Hmm…Kemerdekaan. Kata yang satu ini kembali akrab di telinga kita yang bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, dalam pekan-pekan ini bangsa Indonesia ada yang tengah bersuka cita merayakan kemerdekaanya yang ke-60, tepatnya pada hari Rabu, 17 Agustus 2005.
* * *
Sepanjang jalan bendera merah putih berjejer seakan tengah berbaris. Umbul-umbul beraneka warna menyelingi merah putih itu. Warga ramai-ramai menghelat lomba. Acara-acara media elektronik dan cetak dengan serta merta mencoba menjadi nasionalis tulen. Berbagai jenis kendaraan dipasangi bendera cilik. Bangunan milik pemerintah dan swasta didekor semeriah dan seindah mungkin. Rumah-rumah warga dari yang mewah sampai yang butut pun tak luput ikut memasang bendera merah putih itu. Intinya satu yaitu, mereka mencoba mengaktualisasikan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-60 itu.
* * *
Pertanyaan yang kemudian menyeruak adalah: begitukah cara kita memperlakukan kemerdekaan itu? Adakah cara-cara lebih cerdas dan berperadaban dalam memaknai kemerdekaan itu?
* * *
Kenyataannya adalah, kita melihat gegap gempita di mana-mana. Acara konser musik rakyat mengejala dari kota-kota besar sampai pelosok kampung. Dari hotel-hotel berbintang sampai panggung-panggung rakyat. Dari musik dangdut sampai musik orang gedean. Para pejabat berpesta pora. Rakyat bergoyang ria. Mirisnya lagi, mereka berjoged sembari menenggak minuman keras. Mereka berseronok. Mereka lupa amanat undang-undang negeri ini, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa “.
* * *
Ya Allah…! Inikah kemerdekaan karunia-Mu dan berkat-Mu itu! Inikah bentuk syukur terhadap-Mu! Inikah yang namanya terbebas dari belenggu penjajahan asing! Inikah yang diinginkan pejuang-pejuang yang mendahului kita! Beginikah cara menghormati para Mujahid kemerdekaan kita seperti Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Jenderal Sudirman dan Mujahid-Mujahid lainnya! Dan sederet unek-unek keheranan lainnya yang membuat nurani bangsa ini terluka tersayat-sayat.
* * *
Padahal sungguh amat mulia amanat undang-undang itu yakni,
Ini karena karunia Tuhanku (an-Naml: 40)
Ya, kemerdekaan itu karena karunia Allah, bukan karunia Jepang, atau karunia para pahlawan kita apalagi karunia sekutu. Karunia Allah yang akan menguji bangsa ini apakah mensyukurinya atau mengingkarinya. Maka Dia pun Yang Maha Pengasih tapi juga keras siksa-Nya memberikan perhitungan kepada kita,
Maka jika kamu bersyukur, sungguh Aku akan tambahkan (nikmat-Ku) kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya, sungguh siksa-Ku sangat keras. (Ibrahim: 7)
Dan, marilah kita memutar balik arah jarum jam, sudahkah kita mensyukurinya atau bahkan mengingkarinya? Apakah buah kemerdekaan yang didapat ataukah petaka tsunami, gempa, demam berdarah, kelaparan, dan petaka-petaka lainnya?
* * *
Hmm…Kemerdekaan. Ingatanku tertambat pada Fathu Makkah. Sebuah eposide epik Islam yang sangat mengesankan. Sebuah kemerdekaan kemanusiaan yang tercatat oleh tinta emas dalam roda putaran sejarah sepanjang hayat. Di sana ada sejuta hikmah. Bagaimana tidak, Muhammad sang utusan Allah, 13 tahun bersama para sahabatnya tertindas di Makkah. Mereka difitnah, dihinakan, disudutkan, dikejar-kejar, disiksa, diboikot dan dibunuh secara keji. Sampai akhirnya seorang Khabbab bin Arit bergegas kepada sang utusan Allah yang tengah berteduh di dekat Ka’bah. Dengan nada sendu dan mata sembab Khabbab berucap, “Wahai utusan Allah, tidakkan engkau mohonkan pertolongan Allah bagi kami? Tidakkah engkau mendo’akan kami?†Utusan mulia itu memberikan taushiyahnya, â€Orang sebelum kamu ada yang disiksa dengan dikubur hidup-hidup. Ada yang kepalanya dipecahkan menjadi dua bagian. Ada yang rambutnya disisir dengan sisir besi sampai kulit kepalanya terkelupas. Tapi siksaan itu tak menggoyahkan mereka untuk tetap membela agama.†(HR Bukhari)
* * *
Dan karena penistaan yang tak terperikan itu, demi mencari kemerdekaan hidup, orang-orang tak berdosa itu pergi meninggalkan Makkah, tanah kelahiran tercinta. Mereka gadaikan hidup mereka, harta mereka, sanak famili mereka. Yang tersisa hanya satu, di Madinah sana kemerdekaan hidup terhampar luas. Tahukah Anda, di Madinah sana orang-orang itu langsung memeraktekkan kebebasan beragama, persaudaraan, toleransi dan persamaan. Mereka lakukan itu tanpa berkoar-koar di balik topeng Freedom, Liberty, Equality, hak asasi manusia dan topeng-topeng lainnya yang ambigu dan menggelikan.
* * *
Hari demi hari. Pekan demi pekan. Bulan demi bulan. Dan tahun demi tahun, orang-orang Makkah di Madinah itu nyaman dengan kemerdekannya. Tapi kezaliman masih marajalela di Makkah. Dan utusan Allah pun bermimpi bahwa ia dan para sahabatnya pergi ke Makkah untuk berumrah. Beberapa tahun kemudian mimpi itu jadi kenyataan. Utusan Allah berserta 10 ribu sahabatnya memasuki Makkah. Orang-orang zalim Makkah itu membisu seribu basa. Mereka tak berdaya, pasrah dan tertunduk lesu. Mereka was-was akan dendam kesumat Muhammad saw yang terpendam bertahun-tahun. Oh… betapa mulianya utusan Allah. Tak ada dendam di kalbunya. Kala beliau memerdekakan Makkah, hanya satu ucapan yang terlontar, â€Pergilah kalian, kalian semua bebas.†Ya, mereka semua merdeka. Lalu utusan Allah itu pun shalat delapan rakaat. Dia mensyukuri nikmat kemerdekaan itu.
* * *
Begitulah Muhammad saw merayakan kemerdekaanya. Bersujud di hadapan-Nya. Bertasbih dan memohon ampun kepada-Nya. Dan dalam lawatan pamungkasnya ke Makkah, Muhammad pun berpesan,
â€Wahai manusia, sungguh darah dan harta benda kalian adalah suci. Ketahuilah, sungguh segala bentuk prilaku dan tindakan kebodohan tak boleh ada lagi. Takutlah kepada Allah dalam memperlakukan wanita. Berlaku baiklah kepada budak kalian. Seseorang tidak dibenarkan mengambil dari saudaranya kecuali yang telah diberikan kepadanya dengan senang hati. Karena itu, janganlah kalian menzalimi diri sendiri.â€
* * *
Itulah makna kemerdekaan yang hakiki.Tak ada lagi darah yang tertumpah. Tak ada lagi penjarahan. Tak ada lagi prilaku bodoh dan membodohi. Menghormati kaum wanita. Santun terhadap kaum papa. Tak ada lagi prilaku zalim dan kotor.
* * *
Ada baiknya kita bercermin sejenak dengan pesan kemerdekaan Rasulullah itu. Masih banyak darah tertumpah di negeri ini. Para koruptor masih leluasa menjarah kekayaan Indonesia kita. Prilaku pembodohan rakyat terus berlangsung. Kaum wanita jadi korban kapitalis. Kaum papa tak terpedulikan. Prilaku zalim dan kotor tak juga terhenti. Akibatnya, bencana, musibah dan malapetaka merajalela. Ada yang salah dengan negeri ini dalam memaknai kemerdekaan ini. Sejatinya bukan hura-hura yang dikedepankan, tapi merenungkan tentang seorang miskin yang dipingpong rumah sakit. Tentang busung lapar. Tentang seorang anak yang bunuh diri karena bayaran sekolah yang makin mahal. Tentang korupsi yang tak juga reda. Tentang penjarahan hutan kita yang kaya. Tentang ketamakan dan kerakusan kaum pejabat yang sudah kritis. Tentang mafia peradilan. Tentang intervensi orang asing. Dan tentang semua kepedihan anak bangsa yang masih punya nurani.
* * *
Jika demikian realitanya, Indonesia kita yang merdeka ini tetap saja sebuah bumi yang hangus, yang oleh WS. Rendra dikisahkan sebagai berikut,
Di bumi yang hangus, hari ini siapa membunuh siapa
Di bumi yang hangus, cita-cita percuma, munafik jadinya
Di bumi yang hangus, kau bakar anak burungmu
Kau bakar rerumputan dan bunga-bunga
Di bumi yang hangus, kau bakar anak-anakmu
Kau bakar ayah bundamu...
Mochamad Ilyas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Merdeka di Bumi yang Hangus"
Posting Komentar