Tulisan Sebenarnya sih, sekitar 2 tahun sejak aku berbusana muslimah, di diary-ku nggak pernah ada lagi cerita tentang mahluk yang bernama cowok itu kecuali ayah, kedua abangku dan pak Jon, guru fisikaku yang bijak sehingga membuat kami senang belajar. Aku kan sudah tahu bahwa Islam memang membatasi hubungan 'antar jenis' yang bukan mahrom. Jangankan memandang sampai lama, baru liat sebentar aja, sudah harus dipalingkan. Soalnya, pandangan itu salah satu sarana panah syetan, ih serem lah yaw. Jadi mendingan aku memilih menundukkan pandangan dalam bergaul dan di setiap kesempatan belajar yang disampaikan guru pria. Memang susah sih, malah aku suka dibilang sombong, nggak sopan atau kurang pede karena nggak menatap lawan bicara tapi alhamduillah kebanyakan dapat berjalan lancar kembali setelah kuberi penjelasan.
Tapi setelah Anya sering cerita tentang kak Tara, aku jadi penasaran. Hingga tadi, ketika ia sedang dengan santai menjelaskan tentang penggunaan proposisi, kualihkan pandanganku lekat-lekat dari ujung rambut ke ujung kaki eh sepatunya. Dan ketika kembali aku memperhatikan ke atas, ternyata ia pun sedang melihat ke arahku, kok aku jadi dag dig dug ya, senyumnya itu lho, manis syekalee...
Di perjalanan pulang Anya mulai lagi, padahal metromini yang kami tumpangi lumayan sarat penumpang. Biasa, jam-jam segini sebagian pekerja memang banyak yang sudah buyar dan puncaknya adalah sekitar pukul 17.30 nanti ketika bubarnya anak sekolah. Tapi alhamduillah, tidak lama kami berdiri ada dua orang yang turun dari bangku yang bersebelahan. Dengan semangat, kami langsung mendudukinya, takut keduluan yang lain.
"Gimana Ui, Ok, khan?" begitu cowok idealku, pinter, ganteng, trendy dan nggak tingkah macem-macem. Kata mas Aryo, dia anak teknik UI, baru tingkat tiga. Nggak kayak kedua mas-mu, pinter sih pinter, kece juga, tapi dandanannya nggak tahan, kayak remaja zaman 'rikiplik' kemeja panjang plus celana warna belel, begituuuu melulu." Entah apa yang mendorong Anya melibatkan abang-abangku dalam teorinya. Bukan su'udzon, Anya memang pernah kecewa mas Fahmi. Aku tersenyum juga dan diam agak lama. Kurasakan lagi bagaimana aku kecipratan 'bara' perbuatannya. Ah...andai ia seorang pedagang minyak wangi.
Anya memang pernah ikutan ngaji denganku sekitar dua taun lalu ketika kami sama-sama menjadi anak baru di SMU ini. Rupanya dia hanya tahan sampai beberapa kali saja, karena ia merasa sudah terlalu banyak kegiatan. Toh di sekolah juga sudah mendapatkan pelajaran agama katanya, setelah sering kuingatkan betapa pentingnya belajar Islam. Bagai bertepuk sebelah tangan memang mengajak orang yang tidak mau. Hanya kadang jika ada kegiatan besar Rohis sekolah kami, ia mau ikut membantu. Juga jika kuajak untuk menghadiri ceramah umum atau seminar sesekali ia mau juga ikut. Ia mungkin hanya sungkan padaku karena sampai detik ini kami masih bersahabat dekat. Ia masih sering mengadukan segala keluh kesahnya padaku, walaupun aku kian jarang berbuat hal yang sama padanya karena aku sudah memilih sahabat-sahabat yang lebih kupercayai.
"Ingat nggak Ul, waktu kita basah kuyup kehujanan karena nggak bawa payung, dia sempat-sempatnya memberi perhatian dan menawarkan jaketnya untuk kupakai. Dia naksir aku apa kamu ya Ul?"
"Jangan ge-er gitu dong an, kan bukan kita aja yang dia perhatiiin, semua juga...."
"Tapi sama kita rada privat lho Ul, aku liat cara dia memandang kamu tuh nggak lain, lagian mana ada dia nraktir teman-teman yang lain, walaupun akhirnya pizzanya kamu kasih pengemis karena kamu lagi puasa."
"An, Pak Jon ulanganya sampe bab berapa?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku kuatir tertular ke-ge-er-nya. Bukannya nggak suka lawan jenis, tapi aku tadi kan sempet deg-degan, tapi aku masih menyadari hal itu tidak boleh berlanjut.
"Sampai bab tiga, mudah-mudahan nilai fisika kita bisa sembilan lagi ya Ul, kalo perlu sepuluh karena kita sudah kelas tiga biar bisa masuk teknik IU, nanti kan bisa jadi adik kelasnya kak Tara" sahut Anya. Ampun nih anak, nyambungnya ke situ-situ lagi. "Siap-siap turun yuuk! udah dekat tuh" kataku sambil bergegas menuju pintu bus. "Anggrek kiri bang!" pintaku pada kenek.
"Mas, kalo buah tomat dan apel disilangkan hasilnya jadi lucu dong ya? Tanyaku pada Mas Fahmi di suatu sore sambil asyik menyirami taman buah hasil eksperimen mas-ku yang anak pertanian itu di halaman belakang rumah kami.
"Lucu, gimana, lha wong aku aja belum pernah tahu kok!" sahutnya. "Ya lucu dong, kan jadi buah tompel namanya heeeee"
"Iya lucu, apalagi liat usaha kamu ngelucu.." katanya sambil tertawa. "Eh kamu masih dekat ama Anya, ya Ul?" tanyanya kemudian.
"Masih mas, kita duduk sebangku malah. Les Inggri juga bareng, kenapa mas?" tanyaku heran.
"Kok, kayaknya dia nggak banyak berubah ya, Ul. Mas perhatikan malah kamu yang agak berubah, menasehati mas biar agak trendy lah, suka melamun, qiyamul lail susah dibangunin ...bukannya mas mau menyuruh kamu untuk sama sekali menjauhi dia, tapi Ulfa harus membatasi diri jangan sampae dekat dengan dia seperti dulu. Jika kita ingin mengetahui seseorang, kita tinggal liat siapa teman-teman dekatnya kan?" Mas fahmi berbicara panjang lebar dan datar. Seperti biasa hampir tak pernah ia menunjukkan perkataan atau perbuatan yang menunjukkan emosi. Akhir-akhir ini aku memang suka melamun dan paling sering melamun kak Tara.
"Iya mas, sebelumnya Ulfa sudah mempertimbangkan ketika memutuskan untuk tetap dekat dengannya. Habis Ul khan sayang sama dia. Ul juga ingin dia merasakan indahnya Islam, tapi yaa... mungkin Allah belum menghendaki, malah Ul yang masih suka terpengaruh dia, Ul akan berusaha memperbaiki deh mas" janjiku.
Tiba-tiba kami mendengar suara heboh di garasi. Rupanya ayah, pakde dan bude Ahmad, serta Mas Hafidz yang jadi sumber kehebohan itu sudah tiba. Pintu pagar rumah kami memang tidak terkunci.
"Ulfa, Fahmi! ada kabar baik nih!" seru mas Hafidz. abang tertuaku yang kocaknya minta ampun, ia baru bekerja sejak tiga tahun yang lalu walaupun baru pekan lalu diwisuda.
"Eh, dengar ya, aku Insya Allah mau nikah lusa! Tadi lamaranku diterima, hee..hee akhirnya"
"Ih mas Hafidz norak!" komentarku gregetan melihat tingkahnya yang konyol.
"Jangan gitu dong say, paling enggak kan aku nggak cuma sedang mengharapkan janji Allah tentang bidadari di surga, tapi dihadapan mata. Ayo fahmi, kapan kamu nyusul?"
"Mas Hafidz, mas Hafidz ... paling bidadari juga nggak ada yang mau sama kamu .."ledek mas Fahmi, "Lagian, nikahnya aja belum, aku sudah disuruh nyusul ... ada-ada saja..." lanjutnya diiringi derai tawa kami.
Aku mulai mencoba jarang berinteraksi dengan Anya walaupun masih duduk sebangku. Di OSIS, ke bimbel, les dan sebagainya. Istiqomah menggenggam Islam memerlukan pengorbanan, untuk itu aku harus bersahabat dengan orang-orang yang dapat membawaku terus berpijak di sana. Senyum yang menurutku termanis milik kak Tara padaku ketika terakhir les pun sedang berusaha aku lupakan. Kini aku telah pindah les ke sebuah lembaga pendidikan Islam yang memisahkan pelajar putra dan putrinya. Di sana aku merasa lebih nyaman karena pengajarnyapun memiliki akhlak yang Islami juga. Kiat mas Hafidz untuk selalu bersabar menghadapi godaan seperti itu juga sudah aku terapkan. Masak sih nggak ada bidadara yang mau sama aku, hee.......
Kututup diary hijau mudaku. Kupejamkan mata sambil berdoa untuk keselamatan kami dan Anya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "CERITA HATI"
Posting Komentar