ayu dalam bingkai yang berada di sudut jatuh dan pecah. Riko menyengir memandangi photo orang yang sebenarnya dikaguminya itu tapi dengan seenaknya memberi keputusan sepihak di antara pecahan kaca. Hatinya kalut membayangkan kepulangan Riki yang ditemani Alice sementara dirinya seorang diri menggigit bibir. Dengan sisa konsentrasinya Riko kembali menyalakan rokoknya, didekatkan ujung yang satunya ke mulut lalu dihembuskannya perlahan-lahan, ia berusaha mencari kenikmatan dari lintingan nikotin itu. Tatapan Riko kembali ke album, dengan lebih teliti diamatinya wajah Riki lalu wajahnya, ingatannya melayang ke percakapan mereka berdua sebelum Riki terbang ke LA. Inilah saatnya kita cari gandengan Ko"
"Betul, aku janji akan membawakan untukmu seorang calon ipar yang darahnya biru"
"Kalo mo ketemu mama jalanya pake nunduk-nunduk, hhh,. Hhhhaa"
"Haaa, haaha dan untuk calon iparku, kau harus bawa yang rambutnya kayak rambut jagung, kalo mau ketemu di pintu pagar sudah bilang hello"
"Ya deh aku janji"
Ada kerinduan menyeruak bila mengingat, bagaimana mereka saling meledek lalu tertawa bersama dan tiba-tiba wajah Riko bertambah sendu mengingat kesepakatan mereka untuk membawa pacarnya masing-masing dalam pertemuan Agung, begitu mereka mengistilahkan dan juga sepakat untuk merekam cerita masing-masing dalam kaset. Riko memainkan kepulan asap rokoknya, dibayangkan hari-hari Riki bersama Alice, serba menyenangkan, penuh hura-hura dan kebebasan tanpa ada tetek bengek yang membelenggunya. Riko geram membandingkan dengan nasibnya.
"Sebenarnya aku kangen sekali, Ki" Riko mendesah sebuah perasaan merasa terkalahkan menghalanginya untuk bergegas menyambut kedatangan Riki di bandara.
Riko mematikan mesin mobilnya, dengan gontai ia melangkah keluar, Riko berdiri tegak mengamati rumah berlantai dua yang berdiri megah di depannya, terlalu banyak kenangan bersama Riki bahkan sejak mereka berdua masih dalam perut. Bayangan keberadaan Alice di sisi Riki dan tidak adanya Ayu membimbingkannya untuk segera masuk. Tapi segera disadarinya jika anak kembar tak mesti harus bernasib sama, dilangkahkan juga kakinya memasuki rumah dengan lewat tangga samping langsung menuju kamarnya yang juga kamar Riki. Sepi, mungkin Riki dan Alice baru ngobrol dengan Mama di bawah, pikirnya. Ketika mata Riko menangkap kaset yang tergeletak di meja dan ia yakin pasti itu rekaman Riki, segara disambarnya dan langsung mendekati tape. Sejenak setelah jari Riko menekan tombol Play ....
"Assalamu'alaikum Riko, aku kangen sekali padamu. Maaf Ko, aku tak bisa mengajak Alice seperti janjiku, ini janji yang satunya, dengar yaa... serius nih. Riko, LA memang dengan suka cita memberikan apa yang kebanyakan diimpikan anak muda, kebebasan, hura-hura dan kesenangan-kesenangan dunia yang lainnya yang memabukkan, di hampir setiap sudutnya justru ditawarkan dengan yang menggiurkan. Riko, Kamu setuju bukan, sebenarnya kebebasan, hura-hura juga surga-surga dunia tak pernah bisa memberikan apa yang sesungguhnya didambakan setiap orang yaitu sejatinya kebahagian. Aku yakin semua orang yang telah mencoba menikmati segala kebebasan itupun mengakui jika mereka mau jujur pada suara hatinya yang paling dalam. Riko, jika bukan karena Islam, kemungkinan besar saudara kembarmu ini telah berubah menjadi binatang di sana. Hidup mematuhi nafsunya tanpa mengenal batasan dan tak lagi kenal apa itu haram.
Riko, segala puji hak Allah semata, yang telah mempertemukan dengan mas Arifin, orang Bandung yang baru mengambil S2. Lewat beliau aku mengkaji Al-Qur'an dan lewat beliau aku mengkaji Al-Qur'an dan lewat beliau Allah berkenan membukakan hatiku untuk mengenali Islam yang sesungguhnya, Islam sebagai sistem juga sebagai jalan hidup. Riko, sejak mengenal Islam, otomatis hubunganku dengan Alice berakhir, padahal aku begitu menunggu waktu pertemuan denganmu dimana aku bisa membanggakan Alice yang cantik, cerdas dan supel. Keputusan harus kuambil, meski sangat berat karena tangan-tangan nafsu begitu kuat mencengkramku, tapi seberat apapun bukankah aku harus memenangkan aturan agamaku, aturan Allah. Jangankan pacaran yang memungkinkan berduan dan macam-macam, menurutkan pandangan saja tetap diharamkan. Bukankah ketaatan yang harus kita tunjukkan sebagai bukti dari pengakuan kita adalah muslim. Meski akal kita belum menerimanya, tidak tahu apa manfaatnya karena ilmu kita tak lebih dari setetes air dari ujung jari yang dicelupkan ke luasnya samudra tak bertepi bila dibanding dengan kemahatahuan Allah. Kenapa kita sering merasa sok tahu, dengan memberi argumen-argumen yang didasarkan nafsu.
Riko, Setelah aku mendapat gambaran yang jelas tentang Islam, aku bertekad untuk senantiasa hidup bersamanya, berusaha memberikan apa yang kubisa untuk membelanya dan mengimpikan kejayannya. Dengan itu mulai kurasakan artinya hidup dan ternyata di situlah aku menemukan ketentraman dan sejatinya kebahagiaan. Riko, Dalam setiap doaku aku selalu memohon, kamu pun .....
Riko segera menekan tombol stop, rasanya tak sanggup lagi ia mendengar suara Riki yang setiap kalimat seakan menelanjanginya. Rasanya Riko terhempas membandingkan apa yang ada di kepalanya dan yang di kepala Riki. Selama ini hidup yang dijalaninya sangatlah remeh, tak punya muatan apa-apa. Yang diotaknya hanya apa yang akan menyenangkan nafsunya. Seperti ada batu besar yang menghimpit dadanya. Di tengah berbagai kenikmatan dunia menyesatkan yang ditawarkan oleh pesatnya laju kemajuan zaman, Riki bisa menemukan jalan mana yang benar-benar bisa menyelamatkan dan mengantarkan ke surga yang sesungguhnya, sementara dirinya dibingungkan oleh kemajuan jaman yang tak dipahaminya, tak tahu arus akan mengantarkanya ke mana. Riko meraba pipinya, jemarinya menemukan air yang mengalir dari sudut matanya. Rasa rindunya pada Riki tiba-tiba tak terbendung. Seketika Riko berbalik ketika terdengar salam dan ia yakin siapa yang mengucapkannya.
"Ri ... Ki..." pekiknya terbata-bata, seakan tak percaya menyaksikan Riki sudah berdiri diambang pintu kamar mereka, dengan wajah bersih mencerminkan ketenangan dan sorot mata penuh wibawa. Dijawabnya salam dengan suara yang hampir tak terdengar. Keduanya masih terpaku di tempat masing-masing, namun hanya beberapa detik.
"Riko" Riki berjalan sambil membentangkan tangannya. Tak sesaatpun Riko menunggu, ia langsung menghambur ke arah Riki. Segenap perasaan yang menggedor-gedor jiwanya ditumpahkan dalam pelukan saudara kembarnya. Ada isak tertahan.
"Ki, maukah kau mengenalkanku pada Islam yang sebenarnya?" Ucap Riko terbata setelah mereka mengurai rangkulan masing-masing, Riki tak menjawab, namun di rangkulnya kembali saudara kembarnya dengan lebih erat lagi. Untuk sesuatu yang tak ternilai harganya ..... Hidayah. [Zuna Ar-Radli]

0 Response to "Jogja N Los Angeles"

Posting Komentar

    Blog Archive

    About Me