Tidak ada yang bisa menerka, kapan saat besar itu tiba. Hari ini, esok lusa, minggu depan, atau kapan. Sesuatu yang sudah Ia tetapkan sebagai rahasia-Nya, maka tak seorangpun dapat mengetahuinya. Saat besar itu, entah akan menjadi suatu berita gembira bagi diri kita, ataukah menjelma menjadi sebuah ketakutan besar akan apa yang dihadapi setelahnya. Apakah kita akan menanti saat diberikannya kenikmatan akan ganjaran kebaikan, ataukah azab pedih yang menanti. Kita tak pernah tahu, dan tidak akan pernah tahu.
Beberapa bulan belakangan ini, saya menyadari betapa tak berdayanya kita ketika Allah telah berkehendak untuk mencabut, mengambil kembali apa-apa yang telah kita sangka menjadi milik kita di dunia. Padahal sesungguhnya, semua itu adalah sepenuhnya hak-Nya. Tak patut kita berkeras menahan, sebab semua yang ada di sisi kita saat ini, adalah hanya titipan sementara saja. Harta benda yang telah kita upayakan, keluarga yang senantiasa kita jaga, teman-teman yang berada di sekitar kita, orang-orang yang kita kasihi, semua itu Ia berikan sebagai nikmat sekaligus ujian di dunia. Akankah kita menjaga semua itu dengan baik, untuk kemudian kita kembalikan dengan ikhlas kepada-Nya, bila Ia telah menghendaki. Sungguh amat sulit menjadi orang-orang yang ikhlas akan segala ketentuan-Nya.
Semalam, satu lagi kedukaan yang menyelimuti diri saya, dan pasti juga bagi mereka yang telah mengenal sosoknya. Seorang pria bijak, yang tak pernah lepas dari senyum ramah serta kalimat indah yang selalu mengalir dari tuturnya, yang selalu berhasil menyentak diri ini yang telah lalai dari mengingat-Nya. Setiap kali saya berkesempatan menikmati saat-saat menjumpainya, saat menikmati kajian-kajian yang selalu berkesan dibawakannya, saat muhasabah, saat terpekur dalam zikir di i’tikaf sepanjang sepuluh malam terakhir Ramadhan. Saya yang tak begitu mengenalnya, seketika langsung merasakan kerinduan teramat sangat. Ya Allah… Engkau kembali mengambil seorang saleh dari kami. Betapa beruntungnya ia yang segera akan menjumpai-Mu.
Bagaimana bila satu per satu orang-orang saleh dijemput dari bumi ini menuju-Nya?
Ketika itu, semakin berkuranglah pada hafizh Alquran, semakin berkuranglah para penyeru kebenaran, semakin berkuranglah mereka yang menjadi penyeimbang bagi sekian banyak lainnya yang awam dan lalai dari agama. Lalu kepada siapa kita akan bertanya? Sedang orang-orang yang menjadi tempat bertanya telah berpulang ke sisi-Nya. Masya Allah…saya tak sanggup membayangkan bila saat itu tiba.
Suatu kali, saat saya berkesempatan untuk membaca sebuah buku yang menceritakan mengenai tanda-tanda menjelang hari kiamat, saya tak bisa menahan kengerian yang seketika merayapi sekujur tubuh saya. Setiap detil yang telah saya baca, menambah kengerian itu. Hingga pada tengah buku, saya bergidik dan langsung menyadari bahwa hampir semua yang disebutkan pada buku tersebut telah terbukti terjadi.
Astaghfirullahal’azhiim…. Lantas, sudah sejauh manakah persiapan yang telah saya lakukan untuk menghadapinya, hari dimana tak lagi ada naungan kecuali untuk mereka yang benar-benar beriman kepada-Nya, hari dimana setiap orang tak lagi memikirkan orang lain kecuali diri sendiri, sebab dahsyatnya yang akan terjadi pada hari itu. Memang benar, sungguh beruntung mereka yang bersegera menuju Rabb-nya, sebab akan terjaga diri dari segala kemaksiatan serta fitnah dunia yang semakin nyata merajalela. Memang benar, Allah akan memanggil mereka yang Ia cintai lebih dulu dibandingkan yang lain.
Hari ini, sekian banyak orang telah merasa kehilangan sekali lagi. Tak ada yang akan pernah bisa melupakan sosoknya. Seorang saleh itu. Selamat jalan, ustadz....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Seorang Saleh Itu"
Posting Komentar